s*****a makan tuan. Itulah peribahasa yang cocok untuk Berlian saat ini. Berlian mengira jika Damar tak akan bisa melupakan Berlian, tapi Damar terlihat biasa-biasa saja setelah putus darinya. Ah, tentu saja jangan lupakan bahwa Damar yang telah memutuskannya. Bagaimana rasanya melihat mantan kekasih yang baru saja putus kini tengah asyik berbincang dengan seorang perempuan? Berlian masih tidak menyangka dengan statusnya sekarang. Jomlo. Terdengar miris dan cukup menyedihkan melihat Berlian hanya mampu melihat mantan kekasihnya dari jauh.
Berulang kali Berlian menyesali perbuatannya yang menyetujui kandasnya hubungan mereka. Bahkan, berita putusnya hubungan Berlian dan Damar sudah hampir tersebar ke penjuru sekolah. Entah, darimana dan siapa yang menyebarkannya. Layaknya air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Cepat. Berlian sudah tidak bisa lagi menahan kesal. Dia menghampiri Damar ketika perempuan yang tadi berbicara dengan mantan kekasihnya sudah pergi.
"Oh, jadi kamu putusin aku gara-gara punya cewek lain?" sindir Berlian, duduk di hadapan Damar.
Damar mengangkat wajahnya, menatap Berlian lalu menghela napas. "Gue lagi makan," Dingin. Itulah yang Berlian dapatkan dari sikap Damar sekarang.
"Lho, sejak kapan kamu jutek sama aku?" tanya Berlian langsung, tak suka basa-basi.
Damar menaruh sendoknya. "Sejak kita putus!"
"Wuidih, pasangan romantis baru aja putus, nih." goda Beni yang baru saja datang membawa mangkuk mie ayam bersama dengan cowok tengil di sebelahnya. Sama-sama tengil.
"Cielah, udah jadi mantan masih aja duduk berdua." cibir Tora yang kini ikut-ikutan meledek.
"Belum move on?" tanya Beni lagi, padahal mulutnya sibuk mengunyah mie ayam.
"Lah, gimana mau move on? Kan, putusnya baru kemarin. Gimana sih lo, Ben!" protes Tora, seolah cowok itu tahu semuanya.
"Kamu yang ngasih tahu mereka?" tanya Berlian kepada Damar, tak menghiraukan ucapan kedua lelaki itu. Jika dulu Damar akan dengan senang hati menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Berlian, tapi sekarang Damar memilih untuk mengangguk saja.
"Oh, jadi lo berdua yang bikin berita gue sama Damar putus?" semprot Berlian sedikit berteriak membuat Beni tersedak karenanya.
Tora menganggukan kepalanya. Tak peduli akan respons Beni yang tengah melotot. "Tahu aja lo, Ber. Cenayang, ya?"
"Lo kok mulutnya nggak bisa diajak kompromi sih, Tor?" kesal Beni yang mendapat tatapan tak bersalah dari Tora.
"Apaan?"
Berlian tak menghiraukan perdebatan antara Beni dengan Tora. Kini tujuannya hanya berbicara dengan Damar. "Damar," Tak ada respons membuat Berlian berdecak. Gadis itu mengambil ponsel Damar yang berada di atas meja. Belum sempat Berlian membukanya, tangan Damar sudah lebih dulu mengambil ponselnya.
"Lupa?" tanya Damar menaikkan alisnya. "Udah jadi mantan, kan?"
Dulu, Damar tak pernah melarang Berlian untuk memainkan ponselnya. Namun, baru kali ini Damar melarang membuat Berlian terdiam beberapa saat. Jelas, Berlian belum terbiasa dengan statusnya saat ini. Baru kemarin putus, rasanya Berlian merindukan Damar. Jika biasanya ia selalu mendapatkan banyak pesan dan panggilan masuk dari Damar, tapi tidak untuk kali ini.
"Baru kemarin minta putus, kamu udah move on dari aku?" Berlian terus bertanya. Berlian tidak tahu harus melakukan apalagi selain berbicara dengan Damar saat ini. Berlian tidak rela jika perempuan lain mendekati Damar karena tahu status Damar sudah tidak lagi bersama dirinya.
"Emangnya kenapa? Hak gue dong buat move on," balas Damar, tatapannya beralih ke ponsel.
"Kok gitu? Aku aja belum bisa move on. Masa kamu udah?" Berlian mencebikan bibirnya kesal.
"Sama gue aja sini, Ber. Dijamin, gue bantuin lo move on dari Damar kalau lo sama gue." ujar Tora menepuk dadanya dengan bangga.
"Punya temen, Tor. Inget!" cibir Beni, kini cowok itu sedang menikmati marimas untuk menghilangkan dahaganya.
"Bekas temen, Ben. Inget!" balas Tora tak mau kalah.
"Lo ke sini mau bahas itu doang?" Damar menaikan alisnya, menatap Berlian yang tiba-tiba saja kehilangan kata-katanya.
"Emangnya nggak boleh duduk di sini?" Berlian balas bertanya, ia bingung harus menjawab apa. Tatapannya beralih menatap Beni dan Tora bergantian. "Gue boleh, kan, duduk di sini Ben, Tor?"
"Hah? Bentol?" Tora mengerutkan dahinya bingung membuat Beni memiting leher cowok itu.
"Bentol otak lo!" semprot Beni. "Ya, bolehlah, Ber. Tapi, nggak tahu kalau di samping kanan gue," Beni terkekeh melirik Damar yang berada di samping kanannya.
"Damar," Damar hanya diam membuat Berlian kesal. Gadis itu berdiri, lalu menempatkan dirinya duduk di sebelah Damar. Menggeser cowok itu untuk memberikan ruang agar dirinya bisa duduk di samping Damar. Bukannya berhasil, Berlian justru terjatuh membuat tawa Beni dan Tora meledak saat itu juga. Damar tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
"Ih, Damar!" teriak Berlian. Kekesalannya bertambah ketika melihat Damar kini ikut tertawa.
"Ngapain lo duduk di lantai, Ber?" Tora tertawa paling kencang. Mood Berlian benar-benar hancur. Perasaannya kesal setengah mati kepada Damar dan kedua temannya.
Namun, jantungnya tiba-tiba saja berdegup lebih cepat dua kali lipat dari biasanya. Damar mengulurkan tangannya membantu Berlian untuk berdiri. Berlian menelan salivanya susah payah, berusaha untuk baik-baik saja. Bagaimana bisa jantungnya berdetak tak beraturan seperti ini? Memang, Berlian sudah sering mendapatkan perlakuan manis dari Damar. Namun, baru kali ini Berlian merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Mungkin benar, perasaan akan lebih terasa ketika ada jarak yang membentang.
Berlian menerima uluran tangan Damar, menepuk roknya yang kotor karena debu. "Nggak usah kayak bocah, Ber." bisik Damar membuat Berlian tak bisa berkutik ketika ditatap seperti itu oleh Damar.
Bisa dipastikan, wajah Berlian memerah karena malu. Tak mau berlama-lama, Berlian pergi begitu saja. Demi apa pun, Berlian tak bisa menjelaskan bagaimana perasannya saat ini. Pikirannya telah tersita oleh Damar. Bagaimana mungkin Berlian dengan mudah melupakannya?
***
Langkah kaki Berlian terhenti ketika melihat Damar berjalan bersama seorang perempuan di dekat lapangan. Dengan cepat Berlian mengikuti keduanya, menahan kesal yang sedari tadi ia tahan. Di kantin tadi Berlian masih bisa menahannya, tapi ini yang kedua kalinya Damar berduaan dengan gadis yang sama. Berlian takut jika ternyata Damar benar-benar telah berpaling darinya.
"Damar!" Teriakan Berlian membuat keduanya menoleh. Berlian berkacak pinggang ketika sudah berhadapan dengan Damar, menunjukan wajah pongahnya. "Ngapain kamu sama cewek berduaan?" Berlian tidak suka basa-basi. Katakanlah Berlian kalah oleh perkataannya sendiri yang akan melupakan Damar. Kenyataannya, gerak-gerik Damar tak bisa lepas dari pandangan Berlian.
"Lo nanya sama gue?" Damar balas bertanya.
"Emangnya nama Damar di sekolah ini siapa lagi kalau bukan kamu?" Berlian jadi sewot sendiri, sesekali ia melirik gadis di samping Damar tak suka. "Aku curiga kalau kamu selingkuh."
"Selingkuh gimana? Gue sama lo udah putus, Ber."
"Karena cewek ini?"
Damar menghela napas, berusaha sabar menghadapi Berlian. "Ber,"
"Nama lo siapa? Kok gue kayak belum pernah liat muka lo?" Pertanyaan beruntun Berlian tujukan kepada gadis di samping Damar yang sedari tadi hanya diam. Gadis itu melirik Damar sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Berlian. "Reni, Kak. Murid baru, kelas sebelas."
"Oh, adik kelas? Kok bisa kenal sama Damar?"
"Dia tetangga baru gue. Kenapa?" Bukannya Reni yang menjawab, justru Damar yang sekarang membalas tatapan Berlian.
"Kamu kan tau kalau aku nggak suka kamu deket-deket sama cewek lain." Berlian menahan kesalnya, ia lupa dengan janjinya yang akan melupakan Damar. Sungguh, Berlian masih menyukai Damar. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya tentu menyakitkan.
"Berapa kali gue ingetin sama lo, kita udah putus, Berlian."
"Kenapa sih harus putus?!" lirih Berlian tapi masih bisa didengar oleh Damar. Berlian menghela napas, menguatkan dirinya.
"Ber,"
Berlian mengangkat wajahnya lesu menatap Damar. "Apa?"
"Kita udah putus."
***