Chapter 2

2300 Words
Pertengahan bulan Juni, Aini tiba dengan pesawat penerbangan internasional dari Indonesia - Turki. Gadis 18 tahun itu menginjakan kakinya di bandara internasional Ataturk – Istanbul. Dua bibirnya membentuk simpul senyum. Akhirnya sang kakek dan ayahnya mengijinkan dia memutuskan hal yang dia inginkan – menjadi relawan untuk korban bencana alam dan korban perang. Aini tiba di Istanbul dengan tim relawan yang lainnya, butuh satu bulan lebih untuk mengurus ketentuan dan syarat. Lama perjalanan dari Jakarta ke Istanbul hilang ketika dia turun dari pesawat dan menghirup udara segar khas kota Istanbul. "Aini, kita akan istirahat sebentar, lalu setelah tidur semalam, besok kita akan berangkat ke perbatasan Turki - Syria," ujar seorang wanita berumur 40 tahun. "Baik, Bu Ida," sahut Aini. "Pergi lihat - lihat toko makanan atau apapun yang kalian inginkan," ujar Ibu Ida. Aini dan tim mengangguk mengerti. Gadis itu berjalan bersama rombongan untuk mencari makanan, tak perlu khawatir dengan makanan di bandara itu, makanan halal ada di mana - mana, jadi mudah bagi Aini dan teman Muslim lainnya mengisi perut. Mereka sampai di sebuah toko roti, karena tak ada nasi di daerah Turki, ada namun tidak selazim di Indonesia, Aini dan teman - teman makan hidangan roti dengan makanan khas Turki lainnya, seperti kebab dan Dolma.  "Ini pengalaman pertamamu keluar negeri?" tanya teman a. Aini menggeleng sambil mengigit kebab, gadis itu mengunyah kebab enak itu lalu dia menelannya, "Kalau pengalaman pergi tanpa orang tua atau keluarga, ini adalah pertama kalinya," jawab gadis itu. Teman a dan beberapa teman lainnya mengangguk mengerti. "Sepertinya kamu yang paling muda di antara kita," ujar teman b. Aini menatap ke arah timnya, kalau dipikir - pikir memang benar, dia adalah yang paling muda di antara semua anggota relawan. "Aku baru delapan belas tahun, bulan Mei kemarin baru saja lulus dari SMA," ujar Aini. "Hum?!" beberapa anggota tim relawan melotot. "Kamu memang muda sekali, Aini," ujar teman c, "aku sekarang tiga puluh tahun!" ujar perempuan itu. "Aku dua puluh tujuh tahun," timpal teman b. "Aku tiga puluh dua tahun," ujar teman d. Aini manggut - manggut ketika tahu umur dari masing - masing temannya. "Apa motivasimu untuk menjadi relawan di usia muda begini?" tanya seorang pria berusia 33 tahun, "selain itu apakah kamu tidak takut bila di perhadapkan dengan bahaya nanti?" "Dari umur empat tahun, aku menonton sebuah berita di televisi. Aku melihat anak - anak menangis ingin pulang, aku melihat anak - anak yang seumuranku menangis kelaparan, aku melihat anak - anak seumuranku tiada henti mengucap dan memanggil nama ayah dan ibu mereka," ujar Aini. Anggota relawan lainnya mendengarkan suara Aini tanpa niat menjeda. "Lalu besoknya aku nonton televisi lagi. Ada rumah terseret banjir, ada rumah roboh karena gempa, ada ada rumah yang tertiup angin, ada rumah tenda yang ditinggali oleh anak - anak dan orang tua yang telah kehilangan saudara dan keluarga mereka," lanjut Aini. Dia mengingat lagi pertama kali dia tertarik hatinya untuk menjadi seorang relawan. "Aku ingin menemui teman kecil di tv itu dan memberinya pelukan, aku ingin menghibur dirinya, mengatakan pada dia bahwa ada aku, aku akan bermain bersama dengannya, janganlah bersedih lagi. Ada aku, aku mengumpulkan uang jajan untuknya, untuk mereka agar bisa kupakai untuk membeli beras, membeli roti dan membeli daging atau telur." Tim relawan yang hadir merasa terharu dengan apa yang dikatakan oleh gadis yang paling muda di antara mereka. Sungguh hati yang mulia. Batin mereka.  "Aku ... aku ingin berbagi apa yang kupunya dengan mereka," ujar Aini. Gadis 18 tahun itu tersenyum, "Aku buat channel youtube, dan selalu kuberikan penghasilannya pada mereka." "Channel YouTube?" teman a bertanya. "Aini, kamu seorang YouTuber?" tanya teman b. Aini mengangguk, "Ya, aku seorang YouTuber," jawab Aini. "Nama Channelmu apa?" teman c bertanya dengan tatapan serius dan penuh penasaran. "Aini Care ASMR," jawab gadis itu. "Astaga! Kamu Aini Care ASMR?!" teman a heboh bagai kebakaran jenggot. "Ya ampun! Aku fans beratmu! Aku suka lihat bibirmu! Pantas saja setiap kamu makan lahap sekali, bibirmu juga lihai dalam menyantap makanan itu!" teman b hampir pingsan saking senangnya. Aini tertawa geli. Baru kali ini dia membuka identitas nya di publik. "Bolehkah aku minta tanda tanganmu?" tanya teman b penuh harapan. "Kenapa tidak?" ujar Aini tak keberatan. "Ah, ya ampun! Aku ingin memelukmu!" Teman b memeluk erat Aini. Sungguh suatu kebanggaan dia bisa menjadi relawan bersama dengan idolanya. °°°  "Kamu kapan pulang, Aini?" suara Popy terdengar gemas dari seberang. "Masih ada kerjaan yang harus Aini lakukan, Ma," jawab Aini, "Aini harus membagikan persediaan makanan dan pakaian untuk anak - anak yatim di kota Idlib." "Sudah dua tahun kamu di sana, Aini.  Kapan baliknya?" Popy bersungut, "Mama Poko juga kangen sama anak bungsu Mama Poko, pokoknya bulan ini kamu harus pulang ke Jakarta, kakak kamu Adelio mau nikah dua bulan lagi." Titah Popy tidak mau tahu. "Loh, kakak Adelio mau nikah?" Aini terkaget, "cepat sekali, Ma." Popy memutar bola matanya ketika mendengar kalimat kaget sang putri bungsu, "Apa yang cepat sekali? Kamu saja yang pergi jauh sekali dan lama belum pulang ke rumah, kakakmu sudah dua puluh lima tahun, tentu saja dia sudah besar dan bisa menikah," Popy memutar bola matanya, "lihat kakak ipar kamu Aqlam, umur sembilan belas tahun saja dia sudah menikah dengan kakak kamu Chana." Aini terkekeh geli, benar juga kata ibunya, dia saja yang pergi jauh dari rumah dan lupa untuk pulang saking senang dan enaknya dia jadi relawan. "Pokoknya pulang bulan ini! Mama Poko sudah bicarakan mengenai kepulangan kamu dengan kakek Ran, titik, nggak pakai koma." Aini tertawa geli. Sang ibu sangat merindukannya, sudah dua tahun dia pergi menjadi relawan namun belum juga pulang ke rumah. Dia juga merindukan kakeknya. "Ya, Aini akan pulang bulan ini, Ma," ujar Aini memenuhi perintah sang ibu. "Bagus! Mama Poko nggak sabar nunggu kamu pulang ke rumah ini!" Popy tertawa senang. Akhirnya sang anak mau pulang. Untung saja anak lelakinya mau menikah, jadi dia memakai alasan pernikahan sang anak lelaki untuk membawa pulang putri bungsunya yang sudah dua tahun tak pulang ke rumah. °°° "Kakek Ran!" Aini berlari memasuki pintu rumah tanpa menghiraukan sang ayah yang telah membuka lebar kedua tangannya ke arah Aini. Wajah Ben hitam ketika putri bungsu yang dua tahun dia tunggu pulang ke dalam pelukannya itu malah melupakan dirinya yang sebagai ayah. Popy menahan tawa melihat wajah dongkol sang suami. Wajah suaminya itu terlihat tidak enak dilihat. Aini memeluk tubuh tua sang kakek, gadis yang sekarang sudah dua puluh tahun itu mencium sayang wajah sang kakek. "Kakek Ran, Aini kangen banget sama kakek Ran," ujar Aini manja. "Baguslah jika kamu masih ingat punya kakek di sini," balas Randra sarkastik. "Hehehe," Aini terkekeh, "tentu saja Aini masih ingat kalau Aini punya kakek tertampan sejagat raya di bumi ini," ujar Aini, dia mencium lagi wajah sang kakek agar kakeknya itu tak ngambek padanya. "Kamu terlihat agak kurus," ujar Randra ketika dia mengambil jarak dari sang cucu. "Hehehe, nggak kok, badan Aini dari dulu kayak ini, semok - semok gimana gitu," ujar Aini sambil meliuk - liuk badannya. Randra menaikkan sebelah alisnya, "Berapa berat badanmu yang sekarang?" tanya Randra sambil berjalan ke ruang keluarga. Aini merangkul tubuh sang kakek agar tak oleng ketika berjalan. "Lima puluh kilo, Kek," jawab Aini dengan perasan bersalah. Randra berhenti berjalan, dia melotot ke arah cucu perempuannya, "Kenapa sampai bisa jatuh berat badanmu?" tanya Randra, "apakah kamu tidak makan? Apakah tidak ada makanan di sana? Apakah mereka tidak memberimu makanan?" pertanyaan bertubi - tubi menyerang Aini. Aini tersenyum kikuk, sang kakek ini terlalu khawatir hanya karena dia kehilangan 5 kg berat badan yang berupa lemak hasil dari ASMR-nya selama lima tahun ini. "Banyak makanan kok, Kek. Tapi Aini mau diet dulu, celana udah nggak muat lagi, kancingnya bahkan udah lepas," jawab Aini ngaur. "Banyak alasan," celetuk Randra. "Ih, Kakek Ran," ujar Aini manja. Dia memeluk lengan kanan sang kakek sambil mengusap lengan itu, "kakek tertampan, jangan marah - marah." Randra menggelengkan kepalanya geli. Cuci ini benar - benar pintar merayu. °°° Pernikahan Adelio akan diadakan di Cordoba, di rumah utama Ruiz. Calon istri dari Adelio berdarah Arab - Spanyol. Perpaduan Eropa dan Timur tengah, wajahnya terlihat sangat menarik. Dia juga berasal dari keluarga bisnis besar di Uni Emirat Arab, tepatnya di Dubai. Aini dan sekeluarga terbang dari Jakarta ke Cordoba, mereka baru saja tiba di rumah utama milik Ruiz. "Kakak Deiro mau nikah! Nikah! Nikah! Nikah!" Aini berlari ke pelukan sang kakak. Adelio tertawa geli, dia mencubit pipi bulat adiknya, "Kenapa adikku kurus begini?" wajah penuh senyum geli itu berubah serius ketika dia memperhatikan lagi baik - baik tubuh sang adik. Aini mengigit lidahnya, dia sudah menebak, pasti sang kakak akan mengatakan kalimat itu. Biarpun setiap rutin keluarga atau sang kakak juga meneleponnya untuk menanyakan kabar dan aktivitas lainnya, mereka juga memantau dirinya dari jauh. Aini terkekeh, dia memeluk kakak yang berjarak lima tahun darinya, "Aini makan banyak kok, tapi makan dengan banyak orang di kamp pengungsian, hehehehe!" Adelio menaikan sebelah alisnya, selalu saja ada alasan untuk lolos. Aini membuat mimik kasihan yang jelas di wajahnya, "Nggak mungkin kan Aini makan semua makanan untuk anak - anak yatim yang tidak punya rumah dan orang tua lagi," ujar Aini. Adelio tersenyum, dia mengusap sayang rambut sang adik. Sungguh mulia hati sang adik ini, dari kecil sudah bercita - cita menjadi relawan. °°° Seminggu setelah Adelio menggelar pernikahannya dengan gadis yang kini bernama Nyonya Catalina Ruiz, terjadi gempa dahsyat di Qiaojia County, dekat dengan Kota Zhaotong, China. Kekuatan gempa dahsyat itu mencapai 8,1 Magnitudo. Rasa kemanusiaan Aini bangkit ketika menonton berita di tv, gempa dahsyat itu menelan lima ribu korban, seribu lebih dinyatakan tewas sementara sisa yang lainnya terluka parah dan dinyatakan hilang. Sementara yang terluka ringan diperkirakan ribuan. Aini yang sedang berlibur di Barcelona itu memberi tahu keluarganya bahwa dia telah mendaftar menjadi relawan melalui jalur pengalaman selama dua tahun dia berada di Timur tengah. Popy yang mendengar keputusan sang putri untuk pergi merasa agak syok. Jelas saja, sebab baru sebulan dia bersama sang putri, kini sang putri pergi lagi menjadi relawan. Hati Popy menolak, namun ketika melihat berita di tv dan wajah sedih sang anak, hati Popy goyah.  "Tidak bisakah orang lain saja yang pergi menjadi relawan selain dirimu?" tanya Ben kepada sang anak. "Aini ingin pergi ke China, Papa. Aini dulu belajar bahasa Mandarin ketika di sekolah, jadi daripada bahasa itu hilang karena tidak Aini pakai, Aini ke sana saja. Lagi pula korban di sana banyak sekali, itu baru saja terhitung dua hari pasca gempa, dua hari atau hari berikutnya mungkin bertambah lagi korban jiwa," jawab Aini mengalihkan pertanyaan sang ayah. "Kamu bahkan belum sampai sebulan pulang dari Suriah, dan sekarang mau ke China lagi. Papa Ben tidak setuju," tolak Ben tegas. Aini memeluk ayah yang telah berusia 73 tahun itu, dia mengusap punggung tua sang ayah. "Papa Ben, lihat Aini sekarang," Aini menunjuk dirinya sendiri, "dua tahun di Suriah dan Gaza tidak membuat Aini dalam bahaya atau bahkan melupakan Papa Ben, Aini selalu sayang papa Ben, Aini selalu ingat Papa Ben, selalu ingat pelukan dan ciuman sayang hangat dari Papa Ben untuk Aini." Aini mulai mengeluarkan jurus andalannya, rayuan. "Itu dua tahun, sementara di China hanya dua atau tiga bulan saja Aini pergi menjadi relawan. Jangan khawatir, ada banyak relawan dari Indonesia, ada juga teman - teman Aini dari Timur tengah yang ikut menjadi relawan bersama Aini," ujar gadis itu. "Aini sudah dua puluh tahun sekarang, sudah sangat besar, sudah sangat besar, putri bungsu Papa Ben sudah sangat besar sekarang, lihat! Sekarang berat badan Aini sudah lebih dari dulu, sekarang sudah lima puluh tujuh kilogram! Kurang besar apalagi coba?" "Pfft!" Keluarga Basri yang lainnya tertawa geli atas apa yang dikatakan oleh Aini. Ben tertawa geli, sang anak ini benar - benar pintar merayu. °°° "Tuan Shen, mengenai gempa di Kota Zhaotong, grup Shen telah menyumbang tiga juta Yuan," ujar seorang pria berusia 30-an. Pria yang dipanggil tuan Shen itu mendongak ke arah asisten pribadinya, "Lalu apa yang ingin kau jelaskan padaku?" tanya pria itu. "Um, begini bos. Ada seorang relawan asal Indonesia, dia juga merupakan YouTuber," ujar si asisten pribadi. "Lalu ada apa dengan YouTuber itu?" tanya tuan Shen. "Begini Bos, YouTuber itu memiliki pengalaman bagus dalam menjadi relawan, dia juga sudah menerbitkan beberapa jurnal internasional, bukan hanya itu, kata - kata atau kalimatnya sangat berpengaruh dalam membujuk investor yang akan memberi bantuan atau donasi pada para korban. Perusahaan kita sedang mencari model untuk relawan, kenapa tidak dengan dia saja? Bahasa Mandarinnya juga bagus, lancar seperti kita," jawab si asisten. Tuan Shen terlihat berpikir, dia menaikan sebelah alisnya, "Demi kelancaran dan wibawa serta reputasi Shen group, jadi kita harus menarik model untuk bekerja sama?" "Ya Bos, tepat sekali," jawab sang asisten, "tapi tak selamanya harus model atau aktris, cukup dengan YouTuber saja sudah dapat menarik perhatian, subscribernya sudah lebih dari tiga puluh juta, apalagi dia ini sangat disukai oleh orang banyak," lanjut asisten. Shen Mujin, nama pria yang berusia 30 tahun itu menaikan sebelah alisnya, "Atur pertemuan dengannya sesegera mungkin." "Siap!" °°° "Aini, ada sebuah perusahaan raksasa dari sini yang ingin bekerja sama denganmu dalam peristiwa gempa ini," ujar seorang wanita berusia pertengahan 40-an, "mereka tertarik tentang kampanye yang kau serukan di media sosial dan channel YouTube mu, apakah kamu ingin bekerja sama?" tanya wanita itu. "Kerja sama seperti apa ini, Bu Ani?" tanya Aini. "Mereka akan menjadi donatur dan kamu akan menjadi model perwakilan dari perusahaan mereka, kamu turun tangan dengan menggandeng nama perusahaan mereka, mereka sangat tertarik bekerja sama denganmu," jawab wanita itu. Aini terlihat berpikir, "Berikan aku waktu untuk berpikir," ujar Aini. Bu Ani mengangguk, "Beritahu aku jika kamu sudah membuat keputusan." "Baik." Dua hari kemudian. Aini duduk di kursi sebuah ruangan mewah bermaterial marmer kelas premium. Di depannya telah duduk seorang pria bermata sipit, putih, rambut rapi, dasi, kameja putih berbalut jas buatan tangan. Pria itu memandang penuh teliti ke arah wajah Aini, tepatnya di bibir pink mungil berisi itu.  Aini tersenyum sopan ke arah pria yang sedang memandanginya, "Nihao," ujar Aini dengan bahasa Mandarin yang otentik. (*Halo) Shen Mujin menaikan sebelah alisnya, dia memperbaiki posisi duduknya menjadi bersandar pada sandaran kursi bos yang telah dia duduki sudah enam tahun ini. Di sampingnya ada Lu Yang – sang asisten pribadi. "Nǐ jiào shénme míngzì?" pria 30 tahun itu memandang datar ke arah gadis manis di depannya. (*Siapa namamu?" "Wǒ Aini," jawab gadis manis itu. (*Aku Aini) Pria 30 tahun yang sedang duduk di kursinya itu melototkan matanya. "Wǒ ài nǐ?" (*Aku mencintaimu?) "Shi." (*ya) °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD