Bell tanda istirahat telah usai bergema di penjuru sekolah, murid-murid yang baru saja mengisi perut langsung masuk kedalam kelasnya. Kecuali dua anak muda berbalut putih abu-abu yang tengah mengendap-endap menuju parkiran.
"Ken! Mau kemana, sih?!" tanya Laras kesal. Sekali lagi, laki-laki itu hanya meletakan jarinya pada bibir merah Laras.
Laras langsung menepis tangan Arken yang berada dibibirnya. “Bau banget tangan lo! Bau nerakaaa!”
Arken terkekeh, lelaki itu hanya menyengir saja sambil menggarukan kepalanya. “Gue tadi abis dari wc.” Laras memelotokan matanya. Mulutnya menganga. Wajahnya merah padam dan nampak sangat kesal. “Gue terjang lo, gue terjang!”
Pria itu langsung memegang pundak Laras. Membuat Laras yang kakinya sudah siap ingin menghantam badan Arken terhenti. “Tenang, Ras, tenang.”
Laras yang merasakan tangan Arken berada dipundaknya membeku. Pelan, wanita itu mendongakan kepalanya. Mata Laras membola lalu bergerak ke kiri dan ke kenan saat merasakan Arken sangat dekat dengannya. Laras membantin, sudah berapa kali mereka sedekat ini.
“Gue mau ngajak lo ke suatu tempat.”
Arken melepas bahu Laras, pria itu kembali menghadap depan. Sedangkan Laras merasakan tubuhnya sangat lemas sekarang. Rasanya badan ingin merosot jatuh jikalau ia tidak berpegangan pada dinding.
Arken sedikit menegakan kepalanya lalu melihat kekiri dan kekanan memastikan tidak ada orang yang akan menangkapnya. "Ayok! Udah sepi!" Arken langsung menarik lengan Laras dengan cepatnya.
"Pelan-pelan, Ken! Gue bukan karung beras kali," gerutu Laras. Ia hanya diam dan pasrah saat Arken menarik lenganya tanpa ada belas kasihan sama sekali. Sangat malang nasib Laras.
Arken membawa Laras menuju parkiran luar sekolah setelah melawati gerbang sekolah dengan aman. Untung saja kali ini Satpam sekolahnya tidak sedang berada di Pos, jika ada terpakasa Arken memutar otaknya mencari alasan. Sesampai di parkiran sekolah sudah berjejer sepeda motor dan sepeda yang tertata rapi.
"Astaga! Gue lupa, kunci motor gue didalam tas."
"Yesss! Kita pulang aja!"
"Gak. Gak boleh. Udah kentang nih."
Laras mengelengkan kepalanya lalu tangannya terulur mengusap pundak Arken sebelum bunyi kesengsaraan itu terdengar.
Clepissss....
"Akhhh! Sakit gorila!"
"Lihat lo aja gak bawa kunci. Ini nih udah pertanda bahwa kita gak di restuin untuk bolos," celoteh Laras sambil memandang muka sengsara Arken yang begitu memilukan. Sedangkan Arken hanya menatap horor Laras sambil mengusap punggungnya.
Lagi pula Laras tidak habis pikir dengan isi otak dari Arken. Padahal mereka baru kemarin meninggalkan sekolah saat jam pelajaran dan kali ini mereka akan kembali pergi ke luar sekolah. Untung saja, sebelum Arken benar-benar mengajak Laras pergi dari sekolah wanita itu sudah pergi dulu ke kelas Arken untuk meminta izin, begitu juga kelasnya. Mereka percaya, karena Laras menggunakan alasan untuk kepentingan pemilihan Raja dan Ratu.
“Lagi kita mau bolos lagi!?”
“Kan hari ini semua guru rapat, Ras.” Arken masih mengusap-usap punggungnya dengan wajah yang nampak sendu. “Lagian tugas gue udah selesai.”
“Bagus!”
Arken yang melihat Laras senang menjadi tak enak hati. Entah mengapa melihat wajah wanita itu berbinar ada kesengsaraan tersendiri didalam hati Arken. Baginya muka bahagia Laras ada neraka dan muka sengsara Laras ada surga.
Arken tidak menyerah. Matanya kembali melihat jejeran sepeda motor, tidak mungkin ia menggunakan motor karena kuncinya lupa ia bawa. Jika ia mendorong motornya itu sangat tidak memungkinkan, bisa-bisa dua hari kedapan mereka baru kembali ke sekolah. Dan sekarang matanya tertuju pada sepeda yang terpakir rapi.
"Ras, lo boleh gak naik sepeda?" tanya Arken. Laras mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan aneh dari Arken. Dia kira Laras ini putri bangsawan yang tidak boleh tersentuh polusi sedikit pun apa. "Boleh lah," jawab Laras.
Arken tersenyum sambil menatap Laras. Sedangkan perempuan itu segera memalingkan wajahnya. Tiba-tiba pipinya terasa panas dan jantungnya berdegub lebih kencang. Laras berdoa dalam hati semoga ia tidak memiliki penyakit mematikan.
"Naik Onthel jangan?" tanya Arken lagi.
"Gue sih naik apa aja ayok! Asal yang bawanya gan..."
"... Teng! Seperti gue." Arken menepuk dadanya bangga.
"Ge-er lo! Mana ada gue bilang gitu!"
"Cieee! Lo belum pernah naik Onthel sama orang ganteng kan?" tanya Arken seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Sekali lagi lo ngomong, dapat lima jari lo. Mau?!" Arken menggeleng dengan cepat saat Laras mengancakan lima jarinya. Buru-buru pria itu melepas pengaman yang sudah agak reyot pada sepeda Onthel itu sebelum mendapat lima jari dari Laras, ia tidak mau menambah tato pada tubuhnya, yang tadi aja masih nyut-nyut masa mau nambah lagi.
Arken menggiring sepeda Onthel itu kearah Laras. Layaknya menaiki sebuah mobil mewah Arken menjulurkan tangannya pada Laras seraya sedikit menunduk.
"Cocok lo, Ken."
"Kayak orang Ceo-ceo gitu, ya?"
"Kayak sopir."
Laras teratawa lalu megenggam tangan Arken untuk naik kearas sepada Onthel. Laras duduk dibagian belakang sedangkan Arken mulai mengayuh sepedanya dengan semangat.
"Ras, nyanyi dong!"
"Nyanyi apaan? Lo kira kita lagi tamasya?" tanya Laras dari bangku belakang. Sebenarnya Laras agak risih naik sepeda Onthel ini, bukan karena malu tapi karena dirinya menjadi tontonan orang dijalan raya karena menaiki sepada Onthel dengan seragam putih abu-abu lengkap saat jam sekolah. Mantap!
"Yaudah gue yang nyanyi!"
Arken tampan...
Sangat tampan...
Lagi-lagi tampan...
Laras menutup telinganya saat mendengar suara sumbang nan tidak bernada itu mengalun indah di gendang telinganya. Laras benar-benar tidak percaya ini, antara setengah takjub dan setengah ingin melompat dari sepeda Onthel ini untuk menyelamatan telingannya.
"Udah, udah! Gue nyerah, dimana kameranya?" tanya Laras seraya melambai-lambaikan tangannya pasrah.
"Kalo muji gue jangan berlebihan deh, Ras. Gue gak mau sombong, entar lo merasa gak pantas boncengan sama gue," ujar Arken kelem seraya mengedipkan kedua matanya.
"Jangan terlalu tinggi ngayalnya, entar jatuh jadi gila lo," ledek Laras tertawa terbahak-bahak.
Arken mendengus. "Gue jatuhin juga nih sepeda!" ancamnya membuat Laras kembali tertawa. Setelah Laras puas tertawa, ia mengalihkan pandangannya pada muka masem Arken.
"Awas aja lo kalo berani!"
Arken tersenyum licik, matanya beralih pada jalan lurus setapak yang sepi. Dengan sedikit kehandalanya menggunakan sepeda, Arken menggoyang-goyangkan sepeda Onthel itu membuat Laras berteriak.
"Kennn! Kalo jatuh, kepala lo gue penggal!" teriak Laras ketakutan. Sedangkan Arken tertawa puas melihat muka ketakutan Laras yang masih tetap cantik. Iya, cantik. Arken mengakui kecantikan wanita yang sedang diboncengnya.
Kalo ibarat orang keren itu, Laras itu punya something yang buat gue gak bosan lihat dia -batin Arken.
Plakkk...
Sepertinya Arken menarik kembali pujiannya untuk wanita itu. Lihatlah, lima jari Laras sekarang sudah berada dipunggungnya.
"Gitu dong, bawa sepeda yang benar," ujar Laras saat keadaan sepeda itu kembali lancar.
"Sakit, Ras," ucap Arken dengan muka memelas.
"Uuhhh, sakit ya?"
Arken mengangguk.
"Mampusss!"
Laras tertawa dan sedikit merasa bersalah, sedikit ya! Dengan perlahan ia mengelus punggung Arken membuat laki-laki itu kegelian. Pria itu juga merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Padahal Laras hanya mengelus punggungnya.
Tak lama dari itu akhirnya sepeda Onthel Laras berhenti di sebuah taman kota. Arken memarkirkan sepeda lalu dengan ceketan membawa Laras menuju taman.
"Nah, Ras! Ini namannya Taman!"
"Nah itu ada pohon, bangku, lampu taman, ada air mancur juga lohh."
"Kadal, lo kira gue anak balita apa?! Pake ditunjukin lagi." Laras menatap garang ke arah Arken. Sedangkan yang ditatap hanya mengancakan dua jari tanda perdamain.
"Oh ya! Lo tunggu sini dulu."
Arken meningglkan Laras sendiri, laki-laki itu entah pergi kemana. Laras yang sendiri hanya bisa menatap hamparan rumput hijau yang bergoyang dibawa angin. Gemericik air dari kolam pancur seakan menjadi alunan merdu di telinga Laras. Siang yang terlalu terik. Angin yang sepoi-sepoi. Ah. Hatinya tiba-tiba terasa mellow.
"Kok gue ingat mantan ya." Laras mengerucutkan bibirnya. Entah kenapa setiap sendirian di tempat tenang Laras menjadi teringat mantan-mantannya. Tentunya, mantan yang sampai kini belum memberi kepastian mengapa mereka berakhir.
"Eleh! Mantan lo emang berapa? Adu sama gue aja, mau?" tiba-tiba Arken muncul dengan dua buah es krim ditangannya.
"Kok es krim?"
"Biar lo tambah baper dan gak bisa move on!" seru Arken dengan kekehan diujung kalimatnya.
Laras hanya menggelengkan kepalanya saja. Berterima kasib kalu mengambil es krim yang dibawa Arken. Sensasi dingin dan rasa coklat yang lembut membuat Laras memejamkan matanya saat cita rasa itu menyentuh lidahnya. Angin yang terus meniup-niupnya membuat Laras tanpa sadar melengkungkan senyumannya. Sudah lama rasanya Laras tidak menikmati hidupnya.
Arken yang hendak menyendokan es krim ke mulutnya berhenti. Sebuah subjek yang kini tersenyum membuat laki-laki itu tak bisa mengalihkan perhatiannya pada Laras yang memejam matanya, jangan lupakan senyuman manisnya.
“Ras..”
“Hem?”
“Makasih.”
“Untuk?” tanya Laras sambil membuka matanya. Wanita itu kembali menyendokan es krim ke mulutnya.
“Lo mau jadiin gue pasangan Raja dan Ratu.” Arken meletakan es krimnya di sandaran tangan baku taman. Laki-laki tak sengaja memutar kembali ingatan semasa sekolahnya. Hampir tidak pernah ia melakukan sesuatu yang membanggakan. Semuanya cacat. Ia tidak pernah menorehkan kenangan baik.
Laras melakukan yang sama pada Es Krimnya. Sambil menghela nafas Laras meminta Arken untuk menghadapnya. “Look at Me.”
Arken menoleh.
“Selain sama gue, lo harus berterima kasih sama seseorang lagi.”
“Siapa?” tanya Arken menatap Laras.
“Sama diri lo sendiri.” Laras yang melihat Arken mengerutkan dirinya terkekeh. Wanita itu mengalihkan pandangannya pada hamparan lautan biru yang berada diatasnya, hamparan yang mungkin tidak ada ujungnya. “Terima kasih sudah mau berubah. Terima kasih sudah mau menetap diraga ini untuk waktu yang lama. Terima kasih sudah kuat untuk sejauh ini. Terima kasih untuk tidak lelah. Terima kasih untuk semua ketakutan dan kekhawatiran. Terima kasih untuk semua yang dilewati.”
“You did a greet job, Ken!”