Pernikahan besar

1079 Words
Semua orang menatap tidak berkedip padaku. Pasalnya, hari ini, hari adalah pernikahanku dengan Mas Bambang. Pria yang usianya lebih tua tiga puluh dua tahun dariku. Mereka bilang aku menikah karena harta kekayaan Mas Bambang. Itu bukan kesalahan dan kemauanku mendapat keberuntungan seperti ini. Namun, siapa sangka pekerjaan yang kudapat kini merubah hidupku dan membawa dalam kekayaan besar. Bukan lagi menjadi pemulung di jalanan. Saat mereka membuang ayah mereka, kini aku mendapatkan dengan berjuta milyar kekayaan yang dimiliki Mas Bambang. Tanpa perlu aku meminta pada pria tua yang duduk di kursi roda. Mereka bilang aku wanita culas. Oh, tidak. Aku dengan tulus merawat pria tua itu yang ternyata belum memindahkan aset kekayaannya pada anak-anaknya. Teringat mengingat dua bulan yang lalu Mas Bambang mengatakan akan menikahiku. Ia sangat iba dengan apa yang terjadi dengan aku dan Arman anak laki-lakiku. Aku masih merasakan sakitnya pengkhianatan mantan suamiku. Ia mengusir kami dan tak peduli bagaimana kami hidup di jalan. Sampai sebuah takdir mempertemukan aku dengan Mas Bambang. “Sa, menikah sama saya saja. Pasti hidup kamu terjamin, dan kamu bisa membalas dendam pada semua orang yang menghina kamu dulu.” Tawaran itu membuat aku tak percaya. “Sa, kenapa bengong?” tanya Mas Bambang. Lamunan ini terhenti saat Mas Bambang bertanya padaku. Aku terkesiap saat melihat mantan suamiku berada di salah satu tamu undangan. Namun, pria bernama Wiji itu, belum menyadari jika aku, mantan istri yang ia campakkan dulu kini berdiri bersanding dengan pemilik hotel ini. Sungguh takdir begitu berpihak padaku. Kumpulan orang berbondong-bondong ingin mengucapkan selamat pada aku yang kini menjadi ratu semalam. Mas Wiji berdiri tepat di hadapanku. Netra kami berserobok, kusunggingkan senyum, ia pun mengaga melihat aku dengan segala kemewahan kali ini. Bukan Raisa yang ia lihat kala di lampu merah. Apa kamu kaget, Mas? Yah, mungkin kamu tidak percaya, kalau wanita yang kamu buang kini menjadi ratu dalam pesta mewah malam ini. Kegilaanku kali ini memang ada sebab. Aku tidak memanfaatkan keadaan, tetapi Mas Bambang yang meminta hal seperti itu. Ia yang ingin menaikkan derajat aku. Lima orang anak Pak Bambang menatapku sinis. Mereka bilang, aku kacang lupa kulitnya. Aku di pekerjakan oleh mereka untuk mengurus sang ayah, tetapi justru mengambil semua hak mereka. Harta yang mereka tunggu jika sang ayah meninggal. Aku bukan culas. Akan tetapi, Pak Bambang bilang, karena mereka tak mau mengurusnya, malah meminta orang untuk merawatnya. Kini, ia ingin aku yang memiliki semua kekayaannya. Semua, termaksud hotel, dan perusahaan. “Selamat, Pak Bambang.” Mas Wiji lancar mengucapkan kata. Namun, ia melirik ke arahku, lalu menunduk kembali. Kamu kenapa, Mas? Aku puas, ternyata mantan suamiku hanya sebagian kecil dari karyawan suamiku sekarang. Lihat, aku, Mas. Kubuat kau jatuh miskin bersama gundikmu. *** Acara sudah selesai. Aku membantu Mas Bambang turun dari kursi rodanya. Seperti biasa, aku membantunya berganti baju dan membersihkan badan. “Sa, tidak usah melayaniku selayaknya seorang istri. Aku hanya ingin kamu perlakukan aku seperti biasa. Tidak perlu khawatir, aku tidak meminta hak sebagai seorang suami.” Aku bergeming. Dia memang baik, bahkan terhadap anakku Arman. Kini, Armand bisa menikmati hidup enak setelah ia merasakan pedih hidup di jalanan. Lagi, aku teringat masa sulit itu. Masa di mana aku tinggal berpindah-pindah dari jembatan satu ke jembatan lain. “Bu, kapan kita bisa makan seperti itu?” Anakku menunjuk sebuah tempat makan dengan ruangan ber-AC. “Nanti, Nak. Kalau botol dan kardus ini sudah menjadi uang.” “Asyik, benar, ya? Jangan bohong lagi, kemarin Ibu bilang kita akan makan ayam, tapi garam dan nasi yang kumakan. Pantas saja mereka bilang aku tidak berkembang.” Kulihat bentuk tubuh anakku, memang ia seperti kurang gizi. Ah, tepatnya memang kekurangan gizi karena kami hanya memakan nasi dan garam. Kalau lagi banyak pendapatan dari menjual botol dan kardus, bisa aku membeli telur. Itu hanya sebulan beberapa kali. Semenjak aku diusir dari rumah suamiku, entah, takdir berkata aku harus hidup menjanda dengan serba kekurangan. Suamiku gila wanita, harta, takhta, dan wanita yang membuatnya mengusir kami. Aku benci mereka. “Bu, itu ada botol,” ucap Arman anakku. Ia berlari dengan senang memungut botol minuman yang sengaja dibuang pemiliknya. Aku menghela napas. Kapan aku bisa mendapatkan pekerjaan layak. Menjadi pemulung adalah jalan satu-satunya untuk bertahan hidup. Tidur di emperan membuat aku tidak nyaman. Pernah hampir aku dinodai preman, kalau saja Arman tidak berteriak, mungkin semua akan terjadi. “Bu, kita nanti kehujanan lagi, nggak?” “Semoga saja. Ibu sudah dapat rumah kecil, untuk kita tidur.” “Ibu yakin, kita nggak diusir lagi?” “Yakin.” “Asyik.” Aku menyeka bulir bening yang menghiasi pipi. Untung saja aku melihat berita tentang iklan menjaga lansia. Segera aku mendatangi tempat itu. Aku terkesiap saat Mas Bambang memanggilku berulang Kali. “Kamu melamunkan apa?” “Ah, tidak, Mas. Hanya berpikir, mereka semua menganggap aku hanya ingin harta saja.” “Kamu selemah itu?” “Tidak ,Mas. Aku akan melindungi harta Bapak dari mereka.” “Bagus.” “Tadi saat acara, aku melihat mantan suamiku hadir di sana. Bahkan ia naik dan mengucapkan selamat.” “Wah, bagus, dong.” “Iya, Mas.” “Arman anakmu tidak bisa hadir, ya?” “Sudah saya hubungi pihak pesantren, tapi tidak boleh pulang. Arman hanya bicara kalau titip salam untuk Mas.” “Wah, salam balik.” Anakku Arman kini berada di sebuah pesantren. Kemauan Arman sendiri, karena ia ingin memperdalam agama. Anak itu bilang, kalau aku sudah berada di tempat aman. Ia ingin bersekolah di pesantren seperti cita-citanya dulu. Bersyukur Mas Bambang mau memberikan biaya untuk Arman masuk pesantren. Bukan aku ingin membuangnya, tapi itu kemauannya. Karena Arman bilang, bukan kekayaan yang membuat orang menjadi baik. Akan tetapi, ilmu agama dan jalan pikiran yang akan membuatnya lebih baik Kembali aku membantu Mas Bambang, sampai ia sudah siap untuk tidur. Sebelum itu, tidak lupa semua obatnya kuberi padanya. “Sa, jika nanti saya meninggal, ingat jangan biarkan harta ini di kuasai mereka. Sebelum kita menikah, aku sudah berikan padamu dan Arman. Jika mereka mempermasalahkan, atau terjadi sesuatu pada kamu dan Arman, harta ini akan menjadi milik panti asuhan dan panti jompo yang aku tunjuk.” “Baik, Mas. Saya doakan, Mas Bambang sehat selalu.” “Terima kasih, jika aku tidak ada, kamu menikahlah dengan seorang yang mencintai kamu.” Aku hanya bisa tersenyum getir. Kasihan melihat diriku ini, kenapa Mas Bambang begitu baik mau memberikan semuanya. Aku hanya wanita yang beruntung. Suara gedoran pintu membuat aku terkesiap. Siapa yang membuat kegaduhan malam ini. “Raisa, buka! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD