Chapter 3

2110 Words
            Bel istirahat telah berbunyi dari 5 menit yang lalu, tetapi Diana masih tetap ditempat duduknya. Diana menikamti lagu yang terputar dari airpods nya. Jangan tanyakan dari mana ia mendapatkan ponsel baru. Tentu saja dia beli, bukankah tadi pagi dia sudah berniat untuk membeli ponsel baru. Apa yang menjadi keinginannya harus ia dapatkan. Membeli ponsel baru adalah hal kecil baginya.             Kegiatannya itu tak berlansung lama ketika 4 orang siswi mendatanginya. Diana mendongak melihat keempat siswi itu. Ia menatap para siswi itu sebentar dan kembali berkutat dengan ponsel barunya. Ia tak peduli dengan kehadiran para siswi ini. Toh juga dia tidak mengeal mereka.             “Ekhem.”             Salah satu dari siswi tersebut berdehem berusaha mengalihkan perhatian Diana. Diana melirik sekilas kepada siswi itu. Siswi itu lebih menonjol daripada ketiga siswi lainnya. Seragamnya yang terlalu kecil sehingga bagian pinggul siswi itu terlihat. Roknya sangat pendek, beruntunglah siswi itu memakai hotpants. Jika tidak, mungkin butt kecilnya itu akan menjadi konsumsi publik. Ah, bahkan dengan penampilan yang seperti itu bukankah sudah menjadi konsumsi publik?             “Hai, kau Diana bukan? Kenalkan namaku Evelyn, kau bisa memanggilku Eve.”             Siswi yang bernama Eve menjulurkan tangannya untuk berjabat. Diana melihat kearah Eve dan melarikan pandangannya kearah tangan Eve. Diana mengernyitkan dahinya samar. Dia merasa jijik hanya dengan melihat tangan itu. Ia tak bisa membayangkan harus berjabat dengan tangan yang menurutnya menjijikan itu.             Eve menunggu Diana yang tak kunjung menjabat tangannya mengeryitkan dahi bingung. Demi tuhan tangannya pegal lama-lama dalam posisi seperti itu. Sedangkan yang ditunggu hanya menatap kearah tangannya lama. Eve, menarik kembali tangannya, peduli setan tangannya pegal. Eve menyilangkan tangannya dan mengangkat dagunya angkuh.             “To the poin saja, aku ingin kau menjadi temanku.”             Diana melongo mendengar penuturan Eve. Ekspresi wajahnya menunjukkan seperti ingin mengatakan ‘Yo man. Seriously?’ . Seumur hidupnya, baru kali ini Diana bertemu dengan orang yang begitu percaya diri meminta dirinya untuk berteman dengan orang itu. Haruskah Diana membelikan cermin kepada Eve? Tidakkah dia sebelum bertemu dengan dirinya telah berkaca lebih dulu? Tidakkah Eve sudah memantaskan dirinya untuk mengajaknya berteman?             “Kenapa harus?” Tanya Diana             Eve menaikkan sebelah alisnya, ia menatap Diana angkuh. “Karena aku adalah anak popular. Jadi, kau pantas bergabung dengan kelompokku.”             Diana berdecih. Lucu sekali Eve ini, sepercaya diri itu dia mengatakannya.             “Kau tidak memiliki hak menilai diriku pantas atau tidak untuk bergabung dengan kelompokmu. Justru kalianlah yang tak pantas untuk berteman denganku. Cih, teman? Maaf saja aku tak sudi berteman denganmu.”             Diana bangkit dari duduknya dan berniat meninggalkan kelas. Perutnya sudah meminta untuk diisi. Eve dan teman-temannya kesal mendengar penuturan Diana.             “Hei!”             Diana menghentikan langkahnya dan berbalik menatap kearah Eve serta teman-temannya. Bisa Diana lihat, bahwa keempat siswi itu tengah menahan kesal kepadanya.             “Mengapa aku tak pantas untuk berteman denganmu?”             Salah satu mengapa Diana tidak suka berbicara atau meladeni orang bodoh. Mereka selalu menanyaka pertanyaan yang jawabannya mereka sendiri sudah tau. Diana menyilangkan tangannya dan menatapa Eve beserta teman-temannya angkuh.             “Apa kau memiliki alasan mengapa kau harus berteman denganku?” Tanya balik Diana.             Eve mengibaskan rambutnya dan menyeringai kearah Diana.             “Tentu saja ada. Aku cantik, kaya, popular, banyak yang memujiku. Dan juga aku tak sembarangan memilih teman. Aku hanya berteman dengan orang-orang yang levelnya sama sepertiku. Jadi, kau harusnya merasa bangga karena telah kuajak untuk bergabung dengan kelompok anak popular seperti kami.”             “Pfft-AHAHAHAHAAHAAH”             Diana tertawa mendengar penuturan Eve. Ia sungguh tak bisa menahan tawanya. Saking kerasnya ia tertawa, ia sampai memegangi perutnya. Eve dan teman-tamnnya menatap kesal kearah Diana yang tengah tertawa. Sedari tadi ia menahan tangannya untuk tak menampar Diana. Dia masih sadar diri sedang berhadapan dengan siapa.             “Aduh perutku. Ya tuhan ini lucu sekali, ahahahahahaha”             Eve dan teman-temannya semakin kesal melihat Diana yang tak berhenti tertawa.             “Apa yang kau tertawakan, sialan?!”             Diana menghentikan tawanya. Ia berdiri tegak dan menghapus airmata yang keluar gara-gara terlalu keras tertawa. Diana menatap kearah para siswi itu tajam.             “Kau, tentu saja.” Diana menyilangkan tangannya, ia mendekati Eve hingga seperti tak ada jarak diantara mereka. “Bangga? Siapa? Diriku? Tak ada yang harus aku banggakan darimu, ah maksudku dari kelompokmu.” Diana mendekatkan dirinya lebih dekat lagi, dia menatap dingin kearah Eve.             “Kau menyebut kelompokmu adalah kelompok anak popular? Tapi, dimataku kalian seperti para jalang rendahan yang membentuk perkumpulan sendiri. Maaf saja, aku tak sudi bergaul dengan para jalan rendahan seperti kalian.”             Diana menjauhkan wajahnya dan memberikan seringaian pada Eve. Ia pergi begitu saja meninggalkan Eve dan teman-temannya yang sedang terbakar amarah. Senang sekali rasanya melihat wajah para jalang yang sedang kesal itu. Ia keluar kelas dengan wajah yang puas. Sekolah ini tidak buruk juga, banyak siswa dan siswi yang bisa menjadi bonekanya.             Eve dan teman-temannya sangat kesal dengan Diana. Eve mengepalkan tangannya menahan amarah. Ia ingin sekali menjambak rambut Diana tadi. Tetapi, sekali lagi perbedaan status yang begitu tinggi membuatnya berhati-hati dalam menghadapi Diana. Jika ia tak memikirkan nama baik keluarganya dimata Heliene, mungkin wajah Diana sudah penuh dengan cakaran kukunya.             “Kau akan diam saja padanya?” Tanya Sisi, teman Eve             “Aku sungguh ingin merobek mulut perempuan itu” Kata Zela             “Aku pasti akan membalasnya. Tapi kita tak bisa secara terang-terangan melakukannya. Kalian tau bukan kalau dia adalah cucu keluarga Heliene. Aku masih ingin hidup nyaman tanpa mendapat gangguan dari keluarganya.” Kata Eve             “Lalu apa rencanamu?” Tanya Aurel             “Kudengar tadi pagi ia membuat masalah dengan Revan. Kita peralat Revan untuk membalas perlakuannya pada kita.” * * *             Berita tentang cucu keluarga Heliene yang bersekolah disini sudah menyebar luas ke sepenjuru sekolah. Tidak hanya itu, berita tentang bagaimana cucu keluarga Heliene yang melempar salah satu preman sekolah juga sudah tersebar. Di hari pertamanya sekolah, Diana sudah membuat citra buruk untuk dirinya. Sungguh diluar ekspektasi sekali.             Diana berjalan santai menuju kantin sekolah. Di sepanjang lorong yang Diana lewati, banyak murid-murid yang berbisik-bisik sambil sesekali melirik kearah Diana. sedangkan oknum yang menjadi bahan pembicaraan hanya memutar bola matanya jengah. Mereka pikir Diana tidak tau apa kalau mereka sedang membicarakannya.             Diana tidak menghiraukan kegiatan para murid yang menurutnya itu sangat membuang waktu. Ia melanjutkan jalannya tanpa melirik kearah murid lain. ia lebih mementingkan perutnya dari pada gossip-gossip yang akan beredar sebentar lagi.             Diana memasuki area kantin. Disana sudah banyak murid-murid lain yang memnuhi hampir seluruh tempat duduk di kantin ini. Diana mengedarkan pandangannya. Ia mencari-cari tempat yang kosong untuk dirinya tempati. Setelah menemukan tempat duduknya, Diana mengingat-ngingat tempatnya dan pergi memesan makan siangnya.             Pilihan Diana jatuh pada nasi goreng seafood. Setidaknya itu adalah menu yang membuatnya tertarik. Setelah memesan makanannya, Diana menuju tempat duduknya. Saat ia berjalan kearah tempat duduk yang kosong itu, tiba-tiba seorang siswa yang duduk membelakangi dirinya berdiri dan lansung berbalik kearahnya. Alhasil, mereka berdua bertabrakan. Dan jangan lupakan minuman yang siswa itu pegang tumpah ke badan Diana. seragamnya kini sedikit berwarna akibat tumpahan minuman itu.             “Ah s**t!!” umpat Diana             Siswa yang tak sengaja menumpahkan minumannya itu terkejut melihat orang yang tak sengaja ia tabrak.             “Ma-maaf. Aku tak sengaja melakukannya.”             Siswa itu tak berani menatap wajah Diana. ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Rumor mengenai Raven yang di lempar oleh gadis di depannya ini tiba-tiba terngiang di kepalanya. Apakah ia akan di lempar juga?             “Kau kehilangan fungsi matamu?” Tanya Diana             Siswa itu semakin menundukkan kepalanya dalam. Sura tajam Diana membuat tubuhnya bergetar samar. Ia tak kuasa untuk berbicara sepatah kata pun.             “Maaf, a-aku, aku akan memebrsihkan noda di seragammu.”             Siswa itu mengambil dua lembar tissue yang ada di meja. Ia berniat untuk membersihkan noda minumannya yang tumpah ke seragam Diana. tetapi sebelum tissue itu menyentuh seragam Diana, Diana lebih dulu menepis tangan siswa itu.             “Kau bodoh?!” bentak Diana             Siswa itu memilih untuk diam. Ia tak ingin bernasib sama seperti Raven. Seluruh siswa yang berada di kantin tak berani untuk ikut campur. Mereka masih sayang nyawa.             “Ada apa ini?”             Tiba-tiba, seorang murid laki-laki mendatangi mereka berdua. Diana dan siswa itu menoleh ke asal suara itu. Diana melihat seorang siswa laki-laki yang mengenakan baju olahraga dengan keringat yang masih bercucuran di dahi dan pelipis matanya. Diana mengernyit jijik melihat pria itu.             Murid laki-laki itu ternyata adalah Arzan. Salah satu murid popular yang menjadi incaran para siswi perempuan di sekolah ini.             “Ada keributan apa ini?” Tanya Arzan             Diana mengangkat sebelah alisnya. Ia bersedekap menatap Arzan.             “Apa urusanmu?” Tanya Diana             “Memang bukan urusanku. Tetapi aku tidak suka melihat kekerasan di sekolah ini. Kau tau, rumor buruk akan mencoreng nama baik sekolah ini. Dan ya, aku tak suka itu.”             “Cih! Kau bersikap seolah kau pemilik sekolah ini saja. Aah, atau kau memang pemilik sekolah ini?”             “Bukannya kau harus memikirkan reputasi keluargamu? Di hari pertama sekolah kau sudah membuat citra buruk untuk keluargamu.” Kata Arzan.             Diana mengepalkan tangannya. Ia mencengkram baju Arzan kuat dan menarik pria itu semakin dekat padanya. Diana sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap Arzan. Semua orang yang berada di kantin terkejut melihat tindakan Diana.             “Kau tak berhak mencampuri urusanku maupun urusan keluargaku. Tikus rendahan sepertimu tak memiliki hak apapun” kata Diana.             “Oh ya? Tikus rendahan katamu? Menatapku saja kau harus mendongak seperti ini. Bukankah tikus rendahan yang kau maksud itu adalah dirimu sendiri?”             Diana semakin mengeratkan cengkramannya. Ia berusaha untuk terlihat tenang, walaupun ia sudah sangat kesal pada Arzan.             “Mau kuperlihatkan bagaimana seharusnya tikus rendahan bersikap pada tuannya?”             Arzan mengernyitkan dahinya bingung.             “Begini,” Bugh!             Diana menendang betis Arzan sehingga membuat Arzan jatuh bersimpuh di hadapan Diana. ia masih tidak melepaskan cengkaran tangannya pada baju Arzan. Arzan meringis pelan merasakan nyilu pada betisnya.             Semua orang semakin terkejut dengan apa yang tengah mereka lihat sekarang.             “Seperti ini seharusnya tikus rendahan bersikap.” Kata Diana.             Arzan menatap tajam kearah Diana. ia kesal dengan perbuatan Diana yang membuatnya bersimpuh seperti ini di depan murid-murid lain. Arzan hendak membalas tindakan Diana, namun ia urungkan setelah mendengar dering ponsel milik Diana.             Diana mengambil ponselnya yang berada di saku roknya. Ia melihat nama sang ayah yang tertera pada panggilan itu. Diana mengangkat telfon itu.             “Yes Daddy?”             “Sayang, lepaskan tanganmu pada murid itu.” Kata Daddynya.             Diana mengernyit bingung dengan maksud Daddynya. Ia mengedarkan matanya, menatap satu-persatu murid-murid yang ada di kantin. Lalu matanya berhenti pada sebuah cctv yang berada di pojok atas kantin.             “Daddy memantauku?” Tanya Diana             “Itu tidak penting baby girl. Lepaskanlah dulu cengkramanmu itu. Kau ini perempuan tetapi kasarnya melebihi laki-laki.”             Diana menuruti perkataan Daddynya. Ia melepas cengkaramannya dan membiarkan Arzan berdiri di hadapannya.             “Kau tau Daddy, meretas cctv sekolah termasuk sebuah criminal. Seseorang baru saja mengatakan padaku jika kita harus menjaga nama baik keluarga. Dengan tindakan Daddy yang seperti ini, aku tidak menyangka.”             Diana mengatakan hal itu sambil menatap kearah Arzan. Untuk apa ia memikirkan nama baik kelurga jika ayahnya sendiri juga berbuat salah. Secara tidak lansung Diana menyindir Arzan.             “Oh sayang, untuk apa Daddy memikirkan nama baik keluarga kita. toh tidak ada yang berani menyebarkan berita buruk tentang keluarga kita. Jadi, santai saja.”             “Baiklah Daddyku sayang. Kedepannya aku akan lebih santai lagi.”             Setelah mengatakan itu, Diana memutus panggilan itu sepihak. Ia memasukkan kembali ponselnya, dan menatap Arzan remeh.             “Kau tau? Kau itu terlalu berlagak seperti orang suci. Dan aku muak dengan orang-orang yang bertopeng seperti itu. Jadi, santai saja bung. Kau tak perlu mengkhawatirkan citra buruk keluargaku. Karena, tak akan ada yang berani menyebarkan hal itu.”             Setelahnya Diana pergi meinggalkan Arzan yang kini tengah mengepalkan tangannya kesal. Semua orang yang tadinya merekam kejadian beberapa menit yang lalu buru-buru menghapus hasil rekaman mereka. Mereka mengurungkan niat untuk menyebar luaskan video itu. Karena mereka takut akan konsekuensi yang akan mereka hadapi. Heliene, bukan lah lawan yang bisa kau remehkan. Dan Diana, mereka harus menjaga sikap pada cucu tunggal keluarga Heliene. * * *             Segerombol siswi perempuan menyaksikan keributan tersebut dari luar kantin. Mereka menatap keributan itu dengan datar.             “Dia tak tersentuh” kata Aurel             Ya, mereka adalah Eve dan pengikut-pengikutnya. Aurel beralih menatap Eve yang masih memperhatikan Diana yang sudah pergi dari kantin itu. Eve menatap Diana penuh dendam. Ia tak terima harga dirinya dijatuhkan oleh gadis itu.             “Tak tersentuh bukan berarti kita tak bisa menodainya.” Kata Eve             Eve menyeringai kearah Diana yang sudah jauh dari pandangannya.             “Kita tak bisa menyentuhnya di depan umum. Tetapi, kita bisa menodainya di belakang. Barang bagus sekalipun tidak akan selamanya sempurna. Kita hanya perlu memberinya sedikit noda untuk menghancurkannya. Tanpa perlu kita yang melakukannya.”             Setelah mengatakan itu, Eve dan teman-temannya pergi dari sana dan menemui seseorang yang akan menuntaskan dendamnya.                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD