Awal Segalanya
“BAGAIMANA MUNGKIN INI BISA TERJADI! Vano, MAMA TIDAK MAU PINDAH! MAMA TIDAK MAU! INI RUMAH KITA!!” teriak seorang wanita paruh baya pada anak laki-lakinya. Jari tangannya menunjuk ke arah rumah yang kini mendapat plang disita.
Wajahnya tampak merah karena marah. Dia sama sekali tak terima dengan apa yang terjadi. Kehidupan mewahnya telah hancur. Perusahaan mereka bangkrut karena kasus korupsi. Semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki, harus lenyap disita.
Semua kemalangan ini terjadi akibat kecerobohan dan kelalaian Vano dalam mengelola perusahaan, sampai dia tidak mengetahui kalau salah satu karyawannya melakukan tindak korupsi. Tak hanya itu sebenarnya, dia juga sempat terkena penipuan.
“Ma, tenang, Ma. Kita masih bisa mencari tempat tinggal,” ucap Moza, istri Vano juga ikut merasakan sedih. Bukan karena dia tidak bisa lagi hidup enak, melainkan karena melihat sikap mama mertuanya, yang tidak bisa menerima takdir mereka. Dialah orang yang paling tenang pada awalnya. Meski nasib buruk, harus dia alami.
Dunianya terbalik. Perusahaan suaminya harus bangkrut dan dia harus tinggal entah di mana. Segala kemewahan yang selama ini dia rasakan, harus lenyap. Dia harus kembali merasakan hidup sederhana, seperti saat bersama kedua orang tuanya. Meski begitu, asal Vano ada di sampingnya, tidur dengan beralaskan tanah dan beratap langit pun, bukanlah suatu masalah.
Sayangnya, pemikiran seperti itu tidak sejalan dengan mertuanya. Hellen malah menatap Moza dengan tatapan marah dan tanpa pikir panjang, langsung menampar wajahnya dengan sangat keras dan karena perlakuannya itu, Moza hampir saja terjatuh ke tanah.
“DASAR MENANTU TIDAK BERGUNA!!! SEMUA KESIALAN YANG MENIMPA ANAKKU, INI SEMUA KARENA ULAHMU!”
Teriakan itu terdengar sangat lantang, memekakkan telinga, sampai Moza merasa sakit hati karenanya. Dia hanya berusaha menghibur mertuanya saja, sama sekali tidak memiliki maksud lain, tapi reaksinya, sungguh sama sekali tak terduga.
“Maaf, Ma.” Moza berujar sambil menatap ke arah Vano. Meminta bantuan suaminya untuk menolongnya. Sayangnya, Vano acuh dan malah terus menatap rumahnya dengan pandangan sedih. Dia sama sekali tidak melirik atau melihat ke arah ibunya yang memperlakukan Moza dengan kasar. Mungkin laki-laki itu terlalu syok dan masih belum rela meninggalkan rumah tempat puluhan tahun dibesarkan.
“CIH! PERGI SANA KAU!”
Hellen berniat untuk mendorong tubuh Moza. Kesal dengan kehadiran menantu tidak tahu dirinya itu, namun kali ini, hal tersebut langsung dicegah oleh Vano yang merasa terusik. Dia menahan kedua tangan mamanya. “Cukup, Ma. Sebaiknya kita pergi dan mencari tempat tinggal.”
Dengan mata memerah seolah hendak menangis, Vano menggiring mamanya berjalan meninggalkan pelataran rumah. Kedua tangannya menjinjing barang-barang tersisa, yang bisa mereka bawa. Begitu pula dengan Moza yang kini berjalan mengikuti Vano dari belakang dengan barang bawaannya. Sekilas, dia melihat Vano menatapnya dengan sorot yang tak dapat diartikan.
Ini musibah, tapi apa pun yang terjadi, Moza tidak akan pernah meninggalkan suaminya. Dia akan terus hadir dan hidup bersama Vano. Ketika janji suci terucap, maka selamanya dia tidak akan mengingkarinya. Moza ingin menunjukkan, jika dia bukan wanita yang akan selalu ada di saat senang, tapi dia juga akan selalu ada di kala susah.
Matanya menatap punggung suaminya sambil menghela napas. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja, meski hatinya juga ikut terluka. Setidaknya, dia harus kuat demi Vano.
***
Moza menatap rumah itu dengan saksama. Bersyukur saat tahu kalau mereka akhirnya memiliki tempat tinggal. Rumah sederhana, peninggalan orang tuanya. Moza baru teringat kalau rumah itu kosong semenjak dia menikah dan kedua orang tuanya meninggal. Membuat dia tidak memiliki siapa pun untuk tempat bergantung, selain suaminya.
"Yang benar saja, masa kita harus tinggal di rumah jelek seperti ini!" celetuk Hellen begitu melihat rumah peninggalan orang tua Moza yang sudah terlihat tua dan kumuh. Tampak kedua dahinya berkerut. "Van, kita masih punya tabungan, 'kan? Kita sewa hotel saja. Mama nggak mau tinggal di rumah jelek dan sumpek seperti ini."
Moza tertunduk diam saat mendengar ucapan bernada menghina mertuanya yang semakin menjadi. Meski sejak menikah dengan Vano, mama mertuanya memang kerap kali bersikap kasar, tapi tidak pernah sampai seperti ini dan Moza bisa memakluminya karena dia sangat mencintai Vano.
"Tidak, Ma. Uangnya lebih baik kita tabung untuk makan sehari-hari. Kita tidak memiliki apa-apa lagi sekarang," bantah Vano sambil mengurut keningnya. Dia sudah pusing seharian ini, dan Vano hanya membutuhkan tempat untuk berteduh, bukan hal lain. Sayangnya, ucapannya itu malah ditanggapi oleh kata-kata kasar dari mamanya.
"Kamu itu, dari dulu tidak pernah mau nurut kata-kata Mama! Lihat sekarang, gara-gara menikah dengan wanita ini, kita harus mengalami hal menyedihkan!" Hellen menunjuk ke arah Moza dan menyalahkan menantunya sebagai dalang dari semua masalahnya.
Sejak awal, Hellen memang sangat-sangat terpaksa menyetujui Moza untuk menikah dengan anaknya. Dia tidak pernah setuju. Menganggap Moza tidak sederajat dengannya yang merupakan kaum borjuis. Vano, sempat Hellen jodohkan dengan wanita lain, tapi anaknya yang bodoh malah menolak dan lebih memilih Moza.
"Maaf, Ma--"
"Ma, Vano tidak mau bertengkar. Kalau Mama tidak suka tinggal di sini, Mama boleh pergi. Biar Vano dan Moza yang tinggal," putus Vano dengan nada tegas.
Sebelum sempat mendengar bantahan sang mama, Vano masuk ke dalam sambil menggenggam tangan Moza. Dia tidak memedulikan teriakan mamanya yang hanya bisa menambah pusing kepala. Meski tak ayal, Hellen tetap ikut masuk ke dalam. Terpaksa, karena wanita itu juga tidak memiliki uang untuk menyewa hotel atau apartemen.
Moza yang melihat mama mertuanya hanya tersenyum tipis. Menatap lekat tangan Vano yang menggenggam erat tangannya, lalu beralih menatap rumah yang entah berapa tahun ditinggalkan. Rumah kecil dan sederhana milik orang tuanya. Barang-barangnya pun terlihat masih sama dan tersusun rapi. Meski ada beberapa yang berserakan.
Debu-debu dan sarang laba-laba, juga Moza lihat begitu dia menatap ke segala sudut ruangan. Menghela napas saat tahu kalau ini akan menjadi pekerjaan yang melelahkan. Beruntungnya, rumah itu hanya ada satu lantai dan dua kamar tidur, ruang tengah juga dapur. Tidak cukup banyak ruangan dan barang-barang yang perlu dibersihkan. Jadi, mungkin akan cepat selesai jika dilakukan bersama.
"Kita akan membereskannya bersama-sama," ucap Vano, yang langsung diangguki oleh Moza, namun tidak untuk Hellen yang malah menatap anaknya dengan mata melotot. Melakukan pekerjaan seperti ini, tidak pernah Hellen lakukan sebelumnya. Dia hanya bisa memerintah para pelayan, tidak dengan mengerjakannya sendiri.
"Van, Mama--"
"Kita harus membersihkannya kalau Mama ingin cepat istirahat," potong Vano saat mamanya akan kembali merengek.
Alhasil, ucapannya seketika itu membuat Hellen terdiam dan menurut. Sedangkan Moza hanya tersenyum dan langsung mengambil sapu untuk membersihkan rumahnya. Hidup seperti ini, jelas bukan masalah baginya selama Abra tidak akan meninggalkannya. Moza menghela napas, dia tahu Tuhan sedang mengujinya dan dia harus melewati semua ini dengan terus berada di sisi Vano.
Mereka bertiga mulai membersihkan kamar, ruang tengah dan dapur. Memang rumah itu sudah ditinggal cukup lama, namun masih layak huni. Menyapu dan mengepel lantai yang menjadi tugas Moza dan Vano, sementara Hellen hanya membersihkan barang-barang. Hingga baru setengah pekerjaan, mama mertuanya mulai mengeluh.
"Mama capek, mau tidur," ucap Hellen sambil berjalan dan pergi ke sebuah kamar yang memang sudah dibersihkan.
Moza dan Vano tidak menghiraukan Hellen dan sibuk dengan kegiatan bersih-bersih mereka. Lebih baik dibanding mereka harus mendengar Hellen terus mengeluh. Sampai tak memakan waktu lama, mereka selesai membersihkan seluruh ruangan.
Keringat dan ekspresi kelelahan, terlihat jelas di wajah Moza dan Vano. Keduanya tentu sangat kelelahan. "Van, apa kamu mau kubuatkan sesuatu?" tawar Moza sembari menghampiri Vano dan menyeka keringat laki-laki itu, namun Vano segera menepisnya.
"Tidak perlu, ada sesuatu yang harus kukerjakan, tolong katakan pada Mama untuk jangan mengganggu."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Vano langsung berlalu begitu saja dari hadapan Moza. Menimbulkan kernyitan heran di dahi wanita itu.