"Terus sekarang kita ngapain?"
Arken terdiam ketika mereka berdua telah berhasil melakukan aksi tak terpuji sekaligus tak patuh dicontoh. Sedangkan Laras, wanita itu mulai tersadar bahwa ia telah melakukan sesuatu yang dulu ia tidak tolerir.
"Demi apapun kita benaran bolos?!" Laras memikik lalu tatapannya menajam ke arah Arken. "Bener-bener setan! Pantas aja Nabi Adam kemakan rayuan setan, begini toh rayuannya!"
Arken memanyunkan bibirnya, masa dirinya disama-samakan oleh setan. Masih gantengan Dirinya kali. Tapi, didalam lubuh hati Arken, sebenarnya juga merasa bersalah karena telah mengajak Laras untuk melakukan ini. Tapi kalo sudah terjadi begini, mau dikata apa lagi.
Arken tiba-tiba tersenyum lebar, laki-laki itu mengingat sesuatu membuat Laras menatap awas ke arah Arken.
"Enggak-enggak setan! Udah cukup lo buat dosa gue untuk hari ini!"
"Dengerin dulu, Ras." Arken menarik Laras untuk duduk dipinggaran selokan yang telah lama tidak dipakai. "Elit banget tempat duduk lo!"
Arken mengabaikannya celotehan Laras. "Kita kan udah kebetulan bolos, gimana kita ke tempat Tante gue aja?"
"Ngapain?" tanya Laras bingung.
Arken berdecak. "Kampanye itu. Kita tanya-tanya sama Tante gue."
Laras terdiam, benar juga perkataan Arken, daripada mereka berkeliaran tak tentu arah dan sangat-sangat tidak mungkin untuk balik ke sekolah. Saran yang diberikan Arken cukup tepat untuk sekarang. Namun saat menatap pantulannya dirinya digenangan air becek, wanita itu mengerutkan dahinya.
"Kita pake baju sekolah, Ken?" tanya Laras. "Enggak bakal diciduk satpol PP?"
Arken tiba-tiba tertawa besar. "Hohoho! Lo meragukan keahlian gue, Ras? Percuma gue sering bolak-balik BK karena bolos kalo masalah ini aja enggak teratasi!"
Laras mengerutkan dahinya. Menatap Arken yang bangkit dari duduknya. "Tunggu sini, oke?" perintah Arken membuat Laras menangguk saja. Sedangkan laki-laki itu bergerak ke arah ujung g**g belakang sekolah namun masih terlihat oleh Laras.
"Suittt!"
Laras memelotokan matanya. Arken itu mau cari mati apa? Ia ingin satu sekolah tahu bahwa mereka membolos. Laras panik jika ketahuan dan nama baiknya akan tercoreng, Arken menatap masam wajah panik Laras, suilan saja sudah membuatnya panik belum jika Arken berteriak.
Satu menit berlalu, tiba-tiba dua buah jaket terbang dari balik tembok sekolah. Membuat Laras yang melihatnya terkejut.
"Nih, pakek!"
"Ini jaket siapa?" tanya Laras ragu. Namun tetap mengambil jaket itu dari tangan Arken. "Itu jaket gue," ujarnya sambil menunjuk jaket yang sedang Laras pakai. "Dan ini jaket Keenan." Arken mengangkat jaket yang ia genggam.
"Kita naik apa kesana?" tanya Laras.
"Angkot."
"Hah?!" Laras melongo. Bukan, bukan karena ia malu menaiki angkutan umum itu. Yang Laras pikirkan apakah mereka tidak terlalu mencolok menggunakan seragam sekolah walau sudah tertutupi jaket?
"Uang gue habis, tadi bakwan di kantin lagi anget-angetnya. Kalep habis 10 biji sama gue, mana tadi bakso sama Mie ayam Pak Den enak banget."
Laras manyun. Kesal karena laki-laki itu malah menyebutkan makanan kantin saat Laras kelaparan seperti ini. Wanita itu tidak ke kantin saat istirahat, Ia lebih dulu mengunjungi perpustakaan dan barulah Arken menyusul dari kantin.
"Pake duit gue aja, kita naik——" Laras membulatkan matanya saat meraba kantong celananya. Lalu berpindah ke bagian sakunya. "Duit gue hilang!" ujarnya panik.
"Dompet gue didalam tas!" Laras menjabak rambutnya. "Cepet banget azabnya sampai. Astaga!"
"Lo laper?" tanya Arken tak tega.
"Masih bisa ditahan."
Arken mengangguk. Lalu keduanya mulai berjalan keluar dari gedung belakang sekolah, saat mereka keluar dari sana beberapa warga yang lewat menatap curiga. Disana banyak semak-semak, sepi dan mereka hanya berdua. Apalagi wajah kelelahan Laras dan wajah bahagia Arken yang bisa jalan-jalan membuat mereka semakin curiga.
Untung saja didekat sana ada tempat angkot-angkot berkumpul. Jadi mereka tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk menaiki angkot agar bisa sampai di rumah Tantenya.
"Ras, lo naik deluan ya. Gue mau kesana bentar." Laras mengangguk saja, ia lemas sekarang. Perutnya benar-benar lapar, mau minta dibelikan sesuatu oleh Arken rasanya malu. Karena laki-laki itu sudah membayar ongkosnya dan sekarang ia malah meminta dibelikan sesuatu.
"Nih, makan."
Arken menyerahkan sebotol minuman dan sebungkus roti ke arah Laras yang sudah didalam angkot. Wanita itu menatapnya terkejut. "Uang lo masih ada?" tanya Laras ragu-ragu untuk mengambilnya.
"Ada uang 50 ribu keselip di kantong kiri gue. Baru ingat gue belum bayar makanan di kantin tadi," ujar Arken sambil menyengir dan Laras hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Makasih Ken. Nanti gue ganti."
"Aelah lo, berapaan banget itu." Arken mengibas-ngibaskan tangannya. "Walaupun gue kayak playboy gini, gue enggak bakal biarin cewek yang gue bawa kelaparan. Anti banget, dah."
Laras tersenyum sambil menggigit sepotong roti itu. Wanita itu mengakui bahwa Arken benar-benar seperti laki-laki sejati. Lalu angkot pun berjalan, selama perjalanannya Arken tak henti-hentinya membuat Laras tertawa dan emosi. Laki-laki itu benar membuatnya... bahagia.
Mereka akhirnya sampai ditujuan, didepan sebuah perumahan elite yang sudah kelihatan mewah dari luar. Penjagaannya juga sudah sangat ketat. Ada dua satpam berkumis yang berdiri tegak menjaga disana.
"Ras, lo enggak usah masuk ya?"
"Kenapa?"
"Tuh, ada tulisannya 'gembel dilarang masuk' maaf, nih, ya gue agak kasar."
"Yang ada lo yang nanti usir," balas Laras.
Arken merasa tertantang. "Oke, kita buktiin. Siapa yang tampangnya kayak gembel? Lo atau gue?" Mereka berdua berjalan ke arah pos penjagaan. Dua satpam itu tiba-tiba langsung bergerak memberhentikan mereka padahal keduanya bahkan belum sampai di pos.
"Maaf, disini tidak menerima gembel."
Laras dan Arken saling tatap, keduanya membulatkan mata dan menggeleng secara kompak. "Wah, wah, enggak bisa gini, Ras. Kalo lo yang disangka gembel, emang mirip. Lah, gue? Engak bisa nih."
Arken menatap tak peryaca pada dua satpam itu, mengusap rambutnya. Laki-laki mendramatisir keadaan membuat Laras ingin sekali mendepak Arken darisini.
“Pokoknya kalian berdua tidak boleh masuk!” ujar satpam berkumis tebal dengan wajah garangnya.
“Iya, Pak. Iya. Santai dong. Itu kumis bapak gerak-gerak, nanti lompat lho, Pak.”
Laras menggelengkan kepalanya saat melihat kelakukan Arken yang memperkeruh suasana, tidak lihat itu si Pak Satpam kumisnya sudah mau lompat?
“Memangnya kalian mau kemana?”
“Ke tempat Tante saya, Pak.”
Mereka sedikit beruntung karena nampaknya Pak Satpam berkumis tipis nampak lebih dapat diajak bicara. “Maaf menganggu waktu Bapak berdua. Sebelum itu perkenalkan kami terlebih dahulu. Nama saya Larasti Ayu dan ini teman saya Arken. Kami bedua dari Sma Pegasus. Kami kesini ingin mengunjungi Tante dari teman saya ini. Pak.”
Laras mengucapkannya sambil tersenyum manis. Sebagai Sekretaris Osis dan perangkat kelas, Laras sering dijadikan benteng atau kambing hitam oleh teman-temannya jika mengunjungi rumah teman mereka atau mengunjungi teman yang sedang sakit.
“Lo mau ngapain, Ras? Kunjungan?” saut Arken sambil terkekeh.
Kedua bapak Satpam itu nampak mengangguk mengerti. “Nama dari Tante temannya siapa?”
“Sindi, Pak.”
“Oh, Buk Sindi? Yang tinggalnya di Blok N?” Arken mengangguk, ia cukup sering berkunjung ke rumah tantenya itu. Jadi dia sangat hafal dengan nomor bloknya.
“Buk Sindi tidak ada di rumah. Katanya, beliau sedang ada urusan ke luar negeri dan dua minggu lagi kembali.”
————
“Gimana?
“Yah. Enggak gimana-mana. Kita tunggu Keenan balik sekolah dan jemput kita disini.”
Laras menghela nafasnya. Berjalan lunglai sambil menatap punggung Arken yang lebih dulu berjalan darinya—— karena memang langkah kaki pria itu dua kali lipat dengan langkah kakinya.
“Kita beneran jadi gembel. Enggak punya uang, enggak punya tujuan.” Laras mendengus, bibirnya mengerut. “Dan, ini semua karena lo.” Wanita itu merotasikan bola matanya. Ia tidak tahu mulut siapa yang maling mujarab diantara satpam itu, lihatlah mereka sekarang menjadi gembel sesuai yang mereka katakan.
Brukkk...
Laras menabrak tubuh Arken yang tiba-tiba berhenti mendadak. Wanita itu mengusap-usapnya dahinya. Matanya menajam menatal tubuh kokoh itu, siap ingin melemparkan u*****n-u*****n pedas dari mulutnya.
“Kok gue?!” Arken membalikan tubuhnya. Wajahnya yang nampak nyolot semakin membuat Laras ingin memuntahkan lava u*****n ke arah laki-laki.
“Heh!” Arken menujuk Laras. “Lo kan udah biasa jadi gembel. Enggak sok-sokan gak mau gitu.” Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. “Apa jangan-jangan lo mau cari perhatian gue?”
Laras membulatkan matanya. Tidak tahu bahwa lelaki dihadapanya ini memiliki kepercayaan yang sangat tinggi. Ia rasa tinggi pohon kepala saja malu bersaing dengan tingginya kepercayaan diri laki-laki didepannya kini.
“Sini maju lo, biar gue tabok dikit kepala lo supaya bener!”
“Ngomel terus, enggak kering itu tenggorkan lo.”
Laras diam, benar juga. Daripada ia mengomeli laki-laki berkepala batu ini, lebih baik ia diam. Diam itu emas. Tapi, jangan pula diam-diam mengeluarkan emas dari bawah.
“Gue haus, Ken.” Laras mendudukan bokongnya di selokan, begitu juga dengan Arken yang ikut duduk disamping Laras.
Arken mengingat-ingat, kalo tidak salah dan tidak benar, Arken masih memiliki sisa uang. Pria itu mendengus, sekarang ia terlihat seperti pria menikah dengan dua anak. Semua harus diperhitungkan!
“Lo mau minum? Tunggu entar, deh.”
Arken bangkit, namun baru beberapa langkah Laras kembali memanggil laki-laki itu. “Arkenn!”
“Apa, Ras? Enggak cukup kalo ma beli Boba atau Thai tea.”
Laras menggeleng. “Enggak usah, enggak jadi,” ujar Laras sambil menselonjorkan kakinya. “Gue bebanin lo banget kayaknya.”
Arken yang mendengar perkataan Laras terkekeh. Jika Laras tahu bahwa semua wanita yang berjalan-jalan dengan Arken pasti akan merasakan jalan-jalan mewah, makan dan minuman yang hits dan juga pasti menaiki motor besarnya. Pasti perempuan itu akan kesal karena diperlalukan seperti ini. Eh, tunggu, emang siapa yang sedang jalan-jalan?
“Lo mau apa?”
“Enggak usah.”
“Gue beliin lo air putih aja ya.”
“Soda. Soda aja, Ken.”
Arken menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun tetap mengangguk. Lima menit kemudian laki-laki itu muncul dengan dua buah kaleng soda.
“Makasih,” ujar Laras saat Arken memberikannya sekaleng minuman soda.
“Lo emang suka soda?” tanya Arken yang langsung diangguki Laras.
“Sebenarnya, gue penasaran banget sama minuman berakohol. Tapi gue sayang badan. Jadi, soda menurut gue udah mirip,” ujar wanita itu sambil memainkan bulir-bulir embun soda yang ada disisi kaleng. Hal yang paling Laras sukai dan menjadi kebiasaannya.
“Pengen jadi sodanya.”
“Eh.”