Part 2

1514 Words
Cassie menatap jalanan dari jendela besar ruang praktiknya. Setetes air mata meluncur di wajah cantiknya kala ia menahan rindu berselimut luka yang begitu menyayat jiwa. Perlahan iris coklat keemasn yang mengabur itu terpejam dan helaan napas berat terdengar. “Harus sampai kapan?” itu adalah pertanyaan yang sering berputar di kepalanya Rasanya terlampau sakit. Tak sudikah Tuhan memberikannya secercah bahagia dalam hidupnya? Kenapa ia lagi-lagi harus kehilangan sosok yang ia cintai? Tiba-tiba, di sela kepahitan yang ia ratapi, suara ketukan dari daun ruang kerja terdengar. Sontak, hal itu membuyarkan ia dari belenggu yang memadamkan asa. "Ini, Dokter," ujar seorang suster sambil menaruh kotak makan di meja Cassie. "Tuan Mason bilang, maaf dia tidak bisa menemani Anda makan siang," lanjutnya. "Terima kasih, Suster Krista," ujar Cassie. "Mau makan bersamaku?" ajaknya. "Tidak, terima kasih, Dokter, kebetulan saya sudah makan," tolak Suster Krista. "Kalau begitu saya permisi dulu," tambahnya lalu meninggalkan Cassie di ruangannya sendirian. Cassie melirik jam dinding di ruangannya, ia menghela napas ketika ternyata ia sudah melewatkan jam makan siang. Pantas saja tadi Suster Krista sudah makan. Lantas, dibukanya kotak makan itu. "Mason … Mason, hanya kau yang selalu membuatku tersenyum," gumam Cassie sambil tersenyum menatap kotak makan pemberian Mason, si pria hangat yang tak pernah bosan mewarnai hidupnya. Sepertinya Cassie harus meralatnya. Dia tak benar-benar sendiri di benua barunya, yang tak lain adalah Adelaide, Australia. Hal itu membuat seulas senyum indah terukir di bibir ranumnya. Suap demi suap Cassie makanan itu memasuki rongga mulutnya. Masakan Mason selalu membuatnya tersenyum, karena enak dan pastinya dibuat dengan sepenuh hati. "Mommy!" teriak seorang pria kecil yang baru bisa berlari itu memeluk Cassie. Hal itu sontak membuat Cassie tersedak. Ia pun menggeleng gemas, pria kecil pewarna dan pelengkap hidupnya selalu saja mengagetkannya. Kobaran semangat yang dimiliki bayi tampan yang belum lancar berbicara itu rupanya melebihi ukuran tubuhnya yang kecil. "Hai, Sayang. Kenapa kau bisa di sini? Di mana daddy-mu? Apa dia bersembunyi?" tanya Cassie sambil menggendong anak itu kepangkuannya, kemudian menghujani pipi tembam anak itu dengan kecupan. "Aa ... Mommy!" ujar anak itu membuka mulutnya sambil menunjuk kotak makan Cassie. Cassie pun dengan sigap menyuapi anak itu. "Daddy!" teriak anak itu dengan mulut yang penuh. Jantung Cassie hampir saja copot saat bayi tampan itu turun dari pangkuannya, lalu berlari menghampiri lelaki yang masuk ke ruangan Cassie. "Mason! Kau mengagetkanku saja. Suster Krista bilang kau tidak bisa menemaniku makan siang," ujar Cassie sambil mengelus dadanya. "Maaf, Cassie," ujar Mason tersenyum sambil menggendong anak tadi. Seperti biasanya, Cassie hanya pulang pukul dua siang. Setelah itu, digantikan oleh dokter lain. Membuatnya bisa mengerjakan hal lainnya. Setelah pulang dari rumah sakit, ia selalu menyempatkan waktu ke sebuah yayasan penyandang kanker. Masonlah orang pertama yang mengenalkan Cassie tempat itu. Cassie mulai bercerita, mendongeng bagi anak-anak penyandang kanker. Menghibur mereka, setidaknya untuk melupakan beban mereka sejenak. Bagaimanapun ia pernah di posisi seperti mereka—bagaimana ia harus berjuang dengan obat-obatan, operasi, kemoterapi, dan bahkan harus kehilangan keseimbangannya. Anak-anak itu pasti butuh penyemangat dan hiburan. Seperti dirinya yang dulu ditemani Nathan dan anak-anak di sekitar vila. Ah … memikirkan Nathan sama saja mengorek luka bagi gadis itu. Di depan gadis bernetra coklat keemasan itu terlihat anak-anak yang mengamati gerakan dan ekspresi Cassie dengan pandangan terpaku. Manik-manik anak-anak itu tak berkedip, karena terlalu serius. Kali ini gadis itu menceritakan cerita klasik Hanzel dan Gretel, sementara itu Mason ikut duduk di belakang di antara anak-anak sambil membuat sebuah karikatur. Sedangkan di barisan paling depan ada si kecil Aslan, pria kecil yang membuat Cassie dipanggil mommy. Kendati usianya baru satu tahun, tapi Aslan menyimak apa yang Cassie ceritakan seolah mengerti. "Coba siapa yang tahu pelajaran apa yang bisa kita dapat dari cerita tadi?" Cassie mulai bertanya setelah ia mengakhiri ceritanya. Sementara Mason masih terlihat sibuk dengan pensil dan kertasnya. "Kita tidak boleh makan yang manis-manis," ujar salah satu anak. "Lalu?" tanya Cassie meminta pendapat anak lainnya. "Kita tidak boleh makan apa yang bukan milik kita," ujar anak lainnya. Ingin sekali Cassie menenggelamkan tubuhnya ke dasar samudera. Entah mengapa yang mereka fokuskan hanya tentang makanan. "Makan, Mommy!" celetuk Aslan mendekati kaki Cassie dengan bahasa yang masih belum jelas. Sepertinya ia terbawa jawaban anak-anak tadi yang fokus akan makanan. Cassie menundukkan kepala mendekati Aslan. "Kau lapar? Bukankah kita tadi sudah makan?" Aslan menggeleng, membuat Cassie tak mengerti. Batita itu tidak mungkin lapar, karena tadi di rumah sakit ia sudah diberi makan. "Mungkin dia haus, Cassie. Kenapa kau tidak memberinya ASI?" teriak salah satu anak. Cassie membeku, seluruh aliran darahnya terasa berhenti mengalir seketika. Ia menelan salivanya dengan cukup berat, kemudian ia beranjak meninggalkan anak-anak dengan perasaan tak menentu. "Kau mau ke mana?" tanya seorang anak. Cassie menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan badan. "Aku mau membuatkan Aslan s**u. Apakah kalian mau?" "Kau selalu membuatkannya s**u. Kenapa kau tidak memberikannya ASI seperti yang dilakukan ibuku pada adikku?" tanya anak yang memberi saran tadi. Lagi-lagi Cassie hanya bisa diam mematung. Bukan ia tidak mau memberikan ASI untuk Aslan, tapi ia tidak bisa. "Aslan sudah besar. Jadi, dia harus minum dengan menggunakan gelas atau botol," jawabnya kikuk. "Tapi, adikku lebih besar daripada Aslan. Kenapa ibuku masih memberinya ASI? Apa karena adikku manja?" tanya anak itu lagi. Dalam hati Cassie merutuki dirinya sendiri, mengapa anak itu terus bertanya tentang ASI. "Tiap anak itu berbeda-beda dalam meminum ASI. Ada yang sudah besar masih meminumnya, ada juga yang dari sejak lahir ia tidak pernah meminum ASI sama sekali, seperti Aslan." Bukan Cassie yang menjawab, melainkan Mason yang mencoba membenahi. "Kenapa Aslan tidak minum ASI?" Astaga, bukannya berakhir, anak itu masih berlanjut. Ingin sekali Cassie berteriak sambil menjedotkan kepalanya ke tembok, tapi anak-anak itu adalah malaikat kecil yang penuh dengan kepolosan dan rasa keingintahuan yang tinggi. "Karena Tuhan tidak memberi Cassie ASI," jawab Mason dengan sabarnya. "Kenapa?" tanya anak lain, sementara itu Cassie hanya mampu mengembuskan napas kasar menghadapi pertanyaan yang entah kapan berakhir. "Karena setiap wanita itu berbeda. Seperti wajah, rambut, kepandaian, kelebihan, kekurangan, bahkan rasa sakit seperti yang kalian rasakan juga berbeda," jawab Mason dengan menahan napasnya. "Aku mengerti." Anak tadi mengangguk seolah mengerti. "Cassie, aku mau s**u!" serunya. "Aku juga! Aku juga!" Teriakan anak lainnya terdengar. Ini lebih baik daripada menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menggelikan seperti tadi. Cassie kemudian pergi ke dapur membuatkan s**u untuk Aslan dan anak-anak lainnya dibantu dengan pegawai yayasan. "Maafkan anak-anak tadi, Cassie. Itu pasti menyakiti hatimu. Kalau saja kau tidak ...," ujar pemilik yayasan yang tadi ikut menyimak. Namun, kata-katanya terhenti, karena Cassie memotongnya. "Tidak apa-apa. Mereka hanya anak kecil yang belum mengerti dan aku tidak menyesal," ujar Cassie tersenyum. "Ah, susunya sudah siap. Mereka pasti sudah menunggu," tambahnya sambil membawa nampan ke luar.   ***   Tak terasa senja sudah mulai menampakkan cahayanya. Setelah dari yayasan, Cassie dan Mason memutuskan untuk pergi ke suatu supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Setelah itu, mereka memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran sebelum akhirnya pulang. Baik di supermarket maupun restoran, orang-orang memandang Cassie dan Mason seperti pasangan yang bahagia dengan kehadiran anak di tengahnya, membuat orang-orang iri melihatnya. "Yang satu cantik dan yang satu tampan. Ah ... mereka serasi sekali. Apalagi jagoannya juga sangat menggemaskan. Pasti mereka membuatnya dengan sangat bahagia," cibir salah satu pengunjung restoran berbisik. Namun, tetap saja masih bisa terdengar jelas, hingga dengan mata yang memerah, Cassie terbatuk menahan rasa sakit akibat makanan yang sedang dikunyahnya tersendat di kerongkongan. "Ini, minumlah!" tawar Mason ketika melihat Cassie tersedak. Cassie meraih segelas air yang diberikannya, meminumnya hingga tandas dengan terburu-buru. "Sudah lebih baik?" tanyanya khawatir. Cassie mengangguk, mengelap mulut, lalu melanjutkan makan malamnya. Setelah cibiran itu, gadis itu menjadi pendiam. Kata-kata pengunjung tadi soal 'membuatnya dengan sangat bahagia' membuat pipinya terlihat merah dengan rasa panas yang menjalar. Akhirnya ia memusatkan pikirannya pada makanan yang ada di depannya. Di tengah pikiran Cassie yang berkecambuk, bunyi nyaring antara sendok yang dijatuhkan Aslan dan lantai yang saling beradu terdengar. Bayi tampan itu memang makan sendiri dan duduk di kursi tinggi khusus bayi yang tersedia di restoran itu. "Maaf!" ujar Mason ketika tangannya tak sengaja menyentuh tangan Cassie yang juga mencoba meraih sendok Aslan yang terjatuh tadi. Cassie menarik tangannya. Di saat ia mencoba berdiri, kepalanya malah terhantuk meja. "Aww!" rintihnya. Ia pun mengusap-usap kepalanya yang sakit. "Sakit, ya," ujar Mason sambil mengusap-usap kepala Cassie dengan lembut. "Lihatlah, mereka sangat menggemaskan," cibir pengunjung lainnya sambil terkekeh. "Tentu saja. Namanya juga pasangan muda," balas pasangan pengunjung wanita tadi. "Semoga mereka kelak bisa seperti kita. Tetap romantis sampai tua," ujar pengunjung wanita yang usianya sudah lanjut usia sambil menggenggam tangan lelaki yang satu meja dengannya. Pasti itu adalah suaminya. Cassie menghela napas. Mengapa harinya kali ini terasa begitu berat? Jujur, ada rasa tidak nyaman saat pengunjung-pengunjung itu membicarakannya dan entah kenapa, ia jadi membayangkan seandainya saja bukan Mason yang saat ini bersamanya melainkan …. Cassie menggeleng, dengan cepat menggenyahkan perandaiannya. What the hell? Apa yang sudah ia pikirkan? Bisa-bisanya ia memikirkan si bastard itu. Mason mengernyit bingung. "Kau tidak apa-apa, Cassie?" tanya dengan pandangan tak luput dari sang pujaan hati. "Aku baik-baik saja," jawab Cassie singkat. "Pipimu merona," ujar Mason sambil tertawa kecil. Hal itu seketika membuat pipi Cassie semakin merah dan mau tak mau ia harus menunduk, menahan malu. Sialan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD