Part 1

1859 Words
Seorang wanita berbaju putih sangat telaten dalam memeriksa pasien yang ada di depannya. Tak hanya itu, senyum manis terukir dalam bibirnya yang merah. "Selesai." Wanita itu melepaskan stetoskop dari telinga kemudian menyimpan di atas mejanya. "Ah, ini untukmu," lanjutnya seraya mengeluarkan sebuah mainan kecil dari laci kerjanya kepada pasien yang sudah ditanganinya. "Terima kasih, Dokter Cassie," ujar anak itu kegirangan. "Sama-sama, Sayang," balas wanita itu. "Ingat, jangan lupa minum obatnya dan turuti apa kata ibumu. Ok!" pesannya sambil mengulurkan jari kelingkingnya, membuat pinky promise. Anak itu mengangguk. "Siap, Dokter!" balas anak itu sambil mengaitkan jari kelingkingnya pada dokter yang ia panggil dokter Cassie. Cassie … tak terasa gadis itu kini sudah resmi menjadi seorang dokter. Dokter yang cantik, lembut, ramah, dan tentunya penyayang. Siapa pun orangnya pasti berharap sakit agar mereka bisa bertemu dan ditangani oleh Cassie. Sejak dulu, gadis itu memang selalu digila-gilai oleh para pria. Pria yang mendapatkannya pasti sangat beruntung. Itulah kata-kata yang selalu orang lontarkan. Cassie hanya bisa gigit jari. Sayang, saat ini ia hanyalah dokter umum sehingga tak hanya melayani pasien-pasien kecil saja, tapi juga harus siap sedia jika ada pasien dewasa yang menggodanya. "Terima kasih, Cassie. Kami pulang dulu," ujar ibu anak tadi. Anak tadi bisa dikatakan langganan Cassie. Bulan ini misalnya, anak itu sudah dua kali bertemu Cassie. Penyakitnya sebenarnya tidak berbahaya, hanya batuk pilek biasa, tapi batuknya terkadang lama sekali. Anak itu memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga membuatnya mudah sakit. Batuknya juga ternyata diturunkan dari ibunya yang memiliki riwayat Bronchitis. "Sampai jumpa, Dokter!" ujar anak itu sambil melambaikan tangannya dituntun oleh ibunya keluar. Namun, baru juga sampai depan pintu, anak itu malah berbalik dan berlari menghampiri Cassie. "Apa aku boleh mengunjungimu lagi?" "Tentu saja, tapi sebagai temanku bukan sebagai pasienku," jawab Cassie sambil membelai kepala anak itu. "Ayo, Sayang kita pulang. Jangan ganggu dokter Cassie terus," pinta ibu anak itu. "Sampai jumpa, Ray!" ujar Cassie melambaikan tangannya.   ***   Cassie mencoba menundukkan kepala ke meja kerjanya. Lelah, itulah yang gadis itu rasakan. Setelah Ray, masih banyak pasien yang dengan sabarnya mengantri untuk diperiksanya, tapi itu sudah resikonya menjadi seorang dokter. Kadang dalam hati ia berpikir, kapan sehari saja ia tidak mendapat pasien. Selalu saja ada yang sakit. Tidak bisakah Tuhan membuat rumah sakit ini tidak memiliki pasien sehari saja, bukan karena libur tapi karena mereka semua sehat? Cassie dengan senang hati menerima kalau ia tidak menjadi dokter lagi, karena semua orang di dunia ini tumbuh sehat. Tapi itu tidak mungkin. Itu adalah khayalan semu yang tak mungkin terjadi. Tuhan tidak semerta-merta membuat sehat dan sakit. Keduanya memiliki alasan mengapa diciptakan. Keduanya mempunyai makna yang sama, yaitu bersyukur—bersyukur atas apa yang Tuhan beri. Sesekali Cassie mendongakkan wajahnya, mengembuskan napas panjang, sambil memejamkan matanya. Terus setiap hari seperti itu. Kini tak ada lagi senyum ceria yang ada di wajahnya seperti ketika ia menghadapi pasien-pasiennya. Ia ingin menangis. Namun, air matanya terlampau kering.   Cassie's POV   Tak ada hal lain yang bisa aku lakukan sekarang. Duduk setiap hari dan bertemu dengan pasien-pasienku. Ya, mereka sakit. Tapi aku selalu merasa mereka lebih beruntung dariku. Rasa sakit mereka akan segera pulih dengan meminum obat. Setelah itu, mereka tak hanya kembali sehat dan bisa menjalani aktivitas mereka lagi, tapi mereka akan lupa akan sakit yang mereka derita. Benar-benar lupa, karena rasa sakit itu telah hilang begitu saja. Tidak sepertiku. Katakan aku egois, tapi benarkah aku egois? Apa aku tidak pantas iri kepada pasien-pasienku itu? Andai harus memilih, aku lebih baik mendapat penyakit yang tak ada obatnya lalu meninggalkan dunia ini tuk menghadap sang Pencipta daripada terus dipermainkan dalam permainan yang entah kapan akan berakhir. Katakanlah aku mungkin sesekali tersenyum, karena memenangkan suatu babak. Tapi itu percuma, jika aku kalah di babak-babak selanjutnya. Seharusnya kini aku sedang berbahagia, urusan masa laluku telah selesai. Danies bahkan kini telah hidup berbahagia dengan Sue. Bahkan saat ini Sue sedang mengandung buah cinta mereka. Aku ingat di mana wajah Danies sumringah ketika Sue memberitahukan kalau dia sedang mengandung. Dia berlari dan memeluk Sue erat di depanku. Tak hanya itu, Danies berteriak dan mengumumkan berita bahagianya itu layaknya orang gila. Seolah tak peduli aku melihatnya. Seolah aku tak pernah mengisi ruang hatinya. Aku bisa merasakan kalau Danies benar-benar mencintai Sue dan aku bahagia akan itu—sangat-sangat bahagia. Sebenarnya, akulah orang pertama yang tahu Sue tengah hamil, karena aku yang mengantarnya ke dokter. Setelah pertemuanku di perusahaan Danies, aku dan Sue telah resmi menjadi seorang sahabat. Tak kusangka Sue adalah wanita yang begitu baik. Ia sudah seperti kakakku sendiri. Ia sering memilihkan baju atau menemaniku belanja. Pantas saja setiap pemberian dari Danies dulu selalu hal yang patut diacungi jempol, karena selera yang Sue pilihkan selalu yang terbaik walau aku tahu, saat itu dia pasti sangat cemburu padaku. Alex pun telah bisa membuka hati untuk wanita lain. Namanya adalah Hailey. Gadis berambut pirang itu telah memikat hati Alex. Siapa sangka pertengkaran mereka, karena memperebutkan tas di sebuah toko, menjadi awal kedekatan mereka. Saat itu, Alex ingin membelikanku hadiah kelulusan dengan membeli sebuah tas, tapi ia berebut dengan Hailey yang juga memilih tas itu. Mereka berdua saling berebut, karena tas itu hanya ada satu. Lebih tepatnya satu-satunya yang dijual di Amerika, sisanya dijual di tiap benua. Bisa kalian bayangkan betapa keras kepalanya mereka berdua saat memperebutkan tas itu dan Haileylah yang memenangkannya. Bukan karena ia berhasil membelinya dengan harga tinggi, tapi dengan sebuah permainan kecerdasan otak, sebuah teka-teki dan membuat Alex harus rela melepaskan tas itu.   "Kenapa kau Alex?" tanyaku ketika memandang wajah Alex yang terlihat kesal menatap seseorang. "Kenapa dia ada di sini?" Alex malah bertanya dan tak menjawab pertanyaanku. "Siapa?" tanyaku tak mengerti. "Itu. Gadis itu," jawab Alex sambil menunjuk seseorang yang hadir dalam pesta kelulusanku. Ah, sebenarnya aku tidak peduli dengan pesta itu. Tapi ayahku terus saja memaksanya dan seolah-olah ingin memamerkan keberhasilan putrinya itu. "Dia Hailey, anak dari rekan bisnis ayahku. Aku dengar, dia baru pulang dari Perancis. Kenapa? Kau suka?" jawabku sekaligus bertanya. "Buang jauh-jauh pikiran itu. Aku tidak sudi menyukai gadis sepertinya," jawab Alex memalingkan muka. "Jangan begitu, nanti kalau kau sampai jatuh cinta kepadanya, kau harus memberiku satu juta dollar. Bagaimana?" tantangku sambil menyenggol lengannya dengan tatapan menggoda. "Kau mengajakku bertaruh? Baiklah, tapi kalau kau sampai kalah, kau harus memberiku satu ciuman, tepatnya di bibir ini," jawab Alex sambil menunjuk bibirnya. Membuatku ingin sekali menjitak kepalanya. "Bagaimana?" tambahnya. Aku melongo, lalu memberengut. "Kenapa harus ciuman? Aku bahkan tidak sudi menciummu di pipi atau di tangan," tanyaku kesal. "Baiklah. Kita tidak usah bertaruh. Lagi pula aku tahu, kau tidak punya satu juta dollar itu dan ciumanku ini lebih mahal daripada uang itu," tambahku. Alex tertawa lepas. Dapat terlihat dari wajahnya kalau ia tertawa puas melihatku kalah bahkan sebelum bertanding. "Bilang saja kau takut kalah!" "Awas kau, Alex. Aku akan memutilasimu," kataku sambil memukul lengan Alex. "Baiklah, baiklah," balas Alex. Bukannya ia meringis kesakitan malah ia mengejekku. Aku tak tahu seberapa besar kekesalan Alex pada Hailey, tapi kekesalan itu seketika berubah ketika Alex mengajakku ke suatu pameran, siapalagi kalau bukan pameran Bibi. "Ada apa? Apa riasanku buruk?" tanyaku melihat Alex yang membelalakan matanya. "Dari mana kau mendapatkan tas itu? Eropa, Asia, atau Australia?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, lagi-lagi Alex malah balik bertanya. "Memangnya kenapa? Ini adalah dari—" "Hailey," potong Alex dengan lirih. Sementara aku hanya mengangguk. "Tak kusangka ia memberikannya kepadamu," tambahnya seraya menggeleng tak percaya. Aku mengernyit memandangnya. "Memangnya kenapa?" "Sudahlah, lupakan saja!" sahut Alex sambil melihat benda penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ayo kita berangkat!" ajaknya, menyisakan diriku yang masih tenggelam dalam lautan penasaran.   Entah mengapa setelah pesta itu Alex sering bertemu dengan Hailey. Tak seperti sebelumnya, kini Alex malah bersikap ramah dan kini giliran Hailey yang bersikap kesal pada Alex. Alex bahkan meminta nomor telepon Hailey kepadaku, karena ingin meminta maaf gara-gara tas itu. Namun, bukan Alex namanya kalau tidak bisa meluluhkan wanita dengan pesonanya. Ya, walaupun hanya aku yang tidak bisa ia luluhkan. Dari saat itu, setiap kali aku memandang tas pemberian Hailey, aku seperti berpikir tas itu ternyata pembawa keberuntungan untuk memberikan cinta Alex yang baru dan melupakan diriku. Lagi-lagi aku bahagia. Seharusnya aku kini dikelilingi orang-orang yang aku cintai, tapi semua itu musnah sudah. Belum juga aku bermanja-manja dengan kakakku satu-satunya itu, ia malah menikah 8 bulan setelah aku keluar dari rumah sakit dan kini sudah dikaruniai seorang putra tampan yang bernama Marshal Luth Adams yang sudah berusia 15 bulan. Ia menikahi Emily, sahabat kecilnya di panti asuhan yang berbeda 2 tahun usianya dengannya. Saat Emily berusia 8 tahun, ia diadopsi oleh seseorang dan pindah ke New York. Pantas saja saat itu aku tidak mengenalnya, karena pastinya usiaku saat itu masih sangat kecil. Namun, sayang, orangtua angkatnya meninggal saat usianya baru 17 tahun. Ayah angkatnya meninggal, karena terkena serangan jantung akibat perusahaannya bangkrut dan meninggalkan hutang di mana-mana, sedangkan ibu angkatnya meninggal karena gila lalu bunuh diri tak bisa menerima suaminya itu meninggal dan jatuh miskin. Nasib buruk kemudian menghampiri Emily, karena ia tidak bisa mendapat beasiswa untuk kuliah, membuatnya harus bekerja di sebuah kafe demi menghidupi kelangsungan hidupnya. Bekerja selama bertahun-tahun ternyata suami si pemilik kafe selalu menggodanya, bahkan terakhir kali ia mencoba memperkosa Emily. Untung saja istri pemilik kafe itu datang dan menggagalkannya, tapi malang. Pria b******k itu malah mengatakan kalau Emily telah menggodanya, sehingga istrinya itu menampar Emily lalu mengusirnya. Emily yang malang akhirnya memutuskan kembali ke Washington dan bekerja di sebuah toko bunga. Caleb yang saat itu sedang membeli sebuket bunga untuk makam ibu kandungnya ternyata dipertemukan kembali dengan Emily. Wanita yang ternyata ia cintai sejak kecil. Caleb berhasil mengenali Emily dari gelang pemberiannya ketika Emily hendak diadopsi dulu. Aku kadang berpikir ada apa dengan Danies dan Caleb yang suka memberikan gelang mainan pada seseorang. Mungkin karena murah atau apa, tapi ketika aku bertanya pada Caleb. Dia bilang gelang itu bisa mengikat dan berada di lengan seseorang walau orang itu sudah beranjak dewasa, karena gelang itu bisa direnggangkan atau dikecilkan. Berbeda dengan cincin yang tak bisa dipakai lagi, karena sempit. Sedangkan kalung, benda itu terlalu mahal untuk anak kecil seperti mereka. Baiklah, mereka semua kini sudah bahagia dengan kehidupan mereka masing-masing. Lalu bagaimana dengan kisahku dan ah ... aku tidak mau lagi mengingat lelaki jalir janji itu yang jelas seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, Tuhan sepertinya tidak benar-benar ikhlas memberikan kebahagiaan kepadaku. Tuhan selalu saja dengan cepat merenggut senyum di wajahku. Kini aku sendiri, tiada yang menemani. Tak ada lagi perhatian dan pelukan sayang dari Ayah, Ibu, Kakek, Kak Caleb, Danies, Alex, Bibi atau sahabatku lainnya. Aku hanya berteman sepi di negara, ah ... bahkan ini sudah beda benua. Aku merindukan keluargaku—sangat, tapi aku tak bisa bertemu dengan mereka dan semua ini gara-gara lelaki itu. Lelaki yang di saat orang-orang berusaha mendapatkan hatiku, ia malah dengan beraninya menghancurkannya bak kaca yang hancur berkeping-keping, tapi sesuai dengan apa yang aku telah pahami dulu. Tetaplah berjalan walau di atas bara api dan pecahan kaca sekalipun,  karena ada hal indah yang menanti di ujung jalan sana. Aku harus optimis. Hidupku tak akan pernah selesai hanya dengan mengeluh. Seharusnya aku tidak iri dengan pasienku. Aku bahkan lebih beruntung dari nasib malang Emily. Jika Tuhan saja merencanakan rahasia indah untuk Emily, pasti ia juga sudah merencanakan rahasia indah untukku. Semoga ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD