Oreo - 4

1500 Words
"Saya ke kantin sebentar. Jangan macem-macem disini. Ingat! Kalian cuman berdua di Perpustakaan." "Siap, Pak!" sahut Arken begitu bersemangat. Laki-laki itu berdiri tegak sambil mengeluarkan hormatnya, membuat pria paruh baya itu menatap curiga ke arah Arken. Setelah Pak Deden benar-benar pergi dari Perpustakaan, Arken mengalihkan pandangnnya pada seorang perempuan yang tengah memilih buku. "Ras." "Hemm." "Lo enggak mau ceritaiin?" "Cerita apa? Timun Mas, Kancil yang cerdik atau Bawang Putih dan Bawang Merah?" Arken mendengus. "Bukan itu kali, tentang sahabat lo itu, maksud gue." Pria itu mendekat kearah Laras yang tengah berada di bagian rak novel.  "Lo bukan siapa-siapa gue." Arken memegang dadanya. Sakit. Tapi, enggak berdarah. "Kuy jadiin gue siapa-siapa lo." Laras mengalihkan pandangnnya pada Arken yang tengah menatapnya dengan binar-binar. Ternyata selain penggoda wanita, Arken juga tukang rumpi. "Lo mau jadi apa gue?" "Teman, sahabat. Eumm, pacar mungkin." "Gila." "Lah masa gue dianggap orang gila?" "Teman," sahut Laras lalu mengambil salah satu buku yang lumayan tebal dari rak. Tidak ada salahnya juga kan mereka menjadi teman. Lagi pula mereka akan menjadi pasangan calon Raja dan Ratu.  Kemudian perempuan itu berjalan menuju salah satu bangku lalu mendudukan bokongnya. Sedangkan Arken, pria itu mengngitari meja lalu duduk dihadapan Laras. Kedua tangan pria itu menyangga pipinya. Membuat Laras menjadi tak nyaman saat melihat wajah rupawan Arken. Laras tidak munafik, ia mengakui wajah rupawan Arken. Namun untuk mengatakannya secara langsung, Laras masih memiliki urat malu dan tidak mau membuat Kadal buntung itu besar kepala. Lagipula ia yakin, Laras akan berakhir seperti wanita-wanita lainnya jika sampai jatuh cinta pada laki-laki itu. "Oke, sekarang kita teman." Laras hanya berguman saja lalu membuka buku itu, novel horor, setelah melihat-lihat isinya Laras jadi kurang yakin untuk membacanya disini karena melihat Arken yang tersenyum lebar nampak mengerikan dari novel yang ia pegang. "Haii, teman!"  Laras menatap Arken horor saat laki-laki itu menyapanya begitu semangat belum lagi lambaian tangannya yang nampak begitu menggelikan. Perasaannya, ia baru saja membaca satu halaman novel horor ini, namun auranya tiba-tiba sangat mencengkam sekarang. "Gue cuman nyapa kali bukan nagih utang," sewot Arken. "Iya deh iya." "Lagi pula kitakan udah sehidup semati." "Iya, gue hidup lo mati." "Kita jugakan udah seiring sejalan." "Betul. Gue di jalan lo disiring." "Monyet Laras!" Laras tertawa terbahak-bahak—- sampai ia harus menutup sedikit mulutnya—melihat muka sengsara milik Arken. Entah mengapa hanya dengan lelucon laki-laki itu, rasa penat di hati Laras sebelumnya menguap dengan sendirinya. Perempuan itu meletakan novelnya kembali diatas maja, Arken nampak lebih menarik sekarang. "Jadi apa masalah lo?" Laras menghela nafas mendengar pertanyaan dari Arken lagi. Laki-laki itu tampaknya begitu menuntut penjelasan dari dirinya. Dan belum akan berhenti jika Laras tidak bercerita. Tapi, entah kenapa rasanya Laras ingin berbagi cerita pada lelaki itu, ia sudah terlalu lama untuk memendam ini semua seorang diri. "Masalahnya itu cukup complicated." "Hah? Panted?" "Comlicated woy! Bukan panted. Itu artinya rumit." "Ohh, gonggong dong." "Lo pikir gue ayam?" "Anjing woy anjing." Laras tertawa begitu juga dengan Arken. Mereka sama-sama tertawa membuat suasana kaku yang ada di Perpustakaan menguap dengan sendirinya. Sedangkan Arken didalam hatinya berseru senang saat melihat Laras tertawa lepas. Arken bukanya ingin tahu tentang masalah Laras tapi Ia ingin Laras membagi masalahnya agar beban wanita itu berkurang. Satu lebih baik daripada duakan? Gila berdua lebih asik daripada gila sendiri kan? Hening. Setelah tawa mereka usai, tidak ada yang bersuara lagi. Baik Arken maupun Laras, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Saat mereka mendongak, mata mereka saling bertemu.  "Lo ---" "Gue ---" "Hahahahah." Sekali lagi tawa mereka menguar di ruangan Perpustakaan. Hanya karena Arken dan Laras kompak memanggil tapi sudah membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Kadang untuk bahagia tidaklah rumit, cukup tersenyum maka kau akan bahagia.  Laras menghentikan tawanya sedikit kesulitan, wanita itu harus menghela nafas beberapa kali agar bisa menetralkan nafasnya. Lalu saat merasa sudah lega, Laras menarik nafasnya panjang. Panjang nih kayaknya—- batin Arken. "Dulu gue sahabatan sama dia, sama Diandra juga. Deket banget. Tapi, karena sesuatu hal hubungan persahabatan gue sama dia akhirnya renggang. Dan persahabatan itu jadi hancur lebur saat dia mengulanginya lagi." Sudah lama rasanya Laras tak berceita seperti ini. Dan, saat ini ia tengah bercerita pada lekaki yang baru ia temui beberapa jam. Padahal dulu biasanya ia akan selalu bercerita dengan Diandra ataupun Calya. Namun semenjak kejadian itu mereka seperti tercerai berai. Kadang Diandra bersama Calya, kadang Dindra bersama Laras. "Masalahnya apa?" "Mungkin menurut lo gue kekanak-kanakan. Tapi memang itu faktanya. Dia ngerebut pacar gue." Arken berseru sambil bertepuk tangan. "Ohh... Ini ceritanya gak bisa move on ya?" laki-laki itu mengedipkan sebelah matanya. Menggoda Laras dengan senyum setannya. "Enggak. Gue juga lupa alasan gue nerima dia. Tapi, yang bikin gue jijik itu, cowok yang jadi pacar gue itu laki-laki yang dia comblangin sama gue. Gimana gak s**t kan?" Laras menghela nafasnya seraya mengempaskan tubuhnya ke bangku Perpustakaan. Jika diingat-ingat lagi, setelah Revan pergi, Laras tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta lagi. Semua laki-laki yang menyatakan cinta padanya tidak semua ia terima, hanya beberapa itupun paksaan dari Diandara dan Calya.  Dan, yang membuat Laras sangat membenci Calya karena sifat perempuan itu seperti ular berkepala ganda. Padahal Calya sendiri yang menjodoh-jodohkan Laras dengan laki-laki itu, tapi akhirnya Laras melihat laki-laki itu sedang bermesraan dengan Calya. Laras nangis? Oh, tidak. Menyesal apalagi, toh dirinya tidak berjuang sama sekali hanya laki-laki yang begitu agresif. "Gilak, sih," komentar Arken. "Ngapain dia combalingin tapi akhirnya diembat juga." "Nah tuh lo pinter! Toss dulu dong." Laras mengangkat sebelah tangannya diikuti dengan Arken. Lalu dengan semangatnya mereka bertos ria. "Dan yang bikin persahabatan gue itu hancur adalah, dia juga ngerebut pacar Diandara. Dia ngelakuin itu dua kali. Padahal itu sahabatnya sendiri, holy s**t!" gigi Laras berglematuk saat mengingat hal itu lagi. Apa untungnya coba menggaet pacar teman sendiri? Dia tidak akan mendapatkan piala atapun piagam. Malah akan merusak nama baik dirinya sendiri. Tapi, Laras benar-benar bersyukur setelah kejadian itu karena Diandra menemukan seseorang yang menurutnya cocok untuk Sahabatnya. Walaupun karena itu juga Laras jadi jarang sekali bertemu dengan Diandra sekarang. Ah, Laras benar-benar merindukan sahabatnya sekarang. “Tapi, gue beberapa kali ngelihat Diandra masih sering tuh main sama teman lo yang itu?” tanya Arken sambil merubah posisinya menjadi duduk santai, Laras yang mendengar itu menjadi manyun. “Dia bukan teman gue,” ujar wanita itu mengingatkan Arken. “Diandra itu orangnya pemaaf. Padahal gue udah bilang untuk berhenti berhubungan sama ular itu, tapi dia masih keukeh maafin. Malah ngajak gue untuk maafin dia juga.”  Arken mengerutkan dahinya sambil menggaruk kepalanya. Ia tidak pernah paham dengan masalah perempuan. “Maafin aja kali, Ras.” Laras menggeleng membuat kuncir kuda rambutnya ikut bergoyang. “Gue udah satu kali ngasih dia kesempatan, tapi dia masih tetap enggak mau berubah. Sorry, Ken, gue belum semalaikat itu untuk ngasih dia kesempatan kedua.” “Si temen lo itu udah pernah minta maaf?” tanya Arken lagi. “Udah. Gue maafin kok, tapi untuk kembali jadi seperti biasa itu enggak mungkin.” Setelah mengatakan kalimat itu Laras mengerutkan dahinya. “Lo suka sama temen gue itu?” “Hah?!” Arken langsun menggeleng dengan cepat. “Enggaklah. Kan gue sukanya sama lo,” ujar Arken sambil terkekeh membuat tangan Laras bergerak mengambil novel yang ia bawa dan ingin melempernya pada Arken. “Lempar bilang?! "Sabar, Ras, sabar. Orang sabar buntutnya lebar." "Enggak ada kata sabar untuk orang kayak lo!” Arken terkekeh. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otak Arken. "Lo belum pernah ngerasain yang namanya bolos kan?" tanya Arken bangkit dari kursinya. Laki-laki itu menegakan kerahnya sambil tersenyum lebar dan menaik-turunkan alisnya. "Jelas belum pernah. Dan, gak akan pernah!" ujar Laras membuat setan ditubuh Arken semangat. "Lo harus ikut gue! Dan, rasain sensasinya," bujuk Arken kegirangan. Arken menarik lengan Laras dengan cepat membuat gadis itu tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Dengan semangat menggebu-gebu Arken membawa Laras menuju belakang sekolah. Sedangkan Laras, merasakan detak jantungnya begitu kuat berdetak saat tangan Arken menggenggam tangan mungil Laras. Hangat. "Hari ini ada patroli enggak?" "Enggak ada. Hari ini free." "Bagus!" Arken tersenyum lebar, dari dulu ia memang ingin sekali memiliki atau paling tidak teman yang beranggotakan anak Osis. Sehingga jika ada razia atau patroli apapun, Arken akan dengan sigap menghindarinya. "Eh, tangan lo bisa lepas enggak?" Arken menampilkan cengirnya. "Hehe, maaf. Tangan lo lembut banget!" Laras menggeleng lalu tatapannya beralih pada tembok belakang sekolah yang lumayan tinggi. Banyak coretan dan gambar alat reproduksi disini. "Lo naik cepetan!" Laras tak menyadari bahwa Arken telah berjongkok dibawah sana. Kening Laras mengerut dan bibirnya mengerucut. "Ngapain?" tanya Laras. "Naik terus lo duduk tuh di tembok." "Gak mau!" "Harus mau. Kalo enggak mau gue cipok nanti!" ancam Arken sambil menaik-turunkan alisnya. Dengan hati yang sabar dan memendam perasaan ingin melempar Arken ke kolam buaya, Laras menginjak punggung Arken dengan semangatnya. Perempuan itu berjengkit ketakutan saat Arken mulai berdiri membuat Laras harus menjaga keseimbangannya. Dan setelah memegangi ujung tembok, Laras mulai melompat dengan perasaan takut-takut. Brukk.. "Awas Laras!" Brukkkk... "Jeng-jeng! Bagaiman perasaan lo?" "Gilak! Deg-degan banget! Ini rasanya sama kayak ulangan tapi waktu tinggal dua menit lagi dan sepuluh soal belum diisi." "Hah?" Krik... Krikkk...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD