Chapter 1

1990 Words
            Malam itu, semilir angin berhembus pelan mengantarkan suara jeritan, sayatan, pukulan dan rintihan dari orang-orang yang sedang berkelahi kepada seorang wanita yang sedang menyaksikan perkelahian tersebut. Matanya menatap perkelahian yang ada di depannya dengan datar. Ia melirik bulan yang sedang bersinar terang menemaninya. Ia mendongakkan kepalanya dan menutup matanya, membiarkan indra pendengarnya menikmati malam dingin yang penuh darah itu.             Ia merentangkan tangannya, seolah-olah menunggu sesuatu menghampirinya. Tak lama kemudian, rintik-rintik hujan mengenai wajah cantiknya. Ia tersenyum kecil. Setelah 2 jam lamanya, akhirnya yang ia nantikan telah tiba. Benar, wanita itu tengah menanti hujan. Lalu ia membuka matanya, dan menatap sekali lagi pada bulan. Lalu ia melihat ke area pertempuran di depannya, banyak tubuh manusia yang tak bernyawa tergeletak begitu saja dibawah kaki anak buahnya.             Genangan darah yang bercampur air hujan membuatnya dapat melihat pantulan bulan yang tengah bertengger di atas langit sana. Ia tersenyum senang. Akhirnya, bulan kembali berselimut darah malam ini. Lalu ia menatap para anak buahnya yang kini berdiri dihadapannya dengan bangga.             Seorang laki-laki yang berdiri di belakang wanita itu mensejajarkan dirinya dengan wanita itu dan menunduk sekilas.             “Nona El, p*********n malam ini telah selesai. Nona ingin kembali sekarang?” kata Laki-laki itu.             Wanita yang dipanggil Nona El itu melirik sekilas pada lelaki yang berada di sampingnya dan kembali menatap anak buahnya.             “Selamat untuk kalian para Eclips.” Ujar wanita itu.             Para petarung itu tersenyum bangga setelah mendengar pujian dari nona mereka. Lalu wanita itu pergi dari area tersebut diikuti pengawal setianya. Ia berhenti sebentar dan berbalik melihat para anak buahnya kembali.             “Wilayah ini milik kalian. Hadiah dariku.”             Setelah mengatakan itu, wanita itu benar-benar pergi meninggalkan area itu, menyisakan para anak buahnya yang kini tengah bersorak ria atas pencapaian mereka. Wanita itu tersenyum mendengar sorakan anak buahnya. Ya, menurutnya hadiahnya itu sepadan dengan apa yang telah mereka berikan malam ini.             Saat ia ingin membuka pintu mobilnya, deringan ponselnya terdengar. Ia mengambil ponselnya yang ia taruh di saku belakang celananya, dan melihat nama ibunya tertera di ponselnya. Sebelum ia mengangkat panggilan itu, ia menatap pada lelaki yang sedari tadi berdiri di sampingnya menemaninya. Laki-laki tersebut membungkuk pada wanita itu dan berdiri menjauh dari nonanya.             Setelah melihat pengawalnya itu menjauh, wanita itu baru mengangkat panggilan tersebut.             “Halo Mom” Sapanya.             “Halo sayang” Balas Mommynya.             “Ada apa Mom? Kenapa menelfon?”             “Diana, kau tau ini sudah jam berapa dan kau masih belum pulang?”             “Jam 8 bukan?” jawab Diana ragu             Terdengar helaan nafas di seberang sana. Mommynya itu pasti sedang menahan kesal pada dirinya. “Ini sudah jam 1 dini hari dan kau masih belum pulang. Sebenernya pekerjaan apa yang kau lakukan? Nenek tidak memintamu untuk menggantikan posisinya sekarang juga padamu kan?”             Diana tersenyum sekilas mendengar penuturan Mommynya. Ia berjalan-jalan kecil disekitar mobilnya. Mengetahui bahwa Mommynya masih menunggunya pulang dirumah membuatnya merasa senang dan bersalah. Karena dirinya, Mommynya itu harus begadang demi menyambut dirinya pulang.             “Mommy aku masih 18 tahun, mana mungkin nenek akan memberikan perusahaan padaku sekarang. Setidaknya sampai umurku 20 tahun, mungkin nenek akan memberikannya padaku.”             “Ya siapa tau saja nenekmu itu sudah terlalu lelah untuk mengurus perusahaan lalu memberikannya padamu begitu saja.” Diana mengkode pengawalnya untuk menyopirinya malam ini. Ia terlalu lelah untuk menyetir sendiri. Laki-laki itu membungkuk tanda menyetujui maksud dari Diana.             “Itu tak akan terjadi Mom. Sebaiknya Mommy tidak perlu memikirkan itu, aku sudah di mobil sekarang dan akan menuju rumah. Aku tutup dulu, lain kali Mommy tak perlu menungguku sampai dini hari seperti ini.”             “Baiklah, Mommy akan menunggumu. Hati-hati dijalan, jangan mengebut. Mommy juga akan berhenti meunggumu sampai malam jika kau pulang tepat waktu lain kali.”             “Baiklah, aku akan berusaha untuk selalu pulang tepat waktu. Aku tutup dulu, aku sayang Mommy.”             “Mommy juga sayang padamu.” Setelahnya Diana menutup sambungan telfonnya. Ia berbalik melihat pengawalnya yang kini tengah menggores leher seorang laki-laki di belakangnya. Bukannya ia tak tau, ia tau bahwa dari tadi ada tikus kecil yang mengintainya yang berniat membunuh dirinya. Tetapi ternyata, tikus itu tidak cukup pintar untuk membunuh dirinya.             Diana memberikan tatapan datarnya pada pengawalnya itu.             “Dia bukan bagian dari p*********n ini. Kurasa dia dari fraksi lain, mungkin musuh lainnya mengetahui jika nona sedang melakukan p*********n di wilayah barat dan mereka megambil kesempatan untuk menyerang nona.”             Diana mendekati pengawalnya itu dan berdiri dihadapan laki-laki tersebut. Sang pengawal menundukkan pandangannya, merasa segan untuk menatap nonanya. Mata Diana beralih pada kerah jas laki-laki itu.             “Jasmu kotor” tangan Diana mengusap kerah jas pengawalnya itu dan membersihkan noda darah disana. “Padahal aku baru memberikannya padamu tadi siang.”             Laki-laki itu semakin menundukkan kepalanya. “Maafkan saya nona. Saya tidak bermaksud untuk mengotori jas pemberian dari nona.”             Diana tersenyum kecil, ia menepuk pundak pengawalnya itu dan mencengkeram pundak itu keras sehingga laki-laki itu mengeluarkan ringisannya pelan. “Aku tak suka jika barang milikku jadi kotor. Sebaiknya, kau harus mulai hati-hati dalam bertindak. Buang jas itu, aku tak suka pada barang kotor.” Lalu Diana melepaskan cengkramannya.             “Baik Nona.” Pengawal itu lansung membuka jas itu dan membuangnya begitu saja. Sekali lagi Diana tersenyum pada pengawalnya itu dan meniggalkan pengawalnya untuk masuk kedalam mobil. Laki-laki itu mengikuti Diana dan duduk di kursi kemudi, lalu menjalankan mobil ke rumah nonanya.             Diana menumpu tangannya ke jendela mobil dan menopang kepalanya. Ia menatap jalanan diluar sana dan menghembuskan nafasnya pelan. Gelapnya malam membuatnya tak bisa melihat dengan jelas jauh kedalam hutan. Pohon-pohon yang berjejer rapi di sepanjang jalan tampak seperti mengiringi perjalannya. Dan bias sinar bulan yang mengintip malu di sela-sela pepohonan semakin terlihat indah dimatanya.             “Katakan pada Eclips untuk membersihkan wilayah ini dan jangan sampai ada satu pun tikus yang tersisa. Setelahnya terserah mereka akan melakukan apapun pada wilayah ini. Dan juga, selidiki siapa yang mencoba menyerangku tadi.”             “Baik Nona.” Setelahnya hanya terdengar deru mobil yang melaju membelah sunyinya malam. * * *             Diana memasuki rumahnya pelan. Lampu dirumahnya sudah dimatikan, dan ia tak menemukan Mommynya yang katanya sedang menunggunya pulang. Ia memilih untuk tak memikirkan keberadaan Mommynya itu, mungkin saja Mommynya itu sudah pergi tidur lebih dulu dan menyerah untuk menunggunya pulang.             Diana berjalan kearah tangga, ia ingin lansung merebahkan tubuh lelahnya ke Kasur empuknya. Saat sampai di tengah anak tangga, suara Mommynya menginterupsinya.             “Kau sudah pulang sayang?”             Diana menoleh kebelakang dan menemukan Mommynya yang terbalut piyama panjangnya tengah memegang gelas yang diisi setengah. Ternyata Mommynya itu berada di dapur. Pantas saja ia tak menemukan Mommynya di ruang tengah tadi. Grisellia, menatap anaknya itu dari ujung bawah tangga.             “Iya, dan Mommy belum pergi tidur?” Tanya Diana. Sella  menghampiri Diana dan setelah berada disamping putrinya, Sella mencium pipinya. “Selamat datang, kau sudah makan? Apa kau lelah? Perlukah Mommy berbicara pada nenek untuk tak memberikanmu pekerjaan berlebihan padamu?” Diana tersenyum kearah Mommynya. Mommynya itu, ditanya apa malah balik bertanya, membuat dia gemas sendiri kepada Mommynya itu. Ia bawa tubuh Mommynya untuk dipeluk, ia sandarkan kepalanya pada pundak Mommynya. “Mom, aku tak lelah, sungguh aku tak merasa lelah sama sekali. Aku sudah terbiasa dengan apa yang nenek suruh padaku. Mommy tak perlu menyuruh nenek untuk meringankan pekerjaanku. Bukannya berkurang, yang ada semakin bertambah nanti pekerjaanku. Mommy seperti tak tau nenek saja.” Diana mengeratkan pelukannya ke sang ibu. “Tetap saja, sayang. Kau ini anak Mommy satu-satunya, perempuan lagi. Kau jadi jarang menghabiskan waktu bersama dengan Mom. Seharusnya remaja seumuranmu ini lebih banyak menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Bukannya malah sibuk mengurusi kertas-kertas yang isinya hanya tulisan dan grafik-grafik yang Mommy tak tau apa artinya. Mom selalu iri dengan teman Mommy yang selalu pergi ke salon bersama anak perempuannya. Memang kau tak bosan selalu mengurusi perusahaan?” Diana tersenyum mendengar penuturan sang Mommy yang mana lebih terderngar seperti keluhan baginya. Bukan sekali dua kali Mommynya itu mengeluh padanya, sering malah. Sampai rasanya Diana kesal terhadap Mommynya itu. Diana melepaskan pelukannya dan menatap Mommynya. “Mom, kita sudah membahas ini sebelumnya, dan Mommy pasti tau jawabanku. Mom, apa pernah aku mengabaikan Mommy? Apa pernah aku mengacuhkanmu Mom? Apa pernah aku tak mendengarkanmu Mom? Mommy jangan khawatir, Mommy masih menjadi prioritasku. Mommy masih diatas segalanya didalam hidupku. Jadi, bisakah Mommy hanya mendukung apa yang telah menjadi pilihanku?” Grisellia tersenyum kepada anaknya. Ia mengelus pipi anaknya. Sella tak menyangka, putri satu-satunya tumbuh menjadi wanita yang cerdas dan pekerja keras. Ia tak pernah menginginkan mempunyai anak yang begitu sempurna seperti Diana. Namun, tak bisa ia pungkiri bahwa ia begitu bahagia memiliki anak seperti Diana. “Mommy selalu mendukungmu. Maaf jika Mom selalu mengeluh padamu. Mom hanya merasa kesepian dirumah ini. Kau tau, Daddymu juga sama sibuknya dengan dirimu. Kita jadi jarang mengahabiskan waktu bersama. Mommy hanya merindukan kalian.” Diana melihat tatapan sedih Mommynya itu, ia jadi merasa bersalah kepada Mommynya. Jika saja ia tak harus menggantikan neneknya kelak, mungkin ia akan lebih mengahabiskan waktunya untuk menemani Mommynya dirumah. Layaknya anak perempuan diluar sana. “Diana janji pada Mommy, Diana akan lebih banyak lagi meluangkan waktu untuk Mommy. Jadi Mommy tak akan merasa kesepian lagi.” “Tak apa, jika memang tak bisa. Mommy tak akan memaksa.” Mereka berdua saling melempar senyum dan tertawa bersama. Hingga sebuah suara menyadarkan mereka. “Apa kalian tidak lelah bediri di tengah anak tangga sambil berpelukan seperti itu? Sengaja membuat Daddy iri atau bagaimana?” Johnatan, kepala keluarga di rumah itu tengah berdiri sambil menyilangkan tangannya di d**a. Ia sengaja berwajah kesal dan menatap mereka cemburu agar kedua orang itu menghampirinya dan memeluknya, seperti waktu dulu. Sedangkan oknum yang diharapkan malah menertawakannya. Johnatan tambah kesal jadinya. “Kalian tak ingin memeluk Daddy? Atau membujuk Dad begitu supaya Dad tak kesal?” Sella dan Diana saling tatap dan menjawab Johnatan secara bersamaan yang mana membuat Johnatan tambah kesal dibuatnya. “TIDAK” Lalu setelahnya mereka berdua kembali tertawa bersama. Johnatan yang melihat mereka berdua tertawa keras sekali membuatnya sedikit kesal. Sebenarnya ia tidak kesal sungguhan, ia hanya ingin mencairkan suasana diantara mereka berdua saja. Ia tadi mendengar semua yang mereka bicarakan. Ia sedikit merasa bersalah kepada istrinya itu karena jarang untuk berkumpul bersama. Pekerjaannya menuntut dirinya untuk terus bekerja hingga ia melupakan bahwa ia memiliki keluarga yang membutuhkan kehadirannya. Melihat Johnatan yang hanya berdiri menatap mereka, Grisellia dan Diana menghampiri Johnatan dan memeluk laki-laki itu. “Uuuhhh Daddy ku sayang, jangan ngambek dong. Kami kan hanya bercanda.” Kata Diana sambil memeluk Johnatan disisi kanan. “Benar, kau itu sudah tua, tak pantas untuk kesal seperti itu.” Tambah Sella yang memeluk Johnatan disisi kiri. “Dasar kalian ini. Bukannya membujukku malah semakin membuatku kesal. Tapi aku tak bisa kesal kepada kalian karena aku sangat menyayangi kalian.” Balas Johnatan memeluk mereka berdua. Yah, keluarga yang sangat harmonis sekali bukan. Semoga saja kebahagian kecil mereka akan abadi selamanya. * * *               Seorang laki-laki tengah berdiri di depan jendela besar diruangannya. Ia memasukkan sebelah tangannya kedalam saku celananya. Sedangkan sebelahnya ia gunakan untuk menggenggam gelas wine. Laki-laki itu memandang bulan yang bersinar terang. Ia menyesap sedikit red wine miliknya. Tatapannya tenang dan tajam. Tok tok             Seorang laki-laki lain memasuki ruangan miliknya. Ia tetap setia menatap bulan diatas sana. Laki-laki lain itu mendekati pria yang masih tetap tak bergeming dari posisinya itu. “Tuan,” laki-laki itu membungkuk hormat, “Kita gagal lagi”             Pria itu menyesap winenya lagi. Ia masih menatap kearah bulan dengan tenang. “Bagaimana dengan identitasnya?” Tanya pria itu.             “Tak diketahui, Tuan”             “Orang kita?”             “Hangus terbakar Tuan.” Detik selanjutnya tatapan pria itu mendingin. Ia meremat gelas wine nya erat. Ia menatap bulan tak suka. Tatapannya seolah ingin menghancurkan bulan yang sedang bersinar terang diatas sana.             “Elia,” Pria itu semakin menekan amarahnya setelah menyebutkan nama itu. “Kau selamat kali ini. Aku tak peduli bagaimana rupamu, yang aku inginkan hanyalah kematianmu.”             Kebahagiaan? Sepertinya itu tak akan pernah berlaku untuk selamanya bukan? Itu tergantung bagaimana kita mendapatkannya dan mempertahankannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD