Prolog. 2

999 Words
"Apa? Sekali lagi, deh ngomongnya, gue enggak dengar jelas barusan." Aku membeo. Orang itu sedang mencoba untuk lebih bersabar menghadapiku. Dengan mata terpejam, dia kembali menjelaskan sesuatu yang tak masuk akal tapi terdengar begitu menggiurkan di telinga. "Lo hanya harus melakukan apa yang gue suruh. Lo bergerak saat gue komando. Jika terus menurut, lo akan mudah untuk membawa keluar nyokap lo dari rumah sakit tanpa harus mikirin biaya yang membengkak setelahnya." "Memangnya apa yang akan lo jadikan sebagai jaminan buat gue?" Aku terkekeh-kekeh, "apa lo tahu? Permintaan lo terlalu muluk-muluk. Otak gue enggak bisa mencernanya dengan gampang karena terlalu melenceng dari lajur kerasionalannya." Tiba-tiba, perasaan jika aku akan ditipu olehnya berseliweran di kepala. Pasalnya, orang ini terlihat tak meyakinkan. Setiap hari aku melihatnya hanya duduk di sudut kelas dengan headphone yang menggantung di lehernya. Ia tak terlalu pandai bergaul. Mengingatkanku pada sosok diriku yang tertinggal jauh di masa lalu. Dirinya juga tak terlihat mencolok seperti anak-anak orang kaya di kampusku kebanyakan, meskipun beberapa kali aku pernah memergokinya turun dari mobil mewah di persimpangan jalan menuju kampus. Ah, bisa saja orang ini memang anak kaya, ya. Aku hampir melupakan sebuah rumor yang beredar di jurusan menyebutkan jika dia diberikan kado ulang tahun satu unit apartemen mewah dibilangan Dago sana oleh orangtuanya. Seolah sudah tahu jika aku akan bertanya seperti itu, dia mengangkat ponselnya dan kembali mengucapkan sesuatu (lagi-lagi) tanpa benar-benar menatapku. "Nomor rekening lo!" "Hah?" Aku menganga. "Mana nomor rekening lo?" Dengan terbata-bata, aku menyebutkan nomor itu dan beberapa detik kemudian, notifikasi di ponselku pun terdengar. Aku menatap layar itu lekat-lekat. Aku tak percaya sampai membacanya berulang-ulang. m-Transfer: BERHASIL 01/10/19    21:45 Ke 80xxxxxxxxxx Rp 20,000,000.00 Ref 01091923506060   Ia benar-benar kaya raya! Orang itu menyimpan kembali ponselnya di saku. "Anggap itu panjar. Sisanya akan gue bayar setelah lo selesai dengan tugas-tugas yang akan gue berikan." "Tu-tugas?" Mataku membesar. "Tugas-tugas?" tanyaku, mengucapkan kata jamak darinya. Dia ingin aku melakukan hal-hal 'konyol' itu lebih dari satu kali? "Lo enggak bisa mundur. Lo hanya bisa terus maju." Orang itu terus menekanku walau intonasi bicaranya tak tinggi. Seolah mengerti jika aku baru saja kehilangan nyali. "Tapi kayaknya adil juga kalau lo kasih tahu apa motif di balik tujuan lo repot-repot mau melakukan ini sama gue?" Itu cuma alasan agar aku lebih yakin dengan jalan yang akan segera kupilih. Perasaanku terlalu melambung tinggi karena bahagia memiliki uang besar di rekening untuk biaya rumah sakit Ibu. Dia berdeham sambil mengosongkan tenggorokannya yang tersekat kemudian duduk dengan posisi tak nyaman. "Gue melarang lo untuk bertanya. Udah gue bilang, kerjaan lo cuma mengikuti arahan gue. Enggak cukup jelas?" Aku mengernyitkan dahi. Rasanya janggal. Harusnya aku tak menanggapinya dengan serius, kan? Seperti biasa, yang selalu kulakukan setiap hari pada semua orang. Apakah sudah terlambat untukku menyadari, jika terus duduk bersamanya di sini merupakan tanda bahwa aku telah terseret ke dalam sebuah masalah serius yang dibawa olehnya? Orang ini tampak berbeda dari biasanya. Aku jadi takut dan khawatir, tapi ... seolah tak ada lagi jalan keluar lain yang lebih baik untuk kupilih selain berada di pihaknya. "Seandainya lo gagal---" "Enggak akan!" Orang itu langsung memotong ucapanku tanpa ragu. "Gue enggak akan gagal kalo mulut lo enggak ember. Pekerjaan ini mudah. Sangat mudah sampai lo merasa enggak sedang melakukan apa-apa." "Gue paham. Gue cuma berspekulasi. Seandainya lo gagal, apa yang akan lo lakukan?" Aku mencicit. Orang itu mengepalkan kedua tinjunya. Mata yang sedari tadi tak menatapku, kini beralih menikam dan mengunci pandanganku untuk terus berada dalam pengaruhnya. Apa-apaan orang ini? Aneh sekali. Mata gelapnya terasa mengerikan dan mengintimidasiku. "Jika semua ini gagal di tengah jalan, orang yang menjadikannya berantakan akan menanggung segalanya. "Entah itu gue, lo, atau orang lain. "Siapa pun yang membuat gue harus berkubang dalam kegagalan, kebahagiaannya akan gue renggut tanpa sisa. "Termasuk sebuah kematian. "Jangan pernah coba-coba untuk mengkhianati gue! Lo anak yang cerdas, bukan? Gue tahu, lo akan sangat berpotensi untuk memerankan lakon ini tanpa membuat seorang pun curiga." Dia kembali menyeringai. Mengerikan! Aku merinding. Orang ini pasti sakit jiwa! Dirinya terdengar sedang mengancamku. Apa dia memang sedang melakukan itu sedari tadi? Sepertinya iya. Aku mendadak bengap dan tak mampu berkata-kata lagi. Rasanya bulir keringat baru saja meluncur dari dahi menuju pelipisku. Udara malam Bandung yang biasanya sejuk pun seolah berubah panas hingga membuatku gerah. Apa ... apa aku sedang ketakutan saat ini? "Lo mengerti?" Dia bertanya sekali lagi. Mungkin untuk memastikan kalau aku benar-benar telah memahami posisiku berada di bagian bumi sebelah mana. Aku hanya mengangguk. Sebagai tanda bahwa aku menyanggupi pekerjaan darinya ... dengan segala konsekuensi yang mungkin akan kudapatkan nanti. "Bagus." Orang itu menyeringai. Aku tak suka saat dia melakukan itu. "Mulai saat ini, lo akan selalu berhubungan dengan gue." Aku menelan ludahku sendiri. "Lo enggak akan bisa lari. Nyawa nyokap lo dalam bahaya jika lo nekat melakukan sesuatu yang bikin gue naik darah." Ya ampun! Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan di sini bersamanya? "Jangan main-main! Jangan bawa-bawa nyokap gue!" Susah payah aku mengatakannya. Dia kembali menyeringai dengan mengangkat kedua alisnya kepadaku. Seakan sedang mengingatkanku tentang jumlah uang besar yang sudah terlanjur masuk ke rekeningku. Tubuhku menggigil. Rasanya panas dingin tak keruan. "Sudah gue bilang, lo enggak akan bisa mundur kecuali kaki lo gue potong. Atau ... sebenarnya lo lebih memilih untuk kehilangan kaki dan leher lo aja? Hmmh? Begitu?" Orang ini tak main-main dengan ancamannya. Dia meremas sebelah bahuku dan menekannya dengan kuat. Aku meringis kesakitan tanpa seorang pun sadar jika aku sedang mengalami kekerasan. Dia bangkit berdiri. Tersenyum sekilas kepadaku sambil mengeluarkan uang berwarna biru dan memberikannya pada si empunya warung. "Kopi itu sudah gue bayar. Lo boleh balik ke kosan." Orang itu mengambil kembaliannya dan melempar recehan itu tepat ke depan wajahku. "Gue sudah memilih dan memutuskan. Mulai besok hari, lo akan menjadi bidak catur dalam permainan gue. "Pikirkan baik-baik tentang keselamatan dan kesehatan nyokap lo di rumah sakit. "Bahkan gue tahu di kamar berapa nyokap lo tidur malam ini." Dia mengangkat tangannya tanda akan segera beranjak pergi, "ketemu minggu besok di kampus, Bro." Aku ... benar-benar tak bisa mundur katanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD