Milk - 3

1523 Words
“Tapi kalian belum mencoba kan?” tanya Bu Tri membuat Laras mengerutkan dahinya. Tanpa mencoba pun Laras sudah mengetahui akhirnya. “Kalo kamu bagaimana Arken?” “Saya sebenarnya pengen banget, Buk.” Laras yang mendengar ucapan Arken langsung mengalihkan pandangannya pada lelaki yang berada disampingnya itu. Ia kira lelaki yang ia kenal beberapa detik itu akan langsung menolak karena menurut yang ia tahu anak-anak seperti Arken itu tidak mau berhuhungan dengan hal yang merepotkan. “Karena banyak banget hal yang disini menyimpang, Buk.” Arken memasukan kedua tangannya disaku celananya. “Tapi kalo kegantengan saya itu bukan hal penyimpangan ya, Buk.” Arken nyengir. “Tau enggak, Buk? Hal apa yang membuat siswa-siswa seperti kami ini bolos? Karena kami enggak nyaman. Ada aja satu dua guru yang  mencela karena nilai kami yang buruk, di cap bodoh. Padahal itu alasan kami sekolah, ingin pintar. Dan aja juga guru yang enggak menghormati kami sebagai siswa, padahal kami sudah menghormatinya sebagai guru.” Laras sepenuhnya terkejut saat mendengar ucapan Arken. Ia tidak tahu bahwa lelaki itu memikirkan tentang hal ini. Dan, yang membuat Laras tertegun dengan ucapan Arken adalah yang dikatakan laki-laki itu memang benar. Walapun Laras tidak pernah peduli dengan orang-orang yang membolos, namun hati kecil Laras tidak pernah menerima jika ada siswa yang dicela oleh guru. Karena dasarnya seorang guru adalah contoh bagi muridnya. Lagi pula hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.  Bahkan yang ada akan menambah.  Ajak siswa itu berbicara. Tanya hati ke hati. Pecahkan secara bersama-sama. “Tapi, kayaknya Laras enggak mau pasangan sama saya, Buk.” Bu Tri terdiam. Sebagai seorang Guru yang telah lama mengajar di sekolah, ia tahu betul dengan keadaan yang biasa terjadi antara sang guru dan siswa. Memang yang dikatakan Arken itu ada benarnya, namun ada beberapa guru memang yang tidak bisa memberikan apa yang seharusnya murid butuhkan. Ada guru yang tak tahu harus bagaimana mengungkapkan perasaan sayangnya dengan murid. Bu Tri jadi pusing. “Kalo memang Laras enggak mau, Ibu enggak akan memak—“ “Saya mau, Buk. Jadi pasangannya Arken.” ———— Perpustakaan. Tempat anti mainstream yang berada di lingkungan sekolah. Selalu sepi dari pagi hingga  petang. Mungkin, hanya ada beberapa siswa yang mampir sekedar menikmati dinginnya kipas angin yang berada di perpustakaan atau benar-benar membaca disini. Tapi, kali ini nampaknya perpustakaan akan ramai karena ada seorang makhluk yang sedari tadi tidak berhenti bicara dan berulah. "Lo geseran dikit, dong. Kipas anginnya gak kena sama gue." "Ini kipas angin kok pelan amat, belum bayar listrik kali ini sekolah." "Perpus ada wipi-nya gak ya?" "Eh, ada! Tapi, namanya masa Sempak Ijo?" "Sempak siapa yang ijo? Sempak Pak Deden kali ya?" Laras mengeram marah dari atas bangku, buku yang sedari tadi ia baca kini telah sedikit runyam akibat remasan dari tangannya. Matanya yang yang kini berapi-api menatap sesosok mahluk yang tengah tertidur dengan posisi terlentang diatas lantai. Tempat dimana kipas angin berada. "Woy sempak! Bisa diem gak?!" seru Laras dari atas bangku. "Jangan-jangan sempak Laras yang ijo? Tapi, gak keren banget," guman Arken yang kini tengah menatap langit-langit. Satu yang pasti, pemilik wifi ini adalah manusia berkolor hijau. Dan Arken harus segera menemukannya. Lumayang kuota datanya menjadi hemat. Laras menghela nafas lega saat melihat Arken yang kini terdiam menatap langit-langit. Entah memikirkan apa, Laras tidak peduli apapun tentang laki-laki itu. Yang penting laki-laki itu diam sehingga Laras bisa mencari yang sedari tadi ia meraka cari. Sebenarnya Laras tak ingin ikut dengan acara seperti ini, namun ketika Ibu Tri yang juga wakil kepala sekolah bagian kesiswaan sudah memerintahkan mereka, Laras hanya bisa mengangguk. Tiba-tiba, Laras yang telah kembali tenang membaca buku, melemparkan bukunya dengan kuat saat mendengar celetukan dari Arken. "Ras, sempak lo warna apa?" Brakk... "Lo itu bisa diem gak!? Apa mau gue lakban itu mulut? Ngomong banyak tapi gak satupun yang berfaedah!" "Santai aja, Ras. Gak usah ngegas dong. Gue cuman nanya warna sempak, belum ukurannya." "Arken!!!" teriak Laras. "Larass!!!" balas teriak Arken. Bahkan lali-laki itu sampai berdiri dari rebahannya. Tangannya dipinggang, giginya ia gerakan ke kiri dan ke kanan, khas anak-anak yang mainnya diambil. "Hei! Ini perpus bukan wahana bermain! Teriak-teriak, saudaranya Tarzan ya!" Mereka berdua menglihkan pandangannya pada seorang laki-laki paruh baya yang tak lain dan tak bukan adalah Pak Deden, penjaga perpus yang berprofesi menjaga buku-buku Perpustakaan. Pak Deden menatap keduanya dengan tajam seraya membenarkan kacamata tebalnya. "Sekali lagi kalian berdua berisik, angkat kaki dari sini!" tunjuk Pak Deden pada Laras dan Arken. Arken dan Laras kompak mengangguk. Lalu Pak Deden berlalu dari hadapan mereka. Dua sepasang anak manusia itu menghela nafasnya lega. Salah satu faktor Perpus sekolah mereka sepi, juga karena Penjaga Perpusnya yang mirip seperti penjaga tahanan penjara. "Ini semua gara-gara lo!" "Iya, hukum alam emang selalu menang. Cowok selalu salah dan cewek walaupun salah maksa buat benar." "Apa tadi lo bilang?!" tanya Laras seraya mendelik kearah Arken. Laki-laki itu hanya mendengus lalu kembali rebahan telalntang dimana diatasnya ada kipas yang bergerak lama. "Eh, kita ngapain sih disini? Lo udah nemu bukunya belum?" tanya Arken seraya bangkit mendekat kearah Laras. Sengaja memilih bangku yang berada disamping Laras membuat perempuan itu menatap awas kearah Arken. "Woles aja, Ras. Kita itu harus membangun kemistri antara lo sama gue. Jadi kalo kita dekat-dekat gini, gak apa kali ya," ucap Arken santai yang dibalas dengusan oleh Laras. Perempuan itu kembali membuka buku yang sedari tadi ia baca, lalu mencari halaman yang ingin tunjukan pada Arken. "Nih, baca! Itu aturan mainnya. Ribet banget." Arken mengambil buku itu, lalu membacanya dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Seolah paham tentang apa yang sedang ia baca. "Ohh, masa peraturannya harus membawa memakai seragam yang lengkap, datang saat Adzan Subuh berkumandang dan membawa bekal dengan isi makanan lima sehat empat sempurna." "Bukan yang itu kadal, yang sampingnya." "Eh, yang sampingnya, toh." Arken kembali membaca buku itu. Kali ini Laras tidak mau banyak berharap dengan Arken. Bisa membaca saja, Laras sudah syukur. "Ini mudah. Cetil banget." Arken menjentikan jarinya. Seolah masalah itu sangatlah mudah. "Emang gimana?" tanya Laras. "Pertama, kita harus buat media kampanye. Nah, kebetulan Tante gue bisa yang begituan. Dia punya usaha advertisement. Jadi, aturan yang pertama lolos. Dan aturan yang kedua, membuat pidato semenariknya. Mami gue dulu mantan Guru Bahasa- Indonesia, mintakin buatin sama dia aja. Mami gue juga Queen pas jamannya, tiga tahun berturut-turut lagi. "Ketiga, ini yang agak susah. Calon King dan Queen harus berprilaku baik dan menjadi contoh bagi setiap siswa-siswi Sma Pegasus. Bukan hanya sebelum pemilahan bahkan seterusnya. Dan, gue gak yakin sama ini." Laras mengalihkan pandangannya kearah Arken. Laki-laki nampak putus asa karena masalah ini. Ia tak menyangka, Arken begitu minat dengan acara tahunan sekolahnya. "Lo bisa. Enggak ada yang enggak bisa, kalo otak lo udah mikir enggak bisa. Lo bakal gak bisa beneran. Itu semua tergantung niat lo, lo bakal bisa. Percaya sama Pak Deden," ujar Laras dengan tawa diakhir kalimat. Wanita itu kembali membuka buku yang menjadi panduan sekolah mereka. Dibuku itu semua lengkap. Sejarah dan daftar-daftar nama guru yang mengajar saja ada disana. Arken terdiam setelah mendengar ucapan Laras. Tidak tahu mengapa walau Laras mengatakan itu dengan bercanda diakhirnya, Arken merasakan sesuatu yang berbeda. Ia kembali merasakan hal ini, merasakan dimana dirinya menjadi seseorang yang diharapkan. Karena selama ini, Arken merasa dirinya tak pernah diharapkan. Atau, memang Arken tidak pernah peka dengan sekelilingnya. "Eh, beneran sempak lo bukan warna ijo?" Pletak.... *** Laras berjalan pelan menuju meja kantin yang telah diisi oleh dua orang perempuan. Dengan malas-malasan Laras menjatuhkan kepalanya ke meja bundar kantin setelah tangannya ia jadikan bantalan. "Kenapa tuh anak?" tanya seorang perempuan dengan rambut sebahu pada perempuan lain yang kini tengah memutar-mutar sedotan didalam gelasnya. "Mau mati kali," ucapnya dengan menghendikan bahu membuat Laras menegakan kepalanya seraya menatap sinis kearah wanita berbando merah muda itu. "Nyari mati lo?" tanya Laras ketus.  Calya terkekeh. "Santai dong, sis." "Lo yang kurang santai." Diandra menyela perdebatan dua s*****n itu. "Lo berdua kalo mau berantem gue siapin ring dulu. Jangan disini, gue gak mau ganti rugi mangkok-mangkok dan gelas yang pecah akibat gulad lo berdua." "Gue bisa bayar sendiri kalo itu pun terjadi," sahut santai Laras. Wanita itu memalingkan mukanya, tak sanggup melihat wajah itu lebih lama. "Lo lagi ada masalah, Ras?" "Banyak." "Gak pengen cerita gitu?" "Tadi sih pengen. Tapi, karena ada dia, gue jadi enek." Laras melirik sinis ke arah Calya seraya bangkit dari duduknya. Masih dengan menatap tidak suka wanita feminim berbando merah muda itu, Laras berbica cukup kuat pada Diandra. "Gue saranin sama lo, Dra. Jangan berani bawa masuk orang ketiga lagi dalam hubungan lo, nanti susah ngusirnya." Laras sengaja menekan kata 'orang ketiga' dan tatapannya tertuju pada Calya yang terdiam dibangkunya. "Gue cabut." Laras meninggalkan Diandra dan Calya yang mematung mendengar kata-kata setajam silet milik Laras. Mereka tahu, karena kurang lebih dua tahun bersahabat, mulut Laras adalah bisa mematikan. Mereka juga tidak menyadari seseorang yang berada tidak jauh dari mereka mendengar itu semua lalu beranjak mengikuti jejak Laras. "Gorila!" Laras menghentikan langkahnya. Memutar sedikit tubuhnya dan mendapatkan seorang Arkenio Perkasa berjalan menuju kearahnya. Belum sempat Arken sampai didepan Laras, perempuan itu lebih dulu melontarkan kata-kata yang membuat Arken terdiam. "Sekarang kita di lantai tiga, sekali aja lo buat gue kesal. Lo bakal ngerasaiin yang namanya terjun bebas." Glek...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD