"Kamu dimana? Ada paket, tapi katanya gak ada orang."
Arya menelepon ketika aku masih berbenah kekacauan apartemen Bandung, yang sudah kutinggalkan beberapa lama ini. Apartemen yang dulu kutempati bersama Bima. Banyak barang-barang Bima, termasuk senjata, juga properti penyamaran yang sering kami gunakan, tersimpan aman di atap rumah, yang kami desain khusus sebagai ruang rahasia. Hanya saja, sejak misi yang mengorbankan suamiku, lama-kelamaan aku menjadi masa bodoh dan menggeletakkan apapun di sembarang tempat.
"Hah? Paket apa?"
"Foto nikahan kita."
"Hah? Oh ... kok gak kita ambil aja sih, Bang? Bang Arya yang ambil mungkin?"
Aduh. Aku harus beralasan apa?
"Terlanjur. Gimana ini? Dia nunggu."
"Titipin dulu di Warung Bu Darmi."
"Kamu dimana?"
Sial! Arya pasti menanyaiku. Aku menggeleng saat tadi pagi dia bertanya apa rencanaku hari ini. Jelas, dia tidak boleh tahu apa yang aku rencanakan.
"Hah? Ami? Ami lagi ke Bandung. Ada temen minta bantuan tadi."
"Bantuan apa?"
Bolehkah berbohong pada suami? Boleh 'kan ya, jika memang terdesak? Demi kebaikan dan keselamatan dia juga. Ya, boleh!
"B-bantuan kerjaan. Udah ya, Bang? Bang Arya kerja aja. Ntar Ami dari sini agak sorean. Hati-hati di jalan."
"Am-"
"Bye Abang ... "
----------
Januari kelabu.
Mendung menggantung gelap sekali. Guntur sudah mulai menggelegar dimana-mana.
Telepon berdering lagi.
Sudah sore dan aku belum tuntas mengerjakan ini semua. Harusnya tadi Arya berangkat kerja lebih pagi, sehingga aku bisa kabur lebih pagi juga.
"Dimana?"
"M-masih di apartemen. Ami kayaknya gak bisa pulang. Cipularang macet. Ada kecelakaan di berita. Ujan juga. Deras."
"Diem di sana! Jangan kemana-mana! Aku jemput."
"Hah? Ami bawa mobil tapi. Ujan Bang! Deras!" ngototku.
"Aku udah sampe Pasteur. Kirim lokasi ya, Am!"
Sial! Sial! Sial!
Aku mengirim lokasi, usai sambungan kami terputus. Melempar ponsel sembarang arah, lantas mempercepat gerak pekerjaanku. 10 menit lagi, jika tidak tersesat, dia akan segera tiba.
Dering telepon dari resepsionis menggema. Arya pasti sudah datang. Sengaja aku tidak memberinya nomor apartemen untuk mengulur waktu.
Bel depan berbunyi setelah beberapa menit aku meminta tolong security mengantarnya naik ke lantaiku. Kubuka pintu. Yang kudapati, adalah Arya yang menggigil dengan baju basah kuyup. Kenapa dia? Bagaimana orang sepintar dia bisa seceroboh ini?
"Abang kenapa basah begini?" tanyaku dengan nada meninggi. Dalam hati aku marah. Tidakkah dia bisa sedikit lebih berpikir? Bukannya dia naik mobil?
Kuberlari ke kamar, mengambil handuk baru. Kukeringkan rambutnya, yang kini duduk di kursi makan.
"Mandi dulu!" perintahku menggiringnya ke kamar mandi di kamar. Arya menurut saja dengan gigi gemeretak. Kuaturkan aliran air hangatnya. Setelah tepat, kutinggalkan dia sendiri.
Matahari sudah tenggelam, ketika Arya keluar kamar mandi berbalut bathrobe putih yang tadi kuberikan untuknya.
"Abang bawa baju?"
Arya menggeleng. Lalu?
"Adanya baju Mas Bima dulu. Mau?"
Sedikit berat ketika aku menawarinya ini. Alih-alih takut menyinggungnya, aku lebih kasihan jika dia kedinginan karena terus memakai bathrobe itu.
"Gak!"
Oke. Jawaban sesuai prediksi.
"Baju Ami mau? Tapi kayaknya bakal kekecilan."
Kubongkar isi lemari mencari baju terbesar yang kupunya. Beruntung, ada satu kaos besar dengan celana olahraga longgar. Mungkin akan sedikit kekecilan, tapi semoga saja masih nyaman dipakai olehnya.
Arya keluar ke ruang makan, usai kami menjalankan sholat Maghrib berjamaah. Jika ada dia, aku tidak pernah tidak punya imam sholat. Sebuah kejadian yang membuatku melihat Arya yang kini berbeda adalah, saat tadi di sela aku melipat mukena, Arya menatap lurus ke satu arah. Kuikuti arah pandangannya. Sial! Foto kecil pernikahanku dan Bima masih terpajang di nakas samping ranjang.
Kuberlari meraihnya. Menutupnya. Lantas menyimpannya ke lemari.
"Aku gak suruh Ami simpan itu. Gapapa kalo mau dipajang di situ."
"Ntar cemburu," godaku dengan kekehan. Dia saja lebih memilih kedinginan daripada memakai baju Bima.
"Iya gapapa di sini. Tapi jangan di rumah kita nanti."
Tu 'kan! Arya ternyata adalah ... lelaki pencemburu.
-----
Arya bercerita kegiatannya sejak pagi dengan backsound suara bersin yang sudah berpuluh kali setelah kuhitung, sembari menyantap ayam yang tadi dibelinya. Padahal suhu AC sudah kuhangatkan ke suhu ruangan. Pun juga sudah kuhidangkan di depannya coklat hangat. Tapi masih saja.
Arya kehujanan saat tadi mampir membelikanku ayam goreng di rest area. Dia parkir terlalu jauh. Dan mungkin karena efek hujan yang memang sangat amat deras hingga mungkin jarak pandang memendek, berlari sebentar saja juga sudah membuatnya basah kuyup. Harusnya dia memintaku untuk delivery daripada harus terguyur berkubik-kubik air dan membuatnya tak enak badan sekarang.
"Aku gak mau tidur di sini!" tolaknya usai makan dan kusarankan untuk beristirahat.
Baiklah. Kukira mantan kakak kelasku ini sudah dewasa, ketika kemarin mengikrarkan diri untuk tidak akan memaksaku melupakan Bima. Nyatanya? Cemburu membuatnya kekanakan. Sangat ... amat ... kekanakan.
"Beresin barang kamu. Kita ke rumah baru!"
"Tapi katanya belum selesai renovnya?"
"Kalo gitu ke hotel!"
'Baik Kakanda Prabu' batinku.
Dia merepotkan sekali jika ini berkaitan dengan hal-hal yang punya sejarah dengan orang yang bahkan sudah tidak ada lagi di dunia ini.
"Yakin, mau nyetir? Sakit gitu, mau nyetir?" tanyaku berulang kali meyakinkannya, saat dia memaksa membuka pintu kemudi, yang sejak tadi sudah kutawari untuk kusetiri.
"Kalo kita kecelakaan gara-gara Abang bersin gak berhenti, trus Ami masuk rumah sakit patah-patah tulang, Bang Arya mau tanggung jawab?"
Jurus terakhirku, yang ternyata ... mempan.
Arya menghela nafas berat. Tubuhnya mematung ketika akan masuk ke bangku kemudi.
Aku tersenyum. Arya menyerah dan mengijikanku menyetir di tengah hujan deras yang mengguyur Kota Kembang ini.
"Mau periksa? Mampir RS?"
Arya menggeleng. Baiklah aku tidak akan memaksa. Percuma memaksanya. Dia keras kepala, sekeras tempurung kepalanya.
Aku membelokkan kemudi ke hotel terdekat dengan apartemen. Situasi seperti ini tidak mungkin untuk pilah-pilih hotel terbaik. Yang terpenting adalah, kami bisa menginap malam ini, dan dia sehat esok pagi.
Kubuka pintu setelah tap kartu berbunyi. Lampu menyala otomatis ketika kartu kuletakkan di tempatnya.
Aku masuk duluan, dengan setas barang penting yang akan aku bawa ke rumah baru kami kelak. Hal pertama yang kulakukan adalah menyiapkan minum dan obat penurun panas juga flu yang tadi kami beli dalam perjalanan. Kubiarkan Arya meminumnya selagi aku mengatur suhu ruangan agar lebih hangat.
Bagaikan sebuah hentakan yang tiba-tiba menghangatkan hatiku, Arya memelukku dengan tubuh panasnya, dari belakang. Sangat ... amat ... panas. Aku berbalik, dengan tangan berusaha meraih meja, mengambil termometer.
Namun, dia menahanku.
Tangannya erat menaut di pinggangku. Kepalanya sudah tenggelam di bahuku.
Kemudian, suara lirih menggetarkan hati, yang bercampur serak itu terdengar.
Seperti kalimat seseorang yang sedang berpasrah, namun berhasil membangkitkan rasa ibaku yang teramat dalam untuknya. Pun seketika menyihir tanganku, untuk mengusap punggungnya yang sepanas telor rebus.
"Jangan sama Bima! Kamu gak boleh sama Bima! Kamu ... milik Arya."
------