Chapter 4

2127 Words
            Arzan keluar dari gedung olahraga dengan keringat yang mengucur di seluruh badannya. Ia baru saja selesai latihan basket dan melewatkan jam pelajaran ke dua untuk berlatih. Awalnya Arzan berlatih senidirian, namun saat hampir memasuki jam istirahat, temannya Rafael, atau yang biasa ia panggil Rafa, bergabung bermain bersamanya.             Arzan Ravindra Malik Nasution. Atau bisa kita panggil dia Arzan. Anak kedua dari keluarga Nasution. Keluarga tersohor kedua setelah keluarga Heliene. Arzan adalah penerus keluarga Nasution untuk perusahaan di Indonesia. Sedangkan yang di Luar Negeri dipegang oleh kakaknya. Arzan tidak terlalu memikirkan tentang perusahaan. Tetapi ia juga bukan tipe anak yang pembangkang.             Dari awal, Arzan sudah memiliki ketertarikan sendiri dalam bidang bisnis. Itulah mengapa keluarganya tak begitu kesulitan untuk mendorong Arzan ke dunia bisnis. Jangan tanyankan bagaimana paras Arzan. Tentu saja ia sangat tampan. Bahkan di sekolah ia menjadi pangeran sekolah. Ia juga sangat baik dan ramah kepada semua orang. Ia tak memandang seseorang akan status dan kasta mereka. Semua sama dimata Arzan.             Arzan menyeka keringat yang mengalir di wajahnya. Tubuhnya sangat berkeringat dan ia sangat gerah. Ia berjalan kearah lokernya untuk mengambil seragamnya dan setelahnya ia akan membilas dirinya di kamar mandi sekolah. Namun, niatnya itu gagal saat ia tak sengaja melihat segerombolan siswa dan siswi yang berdiri di depan kantin.             Ia tau ini sudah memasuki waktu istirahat. Tetapi, seramai apapun kantin, tak pernah sampai murid-murid berkumpul seperti itu di depan kantin. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Pikirannya sudah tertuju pada sebuah keributan. Entah siapa yang melakukannya, yang pasti dia tak suka.             Arzan menghampiri keramaian itu. Saat ia berada di depan siswa-siswi lainnya, ia menjinjitkan kakinya untuk melihat ke dalam. Namun pandangannya tak bisa menjangkau sampai kedalam kantin. Jadinya ia memilih untuk menerobos gerombolan itu.             “Permisi” kata Arzan             Siswa-siswi yang melihat Arzan yang mencoba menerobos gerombolan itu mulai memberikan jalan untuk Arzan. Saat Arzan berhasil menerobos gerombolan siswa itu, ia mendapati seorang murid perempuan yang tengah membentak murid laki-laki di depannya.             Awalnya ia bingung mengapa siswa laki-laki itu hanya diam saja dan tidak membalas perempuan itu. Sampai telinganya tak sengaja menangkap bisikan para siswa yang ada di belakangnya.             ‘Coba lihat, murid laki-laki itu sedang mencari masalah dengan Diana’             ‘Aku merasa kasihan padanya’             ‘Kau tau? Di hari pertamanya sekolah, katanya ia sudah membuat masalah di kelasnya’             ‘Habislah laki-laki itu di tangan Diana. bahakan Revan saja dilempar olehnya’             ‘Dia membangunkan iblis yang sedang tidur’             Arzan mengerutkan dahinya. Ia mencoba mengingat-ngingat dimana ia pernah mendengar nama Diana. Terasa begitu familiar ditelinganya. Lalu setelahnya, pikirannya tertuju pada Diana yang selalu menjadi sorotan dunia. Iya, Diana Eva de Heliene. Cucu tunggal keluarga Heliene.             Jadi siswi baru yang dibicarakan oleh Rafa dan murid-murid lain adalah Diana cucu keluarga Heliene. Ia memandang Diana yang berada tak jauh di depannya. Ia sedikit tak menyangka jika cucu emas Heliene bersekolah di sini. Ia juga lumayan terkejut saat melihat perilaku sang cucu emas Heliene.             Arzan berjalan menghampiri Diana dan bermaksud untuk menghentikan aksi wanita itu.             “Ada apa ini?” kata Arzan.             Ia memperhatikan Diana dan beberapa murid lainnya yang kini juga memperhatikan dirinya. Arzan mengangkat alisnya sebelah, mendapati taka da respon dari Diana, Arzan bertanya sekali lagi.             “Ada keributan Apa ini?” tanyanya sekali lagi.             Arzan menatap kearah Diana yang tengah mengangkat alisnya. Arzan sedikit tak suka dengan respon wanita itu.             Arzan dan Diana terlibat perdebatan yang sengit. Arzan merasa bahwa Diana terlalu angkuh, sombong dan seenaknya. Sedangkan Diana merasa Arzan terlalu ikut campur akan urusannya. Mereka terus berdebat sampai Diana menendang betis Arzan, sehingga Arzan jatuh bersimpuh dihadapan Diana.             ‘Sialan!! Beraninya wanita ini’ batin Arzan.             Arzan yang tak terima akan perlakuan Diana hendak membalas perempuan itu. Tetapi, ia tak jadi karena sebuah panggilan masuk dari ponsel Diana. ia semakin tertahan di posisinya, karena Diana yang tak melepaskan cengkaran tangannya pada bajunya.             Sebenarnya Arzan bisa saja melepaskan cengkraman Diana dan berbalik menyerang Diana. Tetapi, ia tak ingin merusak nama baiknya hanya karena ia yang menyerang seorang perempuan.             Arzan mendengar semua percakapan antara Diana dan ayahnya. Ternyata, selama ini ia telah salah memandang keluarga Heliene. Dia kira, Heliene adalah keluarga terhormat yang menjaga nama baik mereka. Karena memang tidak pernah ada pemberitaan buruk tentang Heliene.             Namun, hari ini mengetahui satu hal. Bahwa Heliene tak sesempurna yang terlihat. Semua kesempurnaan yang mereka tunjukkan hanyalah topeng untuk menipu publik.             Diana pergi meninggalakan dirinya yang kini tengah mencoba untuk meredakan amarahnya dan tak berakhir membanting meja di depannya. Ia menatap kepergian Diana dengan sengit. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan membalas perbuatan wanita itu padanya.             Dari gerombolan siswa-siswi itu, Rafael menerobos mereka dan menghampiri Arzan.             “Hei, ada apa ini? Mengapa semua siswa berkumpul disini?” Tanya Rafael             Arzan menghela nafas pelan. “Tak ada yang terjadi.” Kata Arzan, setelahnya Arzan pergi meninggalkan Rafael yang masih bingung dengan situasi sekarang.             “Apa aku melewatkan sesuatu?” Tanya Rafael pada dirinya sendiri.             Arzan menuju lokernya dan melanjutkan niat awalnya yang tertunda. Sepertinya guyuran air dingin mampu meredakan panas yang ada di kepalanya. * * *             Bel pulang telah berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar dan menuju parkiran. Ada yang dari mereka membawa mobil sendiri, ada juga yang di jemput oleh supir mereka.             Diana berjalan keluar dari gedung sekolahnya. Ia menuju parkiran dan berniat untuk lansung pulang. Tetapi, ia seketika merasa mals karena melihat beberapa siswa yang juga tengah membawa mobil yang sama mahalnya tengah saling berbincang di depan mobil milik dirinya.             Ia yakin, mereka pasti sedang membanding-bandingkan mobil miliknya dengan milik mereka. Dan teruslah pembicaraan tanpa henti itu berlanjut. Dan ia sangat muak untuk menghampiri mereka ataupun hanya sedekar memergoki mereka.             Diana berbalik untuk menuju gerbang depan. Ia memilih untuk pulang dengan transportasi umum saja. Namun, tak sampai disana, ia melihat sebuah mobil yang sangat dikenalnya. Mobil suruhan milik neneknya.             Diana merotasikan matanya dan jengah dengan keadaan ini. Diana mengeluarkan ponselnya dan menelfon orang suruhannya.             “Nona” sahut seseorang dari seberang sana.             “Jemput aku di sekolah baruku. Ah dan juga bawa satu orang untuk menemanimu dan suruh dia untuk mengambil mobilku. Aku meninggalkannya di sekolah. Kutunggu kau di belakang sekolah.” Kata Diana             “Baik nona.”             Diana menutup panggilannya. Ia berbalik dan berjalan melewati jalan samping sekolah yang terhubung dengan gang kecil yang berada di belakang gedung sekolahnya.             Diana melihat ke arah gang kecil yang panjang itu. Lumayan kotor, namun tak masalah. Ia bisa lansung mengganti sepatunya jika nanti sepatunya terkena noda kotor. Diana berjalan pelan sembari bersiul untuk memecah keheningan.             Seseorang dari belakang membuntuti Diana. orang itu berjalan dengan senyap. Ia mengikuti Diana dengan pelan. Semakin lama, orang itu mempercepat jalannya. Ia semakin mendekati Diana.             Diana masih berjalan dengan santai. Ia bersikap seolah-olah tak mengetahui bahwa ada seseorang yang tengah membuntutinya.             Tiba-tiba, Diana berhenti karena merasakan sesuatu yang terasa dingin menyentuh kulit lehernya.  Ia melirik sekilas pada sebuah lengan yang kini melingkar di bahunya.             “Diam atau aku akan menggores leher cantikmu.” Kata orang itu yang diketahui adalah seorang laki-laki.             Diana merotasikan matanya, sudah berapa kali dalam sehari ini ia merasa jengkel.             “Kalau kau tau leherku cantik, apa kau masih berani menggoreskan pisau itu pada leherku?” Tanya Diana             “Tentu saja. Kau tau, noda merah yang akan mengalir dari lehermu itu adalah sebuah pemandangan yang tak bisa dilewatkan.”             “Kalau begitu, sepertinya kau harus kecewa kali ini”             Setelahnya, Diana menarik lengan laki-laki itu dan membantingnya kedepan. Diana lansung mematahkan tangan laki-laki itu dan menendang wajah laki-laki itu. Suara jeritan kesakitan terdengar jelas di telinga Diana. Diana membiarkan orang itu terkapar kesakitan dan memandang jijik orang itu.             Diana hendak melanjutkan jalannya, namun beberapa orang sudah menghadang jalannya. Diana memandang seorang laki-laki yang berada paling depan. Ia mengingat bahwa laki-laki itu adalah teman sekelasnya yang tadi pagi ia lempar. Ah tunggu sebentar, biar kuralat. Laki-laki itu adalah anak di kelas yang sama dengannya. Bukan teman.             “Ah hai, tuan putri Diana. perjalannmu harus terganggu sebentar karena aku memiliki urusan yang harus kuselesaikan denganmu. Kau tidak keberatan bukan?”             Revan, laki-laki yang tengah menghadang jalannya berbicara seorang mempermainkan Diana.             “Sayang nya aku tak suka di ganggu, jadi menyingkirlah.” Kata Diana.             “Santai saja nona, kami hanya ingin bermain sebentar denganmu. Tidak akan lama, mungkin sampai aku menghiasi wajah cantikmu dengan pisau kesayanganku ini. Kulihat kau menikmati permainanmu itu. Bagaimana jika aku ikut bergabung. Tentunya sebagai lawanmu.”             Revan mengeluarkan sebilah pisau lipat dari kantong celananya. Ia memainkan pisau itu, bermaksud untuk menakut-nakuti Diana. tetapi sayangnya, Diana sama sekali tak merasa takut dengan Revan.             “Kau pintar juga menyimpan ekspresi ketakutanmu. Aku salut.” Revan menundukkan kepalanya sembari meludah. Setelahnya ia mengangkat wajahnya dan menyeringai kepada Diana.             “Kalau begitu, aku tak perlu berbasa-basi lagi bukan” Setelah mengatakan itu, Revan berlari ke arah Diana dengan pisau yang ia pegang. Saat ia hampir menusukkna pisau itu pada perut Diana, dengan cepat tangannya di cegah oleh Diana.             Diana mencengkram tangan Revan yang hendak menusuknya dengan pisau. Ia menrik tangan Revan dan membanting tubuh besar Revan. Setelah membantingnya, Diana menarik Revan untuk mendongakkan kepalanya dan membawa tangan Revan yang masih memegang pisau itu untuk ia arahkan pada lehernya sendiri. Setelahnya dengan pelan, Diana menarik perlahan tangan Revan, sehingga pisau itu menggores leher Revan secara perlahan.             Teriakan kesakitan dan darah yang mengalir itu terpampang jelas di mata anak buah Revan. Mereka terdiam melihat kejadian di depan mereka. Semua begitu cepat, sampai mereka tak bisa membaca pergerakan Diana. Bulu kuduk mereka meremang melihat Revan yang sudah terkapar di tanah.             Sekujur tubuh mereka bergetar. Diana melihat kearah anak buah Revan, ia memandang mereka dengan tatapan membunuhnya. Tanpa menunggu lebih lama, para anak buah Revan berlari ketakutan untuk menjauh dari Diana. ia tak ingin bernasib sama seperti Revan.             Gang kecil itu kembali hening. Revan dan salah satu laki-laki yang ia lumpuhkan sudah kehilangan kesadaran mereka. Tak lama, seorang laki-laki berpakaian serba hitam mendekati Diana.             “Nona,” sapa laki-laki itu pada Diana.             “Bawa laki-laki ini ke rumah sakit dan obati dia. Dan untuk yang satunya, buang dia.” Suruh Diana             “Baik nona. Lalu, bagaimana dengan mereka yang melarikan diri?”             “Kau tau apa yang harus kau lakukan pada mereka.”             Setelahnya Diana meninggalkan laki-laki itu dan pergi keluar dari gang kecil itu. Ia mengahmpiri sebuah mobil Ferrari hitam yang terparkir tak jauh dari gang kecil itu. Diana mengendarai mobil sport itu dan meninggalkan anak buahnya mengurus anjing jalanan yang baru saja ia beri pelajaran.             Seorang laki-laki yang tengah mengendarai sebuah mobil hitam yang tak jauh terparkir dari mobil milik Diana, dia mengamati semua pergerakan Diana. Matanya tak lepas dari Diana. jika ia mengalihkan pandangan sedetik saja, Diana akan pergi dari pandangannya.             Ia terus mengamati Diana sampai mobil yang dikendarai Diana melaju cepat meninggalkannya. Setelah ia tak melihat mobil Diana, laki-laki itu mengeluarkan ponselnya dan menelfon seseorang.             “Dia sudah pergi.” Kata laki-laki itu. Laki-laki diam menunggu balasan dari seseorang di seberang sana. “Dimengerti”. Laki-laki itu menutup panggilannya.             Ia menyalakan mobilnya dan pergi meninggalkan area itu. * * *             Diana memarkirkan mobil Ferrari milknya di basemant rumahnya. Ia memasuki rumahnya dan melihat beberapa maid yang tengah bekerja. Maid-maid itu mengehentikan pekerjaan mereka dan membungkuk hormat pada Diana.             Diana hanya mengangguk sekilas membalas sapaan mereka. Diana menuju ruang makan rumahnya, ia tak sempat makan siang tadi, jadinya ia begitu lapar sekarang. Diana menarik kursi dan mendudukinya. Beberapa pelayan lansung melayani Diana. berbagai macam makanan sudah tersaji di hdapannya. Saat ia akan mengambil lauk di hadapannya, ia merasa sedikit ada yang menjanggal.             Diana melihat keseluruh ruangan. Tak ada ibunya disini. Tumben sekali ibunya tidak ada di rumah. Diana berbalik dan bertanya pada maid yang berdiri di belakang Diana.             “Dimana Mommy?” Tanya Diana.             Salah satu maid itu mendongak dan menatap ke arah Diana.             “Nyonya sedang mengunjungi nyonya besar, nona” kata maid itu.             “Sudah lama?”             “Iya nona.”             “Baiklah”             Diana kembali melanjutkan makannya. Ia tidak terlalu memikirkan jika ibunya pergi mengunjungi neneknya. Mungkin saja mereka hanya membahas terkait perusahaan, dan Diana sedang tak ingin memikirkannya.             Kegiatan makannya itu terganggu karena notifikasi pesan yang masuk di ponselnya. Diana melihat siapa yang mengirimnya pesan.             1 massage from Lunar             Diana mengambil ponselnya dan membuka pesan yang masuk             From Lunar Umpan telah dilemparkan, tinggal menunggu mangsa kita memakannya. Kami menunggu perintah nona selanjutnya.             Diana membalas pesan itu.             To Lunar Tetap pantau umpan kita, aku memiliki firasat kita akan mendapatkan tangkapan besar. Ah dan juga, selidiki seseorang untukku. Kau pasti siapa dia, kuberi kau waktu 2 hari untuk menyelesaikannya. Lebih dari itu, siapkan jari kelingking mu untukku.             Diana mengirim pesannya dan menunggu balasan dari orang kepercayaannya. Tak lama kemudian, pesan balasan masuk ke ponselnya.             From Lunar Dimengerti, nona.             Setelah membaca pesan balasan itu, Diana kembali melanjutkan makannya.             ‘Ingin bermain denganku? Pastikan kalian tidak menyerah di tengah permainan.’ Batin Diana.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD