Pelajaran Untuk Istri Baru mantan Suami.

936 Words
Aku tidak peduli dengan risiko yang akan aku terima setelah ini. Aku pun sudah berencana mencari pengawal untuk aku dan Mas Bambang. Mas Wiji ke luar dengan tampang kesal. Harusnya aku langsung memasukkannya ke dalam penjara. Akan tetapi, aku ingin melihatnya terpuruk perlahan. Rianti pun harus merasakan hidup seperti aku, gaji 100 persen Mas Wiji, akan berubah menjadi 50 persen. Selamat mengirit untuk kalian berdua. Apa masih bisa Rianti ke salon? Mobil yang di cicil Mas Wiji, aku pun tahu masih sisa satu tahun lagi. Rumah mewahnya, pun masih mencicil bank. Bagaimana, kejutan dariku, cukup untuk pemanasan. Baru saja ingin kembali bertemu dengan Auditor, Harlan tanpa permisi datang ke ruanganku. Pasti dia akan membahas tentang audit dadakan yang aku datangkan hari ini. “Apa kamu tidak punya sopan santun, Harlan?” Aku menarik napas panjang saat pria itu datang tak mengetuk pintu. “Halah, untuk apa berbaik hati padamu. Untuk apa kamu datangkan auditor tanpa sepengetahuanku?” tanyanya dengan emosi. “Untuk apa aku ijin padamu? Aku sudah bicara dengan Papamu. Hari ini aku mengungkap aliran dana yang tidak ada dalam anggaran. Harusnya kamu berterima kasih padaku.” Harlan keras kepala sekali. Aku paham, ia masih tidak terima dengan apa yang aku lakukan di sini. Pria ini masih berpikir dirinya adalah CEO. “Kamu lupa ingatan, aku sudah menurunkan jabatanmu menjadi wakilku. Lupa?” Harlan menatapku dengan tatapan tidak bisa diartikan. Entah, duda satu anak itu memang sangat arogan. “Wanita serakah!” “Serakah? Aku atau kamu?” “Kamu tidak punya malu, menikah dengan pria sudah tua hanya ingin mendapatkan harta Papaku. Di mana otakmu?” “Otakku tetap di dalam kepala. Hanya saja, aku berpikir dengan jernih. Menikahi Papamu itu dengan keikhlasan.” “Ikhlas? Racun kamu dalam keluargaku.” “Kamu harusnya sadar, kalau saja kamu lebih perhatian dengan Papa kamu, mungkin dia akan berbaik hati berbagi perusahaan denganmu. Jangan teruskan hidup hanya untuk bermain wanita. Ingat, anak kamu perempuan.” “Jangan ceramah.” Terserah kamu mau berkata apa. Harlan pergi dengan emosi. Anak Mas Bambang yang pertama memang sangat arogan. Padahal, Mas Bambang pernah cerita, Harlan dulu sangat perhatian, semenjak istrinya meninggal, ia semakin menggilai kerja dan wanita. Sungguh miris hidupnya. Ketiga anaknya yang lain berada di lain kota. Jangan salah mereka tiga wanita tangguh yang sekali melabrakku waktu itu. Lebih keras dari Raya, yang sudah membuat aku geram. Namun, mereka tidak kembali lagi, karena suami mereka tidak ingin mereka ikut campur urusan sang papa. Salah satu dari mereka pun suatu saat akan kembali datang dan membuat aku kembali menyumpah serapah. Gegas aku merapikan pekerjaan, dan cepat untuk pergi karena Mas Bambang menelepon sudah berada di lobi menungguku. “Bagaimana pekerjaan kamu hari ini?” tanya Mas Bambang saat aku sampai di mobil. “Seperti yang sudah aku bayangkan, banyak hambatan. Tapi, semua berjalan lancar kok, Mas.” Mas Bambang mengangguk, ia pun puas dengan jawabanku. Lalu meminta Pak sopir untuk cepat menjalankan mobil. *** Di rumah sakit, Mas Bambang sangat semangat untuk bisa berjalan. Terapi pertamanya, membuat dia sedikit kelelahan. Akan tetapi, tidak mengendurkan semangatnya untuk bisa sehat dan sembuh. “Pak Bambang, kalau setia terapi seperti ini, saya yakin kalau akan cepat pulih. Namanya usaha, akan berbuah hasil baik.” Dokter tersenyum penuh kebahagiaan. Dibantu dokter dan suster, terapi hari ini cukup baik. Setelah itu, kami kembali pulang ke rumah. Aku sengaja tidak ingin pergi ke mana-mana. Otakku pun lelah menghadapi beberapa orang hari ini. Ah, tapi aku butuh refleksi. Kuputuskan untuk pergi ke salon. “Mas, kalau Mas pulang dengan Pak Ardi, enggak apa-apa?” tanyaku. “Enggak masalah, memang kamu mau ke mana?” “Ke salon sebentar, kepala agak sedikit pusing, enak kalau di pijat. Nanti, turunkan saja aku di salon, kalau mau pulang, aku minta Pak Ardi menjemputku, Mas.” “Iya, sudah terserah kamu saja. Mas Cuma bisa bilang hati-hati.” Pasti aku selalu hati-hati karena musuh akan semakin banyak saat aku mencoba membuat mereka merasakan kesusahan. Apalagi Mas Wiji, aku tahu dia seperti apa. Sesampainya aku di salon, mungkin dia berjodoh denganku. Ada Rianti di ruang tunggu. Segera aku ke kasir dan meminta ruang khusus untukku. Dia menganga melihat kehadiranku. Aku yang baru datang sudah masuk ke ruang khusus. Ya, ruang khusus, yang begitu mahal biayanya. “Raisa, kamu sedang apa di sini?” tanyanya sebelum aku masuk. "Kamu bertanya padaku? Kamu bisa baca enggak ini ruang apa?" Ia menatap tidak percaya. Lalu, mencoba klarifikasi dengan orang salon. Pasti dia berpikir aku tidak bisa membayarnya. "Mbak, hati-hati penipu. Dia itu pengemis, gelandangan, masa masuk ruang khusus?" "Maaf, Mbak, Ibu Raisa sudah membayar full, kok untuk ruangan itu. Jadi, tuduhan Anda tidak terbukti. Maaf, jangan berbuat kegaduhan di sini." Wajah Rianti berubah masam. Ia mendekatiku, sudah pasti ingin mengecek perkataan Mbak salonnya. Ia menatapku dari ujung kepala, hingga ujung kaki. "Kenapa, Rianti? Ada yang salah, dari pengemis ini?" "Ka--kamu, jangan bercanda. Dari mana kamu mendapatkan semua kemewahan ini?" tanyanya gugup. Pasti dia mengerti, barang apa saja yang sangat mahal. Sengaja, mulai dari kaca mata, tas, sepatu dan blazer yang kupakai. Aku menyunggingkan senyum sambil mengambil uang lima lembar berwarna merah untuk tips yang kumasukkan dalam kotak yang mereka sediakan. Bagaimana? Enak melihat kemewahanku, sedangkan kamu, hanya sebagai penonton saja. Dulu kamu melempar uang dua puluh ribu saat Arman meminta padamu. Aku tidak pernah mengajarkannya, tetapi, karena saat itu aku sedang sakit dan tidak bisa mencari uang, saat melihatmu dia berinisiatif meminta uang untuk membeli obat untukku. Teganya kamu pada kami. “Aku masuk duluan, ya. Apa kamu mau juga seperti aku? Rasanya kayanya tidak mungkin karena suami kamu akan banyak hutang.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD