Terbuang

1090 Words
“Raisa, keluar!” Gedoran dan teriakan itu semakin kencang. Mas Bambang memintaku tetap tenang, dan menghadapi mereka. Aku sudah tahu kalau akan terjadi hal seperti ini. Mereka, anak-anak Mas Bambang dan sudah pasti akan melakukan berbagai cara untuk membuat aku pergi dari rumah ini. Aku menarik napas perlahan sebelum melangkah untuk membukakan pintu. Perang akan dimulai. Mereka mengaku sebagai anak, tetapi dulu membuang sang ayah. Kasihan, Mas Bambang di perlakukan seperti itu. “Ada apa?” tanyaku memasang wajah tenang. “Ada apa kamu bilang? Kami tidak akan membiarkan kamu menguasai harta Papa. Ingat Raisa, kamu itu hanya pengasuh. Dikasih hati malah minta jantung.” Harlan, anak pertama Mas Bambang kini terus berbicara seolah ia anak yang berbakti. Padahal, ia pun tak pernah punya waktu untuk sang ayah. Mereka lupa jika harta kekayaan itu milik sang ayah. Namun, mereka malah menelantarkannya. Mas Bambang tidak bodoh, ia tidak mau membalik nama perusahaan dan semua aset. Sampai ia bertemu denganku, dan menikahiku. “Wanita tidak tahu malu.” Makian itu kini datang dari Raya, anak ketiga Mas Bambang. Gadis tomboi itu dengan berani menantangku. Aku menantikan mereka bergantian mencercaku. Senyum ini hanya penghias saat aku merasa lelah. Hidup ini sudah sangat sulit bagiku, dan tidak akan pernah melepaskan kesempatan ini. Menjadi orang kaya yang tak akan pernah di campakkan. Harta ini sangat bermanfaat untuk membalaskan semua dendamku pada dua orang yang membuat hidupku menderita. Mantan suamiku dan perempuan perusak kebahagiaanku. “Aku bukan seperti yang kalian bilang. Ke mana kalian saat Mas Bambang membutuhkan kalian? Bahkan kalian mau mengirimnya ke panti jompo jika tidak ada yang mau merawatnya. Sekarang, kalian bilang aku tidak tahu malu?” Sejujurnya aku takut, tapi kekuatan ini kudapat saat mengingat Arman, anakku. Hidup di luar sulit, aku harus mempertahankan kekayaan dan kesempatan ini. “Mana Papa? Jangan-jangan setelah ini kamu racuni Papaku!” teriak Harlan. “Bukan aku yang meracuni Papa kalian. Tapi, kalianlah yang perlahan membuat ia terluka hingga tidak memiliki keinginan bertahan hidup.” Aku tak tahan menahan rasa pedih mengingat pertemuan pertama dengan Mas Bambang. “Jangan sok tahu kamu Raisa.” Harlan kembali bicara dan menyudutkanku. “Memang kenyataan, bukan aku mengada-ngada. Tolong kalian pergi, Papa kalian mau istirahat.” Aku menutup pintu sebelum terjadi perdebatan kembali. Harta, dan harta, itulah yang mereka takutkan akan jatuh ke tanganku. Sudah pasti mereka sangat mencemaskan itu. Demi Allah, aku bertahan dengan harta Mas Bambang hanya untuk membalas rasa sakit ini. Bukan untuk hal yang lain. “Sa, jangan dipusingkan, aki sudah telepon security untuk mengusir mereka.” Terdengar suara Mas Bambang yang ternyata belum tidur. “Benarkah, itu?” tanyaku. “Iya, saya istirahat dulu.” Pria yang dulu kupanggil dengan sebutan Bapak, kini menjadi suamiku. Orang yang kurawat saat ia merasa kesepian karen terbuang oleh anak-anaknya. Dada ini sesak mengingat Mas Bambang terisak kala mengingat kelima anaknya tidak ada yang menginginkannya. Mas Bambang seperti bola yang dilepas ke sana, kemari. Sampai aku merawatnya. Arman membuat ia kembali bangkit. Mas Bambang merindukan cucunya. Anakku juga merasa senang, ia kembali bisa makan dengan lauk yang enak. Sejak Mas Wiji mengusirku, kami hanya bisa memakan nasi dan garam. Semua tabungan habis untuk kehidupan. Aku sudah tidak memiliki orang tua. Mau ke mana lagi, saudara pun tidak menganggap kala kami jatuh miskin. Bahkan, suamiku direbut sepupuku sendiri. Tega benar mereka sebagai saudara. Berawal dari menumpang hidup, dan beralih menjadi perusak rumah tanggaku. Kembali aku mengingat kejadian menyesakkan itu. “Mau kamu apa, Mas? Kalian berzinah di depan mataku. Tega kamu Rianti!” teriakku. Dada ini sesak saat melihat mereka menyatukan tubuh, saling mengulas senyum dalam peraduan yang biasa aku tempati. Dengan cepat aku menjambak rambut Rianti, mendorongnya ke tembok berulang kali. Belum puas hati ini, Mas Wiji yang sudah berpakaian, menarik aku. “Sialan, kalian!” “Kamu mau masuk penjara sudah membuat Rianti seperti itu?” “Adanya aku yang memenjarakan kalian. Kamu tidak tahu malu, Rianti. Di mana otak kamu!” pekikku. Aku menahan bulir ini, tubuh ini luruh ke lantai. Tega sekali dia yang mengaku sebagai saudara ternyata menikung seperti itu. Tidak terima aku kembali bangkit menarik Rianti, lalu mendorongnya jatuh. Rianti bangkit, ia menjambakku. Lalu, mendorongku ke lantai. Saat aku mulai bangkit lagi, Mas Wiji menghadangku dan mengusir aku. “Pergi kamu, Raisa. Mulai malam ini, kamu bukan istriku lagi.” Berdegup hati ini. Rasanya hati begitu retak banyak. Malam ini, ia menalakku. Aku tidak percaya, ia dibutakan nafsu sesaat hingga tega mengusir kami. “Awas kamu, Mas. Karma akan segera datang pada kalian. Suatu saat, kubuat kalian menyesal.” “Sa.” Sapaan Mas Bambang membuat aku terkesiap, dan tersadar dari lamunan masa lalu. “Iya, Mas, ada apa?” “Saya tidak bisa tidur kalau tidak gelap.” “Iya, maaf saya lupa.” Segera kumatikan lampu, dan merebahkan tubuh di kasur sebelah ranjang Mas Bambang. *** Sepagi ini, aku harus pergi ke kantor bersama Mas Bambang. Aku akan memulai perlahan mengurusi perusahaan miliknya. “Harus cantik, ya, Sa. Mereka suka jika pemimpin mereka cantik. Karena akan datang para lelaki yang mencari perhatian, dan terlihat mencari muka. Di sanalah kamu bisa menendang mereka yang tidak kompeten.” “Iya, Mas.” Mas Bambang menginginkan aku menyingkirkan mereka yang banyak memakan uang perusahaan. Sudah banyak terdengar gosip itu, tetapi belum ada tindakan yang pasti. Bismillah, mobil ini berhenti di kantor tempat mantan suamiku. Kenapa bisa pas momentnya. Pa Ardi, supir pribadi Mas Bambang membantu untuk duduk di kursi rodanya. “Biar aku yang mendorong.” “Tidak usah, Sa. Kamu sudah secantik ini tidak mungkin mendorong saya. Sebentar akan saya telepon orang kepercayaan saya.” Mas Bambang mengambil ponsel untuk menelepon seseorang. Tidak lama setelah itu, seorang pria muda datang menghampiri kami. “Pak Bambang, selamat pagi. Senang bertemu dengan Anda lagi.” Ia mencium takzim punggung tangan suamiku. Berbeda dengan yang lain, mereka hanya menjabat tangan Mas Bambang. Sementara, pria ini, ia mencium penuh hormat pada Mas Bambang. “Kamu pasti sudah tahu ada wanita di sebelah saya?” “Sudah, Nyonya Raisa.” Pria itu menunduk hormat. “Sa, ini Arfian. Dia akan membantu kamu.” “Iya, Mas.” Kami bersamaan memasuki gedung besar itu. Semua mata memandang, mereka langsung menunduk hormat ketika kami lewat. Dan, mata ini tertuju pada seseorang. Mas Wiji pria yang membuat aku bertemu dengan Mas Bambang. Karena dia, aku hidup menggelandang, menjadi gembel di emperan toko. Mencari nafkah di pinggir sampah. Sementara, ia bisa tidur nyenyak di rumah bersama Rianti. Awas kamu, Mas. Akan kubuat kamu jatuh miskin. “Perkenalkan, saya Raisha.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD