Chapter 2

2467 Words
Kringg Kringg Kringg             Suara alarm yang begitu nyaring itu terdengar memekakan telinga di pagi hari. Seorang wanita yang tengah bergelung dengan selimutnya itu menggeliat pelan dan mengerang kesal. Tidur nyenyaknya terganggu dengan suara alarm itu. Tangannya meraba-raba mencari keberadaan ponselnya itu. Setelah mendapatkannya, ia melempar ponsel yang bermerk apel digigit itu ke dinding kamarnya.             Setelah memastikan suara alarm itu tak terdengar kembali, wanita itu melanjutkan tidurnya. Sepertinya itu tak akan terjadi, karena wanita paruh baya yang memasuki kamar anaknya itu lansung membuka gorden selebar-lebarnya, sehingga cahaya matahari yang masuk lansung menerpa wajah pulas anaknya.             “Ngh Mommy, tutup kembali gordennya.” Wanita itu menarik selimutnya sampai menutupi wajahnya. Sinar matahari yang masuk itu menusuk matanya yang dengan damainya tertutup.             “Diana!! ayo cepat bangun, kau harus sekolah!” wanita yang dipanggil Mommy itu menarik selimut yang membungkus tubuh anaknya itu dan menarik tangan anaknya untuk bangun.             “Aaaa Mommy, aku masih mengantuk. Lagipula bukannya masih besok aku sekolahnya?”             “Katakan itu untuk kemarin. Besok yang kau maksud itu adalah hari ini. Ayo cepat mandi dan bersiap, Mommy akan menunggumu di ruang makan untuk sarapan bersama.”             Diana masih setia dengan mata yang tertutup. Ia menjatuhkan kembali tubuhnya ke Kasur dan menarik selimutnya. Grisellia atau kita bisa memanggilnya Sella, menghela nafas lelah melihat anak perempuannya itu. Susah sekali anaknya itu untuk dibangunkan.             “Bangun Diana, Daddy mu sudah menunggumu dari tadi. Dan juga, berhenti melempar ponselmu!!! Sudah berapa kali kau menghancurkan ponselmu di pagi hari?!”             Sudahlah, Sella meracau seperti apapun itu Diana masih tetap tak bergeming. Sampai mulutnya berbusa pun, anaknya itu akan tetap mengabaikannya. Lama-lama Sella menjadi kesal dengan kelakuan anaknya itu.             “Baiklah, mobil yang mana dulu yang harus Mommy jual? Lamborghini? Bugatti Chiron? Mercedes-AMG GT ? atau Fe-“             “Oke stop Mommy, aku bangun sekarang.” Diana dengan gesit loncat dari kasurnya dan berdiri dihadapan Mommynya itu. Ia tak sanggup para kekasihnya di absen satu persatu oleh Mommy nya untuk dijual. Ingin menangis saja rasanya Diana.             “Lihat, aku sudah berdiri sekarang. Aku akan mandi dan bersiap. Jadi Mommy ku sayang, berhentilah mengabsen para kekasihku seperti itu, hatiku sakit mendengarnya.” Diana pura-pura berwajah sedih dan memegang d**a kirinya untuk mendramatisi dirinya sendiri.             “Kalau begitu, anakku sayang, segeralah mandi karena ini sudah jam 9 siang. Kau sudah sangat terlambat untuk pergi kesekolah. Jadi cepatlah sedikit ya, atau kau harus rela berpisah dengan salah satu kekasihmu.”             “Siap Mommy ku sayang.”             Setelahnya Diana masuk ke kamar mandinya dan bersiap-siap. Sekarang, tinggallah Sella di kamar anaknya itu. Dia melihat ke sekeliling kamar itu. Ia menghela nafas berat.             “Sebenarnya ini kamar manusia atau bukan sih? Seperti tidak ada bedanya dengan kandang babi.” Setelah mengatakan itu, Sella pergi dari kamar anaknya. Matanya tak sanggup melihat kekacauan di kamar anaknya lama-lama. Ia takut matanya iritasi.             Selang 30 menit berlalu, Diana keluar dari Walk In Closet nya dengan seragam yang melekat pada tubuhnya. Handuknya ia biarkan bertengger dikepalanya karena rambutnya basah. Ia berjalan kearah meja riasnya. Ia bercermin sembari mengeringkan rambutnya. Ting!             Suara notifikasi dari ponselnya membuatnya berhenti dari kegiatan mengeringkan rambutnya. Ia bangkit dan mencari-cari ponsel yang tadi ia lempar. Ia menyingkirkan kertas-kertas yang berserakan di lantai dan terus mencari ponselnya.             “Ck! Kemana ponsel sialan itu?!” Diana terus mencari ponselnya hingga ke kolong kasurnya itu. Siapa tau, ponselnya tadi memantul dari dinding ke kolong kasurnya. Sampai ia melihat benda pipih itu berada di sudut meja kerjanya. Ia merangkak ke arah meja kerjanya hingga ia berada di bawah meja. Ia menjulurkan tangannya untuk mengambil ponselnya itu. Dalam posisi seperti merangkak itu, Diana membuka pesan yang masuk di ponselnya. From Lunar Nona, para Eclips telah membersihkan wilayah barat dan juga untuk tikus terakhir kami masih belum menemukan siapa pengirimnya.             “Dasar tidak becus! Menangani tikus jalanan saja tak bisa.”             Diana melempar kembali ponselnya, ia ingin membeli ponsel baru. Menurutnya, ponselnya itu sudah tak berguna lagi, sama seperti bawahannya. Jadi dia butuh ponsel baru untuk membangkitkan semangatnya. Baru saja ia berniat untuk merangkak mundur, teriakan ibunya yang memekakan telinga membuatnya terkejut.             “DIANA!!!!! TURUN SEKARANG!!!” Sret Dugh!!             “Akh!!!” Terkutuklah Mommy nya itu, karena teriakannya membuat kepala Diana terbentur meja yang berada di atasnya. Ia terkejut mendengar teriakan Mommynya hingga membuatnya reflex berdiri dan membentur meja. Diana merangkak mundur untuk keluar dari kolong mejanya itu sambil mengelus kepalanya. Ia mencoba untuk berdiri, namun tak sampai sedetik tubuhnya sedikit oleng. Sakit dan pusing dikepalanya bukan main sekali. Setelah dirasa pusing dikepalanya sedikit berkurang, meskipun kepalanya masih berdenyut nyeri, Diana keluar dari kamarnya dan turun ke bawah. Ia berjalan ke arah ruang makan. Disana ia menemukan Daddnya yang masih menyesap kopi dan membaca laporan dari tabletnya. Sedangkan Mommynya sedang mengoleskan selai ke roti untuk Daddynya. Melihat kehadiran putrinya, Sella menatap Diana yang berjalan sembari memegangi kepalanya. Niatnya untuk menyambut anaknya dan memberikan sapaan semangat di pagi hari tidak jadi Sella ucapkan setelah melihat rambut berantakan anaknya. Tatapannya yang tadi melembut berubah datar setelah melihat penampilan anaknya. “Coba kau lihat putrimu itu. Harus kuapakan lagi dia agar bisa berpenampilan selayaknya perempuan. Bukan seperti beruang lepas begitu.” Johnatan yang merasa perkataan istrinya itu tertuju padanya, lansung mengalihkan konsentrasinya dari laptop kearah anak perempuannya yang memang ada benarnya juga perkataan istrinya itu. Johnatan tersenyum melihat penampilan putrinya itu. Ia sudah terlalu biasa melihat penampilan berantakan putirnya hingga ia kehilangan kata-katanya untuk menasihati putrinya itu. ‘Sungguh sangat kacau’ batin Johnatan Dianna duduk di hadapan Sella, tepat di sebelah kiri Johnatan. “Sebelum Mommy menceramahiku karena penampilanku, biarkan aku sarapan terlebih dahulu.” Sella menyerah. Ia sudah tak sanggup menghadapi anaknya itu. Sella duduk di kursinya setelah menyerahkan roti untuk suaminya itu. “Daddy tidak ke kantor?” Tanya Diana Johnatan menaruh tabletnya dan beralih menikmati sarapannya. “Sebentar lagi Daddy akan berangkat.” Jawab Johnatan. “Seriously Dad? Ini sudah terlambat untuk Daddy berangkat ke kantor.” Johnatan melihat jam tangannya, sudah pukul setengah 10 lewat. Johnatan hanya mengendikan bahunya acuh. “I’m the Boss of my Company, jadi terserah Daddy mau berangkat jam berapa.” “Contoh yang buruk sekali.” Johnatan tersenyum mendengar penuturan anaknya itu. Putrinya itu, suka tidak bercermin rupanya. “Lalu apa bedanya denganmu sayang? Adakah pelajar yang datang kesekolah di jam ini?” Johnatan melemparkan serangan pada Diana. “Tentu saja ada. Aku contohnya.” Diana membalas serangan Daddynya. “Kalau begitu kau adalah bentuk nyata dari contoh yang buruk.” “Itu karena aku mempelajarinya darimu Dad.” “Setidaknya Daddy tidak berpenampilan kacau sepertimu.” “Setidaknya hanya hari ini saja aku berantakan.” “Oh really darl? Kau yakin itu?” Adakah yang mau menyelamatkan nyonya Grisellia dari perdebatan tak berguna antara suami dan anaknya? Tapi sepertinya, nyonya kita ini tampak tak terganggu sama sekali dengan perdebatan 2 orang ini. Ia malah seperti sedang menikmati perdebatan antara keduanya. Sella menyesap tehnya sambil memejamkan mata. Ia menikmati tehnya dengan tenang. Seolah disekitarnya tak terjadi apa-apa. Ia baru membuka matanya ketika ia tak lagi mendengar kekacauan disekitarnya. “Oh sudah selesai? Kenapa sangat cepat? Teh ku belum juga habis? Ayo lanjutkan lagi.” Johnatan dan Diana menatap Sella datar. mereka saling lirik satu sama lain. “Dad, kau yakin tak ingin membawa Mommy ke rumah sakit? Sepertinya ada yang salah dengan Mommy.” Kata Diana “Akan Daddy pertimbangkan itu. Mungkin Mommymu ini memang butuh pengobatan dari dokter.” Jawab Johnatan. “Ya, sebaiknya begitu. Lebih cepat lebih baik Dad. Pikirkan itu baik-baik Dad, aku akan berangkat ke sekolah dulu. Jangan lupa untuk mengabariku nanti.” “Kalau begitu Daddy akan berangkat juga ke kantor. Daddy akan menguhubungimu nanti kalau Daddy sudah membawa Mommymu ke rumah sakit.” “Baiklah, hati-hati Dad.” “Kau juga sayang” Kedua orang itu pergi dari ruang makan meninggalkan Sella yang masih setia menghirup bau melati dari tehnya. Johnatan lansung menuju pintu depan karena hari ini ia berangkat bersama sopir. Sedangkan Diana pergi kearah basemant rumahnya dan memakai Bugatti la voiture noire kesayangannya untuk hari ini. Setelah kepergian suami dan anaknya, Sella tetap pada tempatnya. Ia menghirup banyak-banyak wangi teh melatinya. Ia menghela nafas pelan dan menyesap sedikit tehnya. “Dasar. Suami dan anak sama saja.” Sella tersenyum menikmati teh hangatnya di pagi hari.  “Sama-sama bajingan.” * * *             Diana memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Tak sedikit yang membawa mobil-mobil mewah ke sekolah. Karena sekolah ini sekolah elite yang hanya anak-anak orang kaya atau yang memiliki kekuasaan besar yang bisa sekolah disini. Jadi Diana tak heran melihat mobil-mobil mewah seperti miliknya berjejer rapi di parkiran.             Diana memasuki sekolahnya dengan angkuh. Ia berjalan dengan percaya diri. Mata angkuh itu menatap kesekeliling ruangan dengan datar. di persimpangan koridor, Diana melihat seorang lelaki paruh baya yang berdiri seperti menunggu dirinya. Diana berjalan kearah pria itu dan berhenti didepan pria yang lebih tinggi darinya. Tapi ia tetap mempertahankan keangkuhannya.             Laki-laki itu membungkuk hormat kearah Diana. “Nona Diana”. Diana menatap laki-laki itu datar.             “Saya kepala sekolah disini. Perkenal-“             “Kelas.” Persetan dengan perkenalan laki-laki tua ini, ia hanya ingin tau dimana kelasnya berada. Sang kepala sekolah berdehem sebentar dan lansung memandu Diana menuju kelasnya. Mereka berjalan dalam keheningan. Sampai mereka berhenti di depan pintu kelas XI IPA 1.             Sang kepala sekolah mengetuk pintu dan membukanya. Seluruh siswa dan murid yang berada di dalam kelas itu mengalihkan perhatiannya ke kepala sekolah mereka.             “Maaf mengganggu waktu mengajarmu Madam Jesse.” Kata kepala sekolah.             “Tak masalah. Ada apa pak?” Tanya Madam Jesse             “Aku mengantarkan murid baru di kelas ini.” Kepala sekolah mengkode Diana untuk masuk kelas. Setelah Diana masuk kelas sang kepala sekolah kembali berbicara. “Aku titip murid baru ini kepadamu Madam.”             “Tentu pak.” Setelahnya kepala sekolah itu menutup kembali pintu kelas dan meninggalkan Diana. Madam Jesse menghampiri Diana dan menyuruh Diana untuk memperkenalkan diri.             “Nah, sekarang perkenalkan dirimu kepada teman barumu.”             Diana melihat keseluruh kelas. Terdapat beberapa siswa dan siswi yang ia kenali. Tentu saja mereka yang ia ketahui adalah anak dari relasinya di perusahaan.             “Diana Eva De Heliene.”             Suara dingin dan menusuk itu merasuk ke telinga para siswa dan siswi yang tengah terdiam. Rasanya suara Diana mampu membuat tulang-tulang mereka meremang. Setelah menyadari bahwa siswa baru itu adalah Diana, seketika kelas menjadi gaduh dengan bisik-bisik dari mereka.             ‘Diana?Heliene?dia anak genius itu?             ‘Jadi dia adalah si Penerus Heliene?’             ‘Hei bukannya dia sekolah di German?’             ‘Wah, aku tak menyangka akan satu sekolah dengannya’             “Anak-anak tenanglah, jangan gaduh.” Madam Jesse mencoba menghentikan kegaduhan kelasnya. Diana yang melihat itu hanya memutar matanya jengah. Madam Jesse melihat ke arah Diana yang hanya berdiam diri. Dirasa Diana tak akan melanjutkan perkenalannya, Madam Jesse menyuruh Diana untuk duduk.             “Baiklah Diana, kalau begitu kau boleh duduk di kursi kosong itu.”             Diana melihat kearah meja yang tersisa dikelas itu. Meja itu berada di belakang, dan Diana tak suka duduk di belakang. Ia menghampiri siswa yang ada didepannya. Siswa itu melihat kearah Diana yang tegah berdiri di depan mejanya.             “Ada yang bisa kubantu?” Tanya siswa laki-laki itu.             “Ya. menyingkirlah” Jawab Diana             “Apa?” siswa itu sedikit tak mengerti maksud Diana             “Kau. Menyingkir dari situ dan duduklah di sana” Diana mengarahkan dagunya ke meja yang berada di belakang.             “Kenapa harus?”             “Karena aku yang menyuruh.”             “Hei!!! Memangnya kau si-“ Srat Braakk Srak             Diana menarik kerah seragam laki-laki itu dan melemparnya kesamping hingga mengenai siswi lain disebelahnya. Ia juga menyingkirkan barang-barang milik siswa itu lalu duduk di bangku itu.             Kejadian tadi begitu cepat, hingga tak ada yang bisa mencegah Diana untuk melakukan aksi brutal dihari pertamanya. Setelah beberapa detik, para murid menyadari bahwa salah satu temannya baru saja dilempar begitu saja oleh Diana. bahkan Madam Jesse yang berada disana sampai tak bergeming melihat kejadian tadi.             “Ehkem. Baiklah, kita lanjutkan pelajaran kita. dan Revan, segeralah duduk di bangku belakang.”             Madam Jesse tak bisa memarahi Diana atas perbuatannya. Ia masih tahu diri untuk tak melawan Diana. posisinya sebagai guru bisa dicabut jika ia mengganggu Diana. ia cukup sadar diri, yang kuat yang berkuasa. Itu hukum mutlak di sekolah ini.             Revan, pemuda yang dilempar Diana menatap Diana tak suka. Harga dirinya dipermalukan sebagai seorang pria. Bahkan ia sempat tak sadar bahwa tubuhnya dapat dilempar segitu mudahnya oleh seorang perempuan yang lebih pendek darinya. Ia mengepalkan tangannya erat, dan dengan perasaan amarah ia memberskan barang-barang miliknya yang berserakan dan duduk di bangku belakang.             Setelahnya, jam pelajaran berlansung seperti biasa, layaknya tak pernah ada sesuatu yang terjadi. * * *             Lapangn indoor itu begitu sepi. Hanya ada seorang laki-laki yang tengah sibuk mendrible bola basketnya dan menshootnya ke ring. Seorang pemuda lain memasuki lapangan indoor itu dan melihat temannya yang sibuk bermain basket. Pemuda itu bergabung untuk bermain bersama temannya.             Melihat ada seseorang yang ikut bermain dengannya, pemuda itu menjadi lebih serius.             “Hei Arzan,” sapa temannya itu             “Hmmm”             Pemuda yang disapa Arzan itu sibuk mendrible bolanya dan mencoba untuk menghindar dari temannya.             “Kau tau sesuatu?” Tanya pemuda itu.             “Tidak” jawab Arzan             “Aku punya berita terbaru untukmu.” Kata laki-laki yang mencoba merebut bola dari Arzan.             “Pasti tak penting” Arzan melihat ada celah dari temannya itu lansung mengambil kesempatan dan menshoot bolanya.             “Eyyy, kau pasti tertarik dengan beritaku ini.” Laki-laki itu melihat Arzan yang tengah berjalan kearah tasnya dan duduk didekat tasnya itu. Arzan tak mengindahkan temannya itu, ia mengambil botol yang ia bawa dan meminumnya rakus.             “Sekolah kita kedatangan siswi baru” lanjut temannya itu             Arzan memutar bola matanya jengah. “See? As always. Selalu tak ada yang berarti dari gossipmu itu.”             “Bukan itu yang menjadi poin pentingnya bodoh!” laki-laki itu menghampiri Arzan dan duduk disebelahnya.             “Siswi ini sangat brutal.” Lanjutnya. Arzan menatap bingung temannya. Seolah mengerti kebingungan Arzan, laki-laki itu melanjutkan perkataannya. “Dia baru saja melempar siswa laki-laki dikelasnya dan merebut tempat duduk laki-laki itu. Padahal jika dilihat, siswi itu lebih kecil dari laki-laki yang dilemparnya. Aku saja mengaku tak akan kuat melempar laki-laki itu dengan mudahnya.”             “Dia dilempar atau didorong?” Tanya Arzan.             “Bagian mana dari kata-kataku yang terdapat kata ‘didorong’? aku sungguh, laki-laki itu dilempar olehnya. Aku baru saja melewati kelasnya tadi dan tak sengaja melihat kejadian itu.”             “Lalu?”             “Lalu? Lalu apa?”             “Ck, bodoh!! Lalu apa yang terjadi!! Siswi itu dilaporkan ke kesiswaan atau tidak?”             “Aku tak tau. Aku lansung berlali kemari setelah melihat adegan lemparan itu.”             “Sudah kuduga. Jika tak bodoh, bukan kau namanya.”             Arzan bangkit dari duduknya dan mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan temannya itu.             “AKU TIDAK BODOH SIALAN!!!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD