Sebuah Ancaman

754 Words
Rianti menarik kasar lenganku, tapi kutepis dengan cepat. Muak sekali melihat wajah bak malaikat tapi berhati iblis. Apa yang di lihat Mas Wiji darinya, perempuan yang tidak bisa melakukan apa pun di rumah dan hanya bisa mengemis uang darinya. “Jangan asal bicara kamu, tidak mungkin suamiku jatuh miskin. Jangan berbicara yang tidak-tidak kamu, Raisa.” “Aku berbicara Fakta. Silakan kamu tanyakan saja sama suami hasil merebut dariku.” Aku menyunggingkan senyum lalu berlalu masuk ke dalam. Tidak peduli dengan Rianti yang sejak tadi berdecak kesal karena ulahku. Kita lihat siapa yang bertahan dalam drama ini. Aku atau kamu, pelakor. Setelah selesai lulur dan pijat, aku melihat keributan di depan kasir. Rianti sedang berargumen di depan kasir. Sengaja aku menghampiri, melihat apa yang sedang terjadi. Wah, Rianti terlihat begitu cemas saat semua kartu yang ia keluarkan sudah tidak bisa berfungsi. Ia melihat aku yang datang menghampiri. Lalu, ia berjalan ke arahku. “Sa, pinjamkan aku uangmu. Nanti, aku ganti.” “Uangmu yang banyak itu ke mana? Kata kamu, suami tercinta tidak akan bangkrut.” “Jangan banyak bertanya, pinjamkan aku sekarang.” Ia meminta setengah memaksa. Untuk apa berlama-lama di sini, tak kuanggap permintaannya. Dulu, perlakuannya lebih menyakitkan. “Maaf, Anda, siapa? Jangan sok kenal dengan saya. Permisi.” Langsung saja kupakai kacamata hitam, lalu ke luar salon dengan senyum penuh kemenangan. “Sa, tunggu aku. Sa, aku mohon, pinjamkan aku lima ratus ribu saja.” “Anda, mau pinjam uang sebanyak itu?” “Sa, tolong, aku tidak mau di penjara atau di ambil ponselku sebagai jaminan.” “Ck! Aku tidak punya waktu melayani kamu, oh, iya, aku hanya ada uang 50.000 cas, kalau kamu mau, bisa untuk naik angkot pulang ke rumah suamimu.” Sepertinya pas sekali, Pak Ardi sudah datang menjemput. Maaf, Rianti. Ini hanya pelajaran kecil untuk kamu. Aku melambaikan tangan dari mobil, sedangkan Rianti, kupastikan dia meratapi nasibnya. Pas sekali, ia tidak bisa menggunakan kartu ya. Aku bisa membuatnya menyesal telah membuat aku menderita. Dalam perjalanan pulang, seperti ada yang tidak beres. Kenapa mobil di belakangku seperti sengaja ingin menabrakkan mobilnya ke arah mobilku? “Pak, lihat mobil yang di belakang?” “Iya, Nyonya. Seperti mau menyusul kita.” Raisa, tenang, jangan cemas. Hanya kalimat itu yang aku bisa ungkapkan kala aku khawatir dengan mobil di belakang kami. Bagaimana ini, Allah, tolong aku dan Pak Ardi. Jangan sampai aku mengalami hal yang mereka inginkan. “Pak, lampu hijau, kita putar arah, jangan ke kanan, tapi ke kiri, biar saja terobos itu mobil yang sebelah.” Pak Ardi mengikuti apa yang aku perintahkan. Benar dugaanku, mobil itu tahunya aku akan berbelok ke kanan karena memang dia tahu arah tujuan kami pulang ke rumah. Aku mengelus d**a, begitu juga Pak Ardi. Kini, kami melewati rute yang berbeda. Dan agak lumayan jauh. Aku sengaja menaruh mobilku di bengkel untuk sementara waktu dan pulang bersama Pak Ardi menggunakan taxi online. *** “Kamu nggak apa-apa, kan, Sa?” tanya Mas Bambang cemas. “Nggak, Mas. Untungnya aku cepat melihat keganjilan itu. Untuk sementara, kita jangan ke luar dulu. Aku mau cari pengawal untuk Mas dan aku. Mas setuju, nggak?” “Mas setuju saja. Kalau memang yang terbaik untuk kita.” “Siapa yang melakukan itu?” “Aku belum tahu, Mas. Nanti aku minta detektif untuk mencari info. Mas lebih baik tenang, ya.” “Bagaimana aku bisa tenang, Sa. Nyawa kamu sedang terancam.” Mas Bambang begitu cemas padaku. Wajar, dia takut bahaya membuat aku terluka. Padahal, aku yang harusnya mencemaskan dia. Bukan dirinya, aku bisa menjaga diri, sedangkan Mas Bambang, berjalan saja sulit. “Mas, tenang, ya. Aku sudah menghubungi temanku. Semua akan dilacak, siapa yang berusaha melukai aku.” Setelah itu, aku merebahkan diri di kasur. Jujur saja, aku merasa takut dengan ancaman ini. Namun, aku harus tenang, untuk saat ini, aku tidak ingin gegabah. Armand masih membutuhkan aku. Aku harus kuat, Ya Allah, kuatkan aku menghadapi banyak cobaan untuk naik kelas. Siapa tersangkanya? Apa Mas Wiji? Atau kelima anak Mas Bambang yang ingin menyingkirkan aku? Atau orang yang tidak suka dengan kehadiranku di rumah ini dan di kehidupan Mas Bambang? Aku harus kuat, bersabar dalam menghadapi semuanya. Baru saja aku tersenyum melihat Rianti menderita, kenapa kini aku yang cemas oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Untung saja aku bisa melarikan diri dari kejaran mereka. Hari ini aku selamat, entah esok hari. Bagaimana aku bisa menyelamatkan diri ini jika aku sama sekali tak ada yang menjaga. “Sepertinya aku harus cepat mencari penjaga.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD