Part 3

1503 Words
Setelah melewati harinya yang begitu berat, menidurkan Aslan adalah tugas terakhir Cassie. Namun, rupanya si kecil itu tidak mau tidur, padahal waktu sudah menunjukan pukul sepuluk malam. Seharusnya, anak itu tidur cepat, karena kelelahan. Ah ... Cassie lupa, Aslan sudah tidur di mobil tadi sebelum sampai rumah. "Tidur, ya, Sayang," pinta Cassie sambil sesekali menguap. Namun jagoan kecilnya itu sepertinya tidak mau tidur. "Biar aku saja. Kau sebaiknya tidur. Kau tampak lelah," pinta Mason. Pria beriris biru gelap yang baru datang itu menghampiri Cassie dan sang putra di kamar Aslan. Ya, meski usia anaknya masih begitu kecil, tetapi sudah diajarkan tidur di kamarnya sendiri. Kendati begitu, terkadang Mason turut menemani sang putra, karena di dalam kamar mewah anak sang pengusaha sukses itu bukan hanya terdapat box bayi, melainkan ranjang berukuran king size—tempat yang biasanya dipakai Cassie menidurkan sang putra sambil membacakan dongeng sebelum akhirnya dipindahkan ke dalam box. "Baiklah. Bangunkan aku jika Aslan sudah tidur," ujar Cassie sambil membaringkan tubuhnya di samping Aslan yang masih berjingkrakan. "Kenapa harus membangunkanmu? Jelas-jelas besok pagi kau harus bekerja. Apa kau mau mengajakku membuat adik untuk Aslan?" tanya Mason sambil mengedipkan sebelah mata—menggoda. Seketika Cassie membelalakan matanya. Rasa kantuk yang menghampirinya tiba-tiba saja hilang. Kini, ia mengerucutkan bibir sambil menatap tajam wajah Mason. "Bercandamu tidak lucu," ujar Cassie kesal. "Pergi sana! Biar aku saja menidurkan Aslan!" usirnya. "Ishh, ishh, ishh ... ibumu itu terlihat lebih cantik saat marah, Aslan," ujar Mason menggelengkan kepalanya sambil menunduk seolah ketakutan. Cassie tahu, ekspresi ketakutan Mason tak lebih dari sekadar tipuan, membuatnya semakin kesal. "Keluarlah, Mason!" usir Cassie. Kali ini dengan suara yang menggeram. "Astaga! Apa aku tidak salah dengar? Apa baru saja kau mengusirku dari rumahku sendiri?" tanya Mason seolah kaget. Pria itu bahkan mengelus dadanya. Sungguh drama king, membuat Cassie berkali-kali menghela napas panjang agar emosinya tak meledak. Bolehkah Cassie melempar pria itu ke Segitiga Bermuda? Tapi, bagaimana jika Aslan bertanya karena merindukannya? Siapa pula yang nanti memasakannya makan siang? Aish ... kenapa ia malah jadi tidak tega? "Ah ... aku lupa! Kalau begitu, aku akan kembali ke apartment-ku saja. Kau urus saja Aslan sendiri," ujar Cassie sambil turun dari tempat tidur dan melangkah pergi. Melihat Cassie pergi, si kecil Aslan terlihat panik, apalagi saat melihat sang ibu hendak meninggalkannya dengan tatapan marah. "Mommy!" panggilnya. "Kemarilah, Mommy. Jangan merajuk seperti itu. Daddy minta maaf," ujar Mason dengan nada seperti Aslan. Langkah Cassie terhenti. Hal itu menuai senyum kemenangan di bibir Mason. Namun, senyum itu tak berangsur lama, karena saat wanita pujaannya itu membalikan tubuh, wanita itu justru melayangkan tatapan tajam dengan kilatan berbahaya ke arahnya. Setelah itu, Cassie kemudian membalikan tubuhnya lagi dan menarik kaki jenjang putih mulusnya keluar dari kamar Aslan. "Mommy!" teriak Aslan. Jebol sudah tanggul sungai air mata jagoan Mason dan Cassie itu, bahkan isakannya yang memekik terdengar hingga seisi rumah. "Sabar, Sayang. Ayo, cepat tidur. Ini sudah malam," ujar Mason sambil menggendong dan menepuk-nepuk punggung Aslan, mencoba menenangkan dan membuat putranya tertidur. Dalam gendongan sang ayah, Aslan memberontak. "Mommy!" ujarnya sesegukan. "Cup ... cup ...." Dalam dekapan yang semakin erat agar sang putra tidak terlepas dari gendongannya, Mason tetap berusaha menenangkan Aslan, berharap ibu sang putra kembali dan bisa menenangkan putranya. Namun sayang, hingga lima menit pun berlalu, tak ada tanda-tanda wanita itu kembali. Di sisi lain, Cassie yang tinggal beberapa langkah lagi mencapai gerbang malah menghentikan langkahnya. Tiba-tiba saja kilasan kejadian mengerikan beberapa waktu lalu berputar kembali di kepalanya. "Ada apa?' tanya Cassie, karena supir taxi yang ditumpanginya mendadakan berhenti. "Maaf, Nona, sepertinya mobilnya bermasalah. Sebaiknya saya periksa dulu," sahut supir taxi. Cassie mengangguk, kemudian membiarkan si supir turun dan memeriksa mobil. Tak lama kemudian supir taxi itu kembali. "Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Cassie yang dijawab anggukan si supir taxi, membuat ia mendesah lega. "Syukurlah." "Tapi, bisakah Anda menunggu sebentar saja, Nona? Saya tidak tahan ingin buang air kecil." Mendengar hal itu, tiba-tiba takut menyusup dalam relung hati Cassie—ada curiga di sana. "Hanya lima menit. Namun, jika Anda melihat taxi yang lewat, Anda boleh beralih." "Baiklah," desah Cassie. Beberapa menit berlalu, tetapi supir taxi belum juga menampakkan batang hidungnya, membuat gejolak takut di hati Cassie semakin bergemuruh. Ketakutannya pun seakan meledak saat seseorang mengetuk jendela mobil. "Nona, sebaiknya Anda turun. Lihatlah, ada asap yang keluar dari belakang mobil," ucap pria asing. Meski gamang, Cassie pun turun dari mobil dan benar saja, netra coklat keemasannya melihat ada asap yang berasal dari bawah mobil. "Sebaiknya kita segera pergi, Nona," ajak pria asing itu sambil menarik pergelangan Cassie. "Tapi supirnya?" tanya Cassie. "Tidak ada waktu, sepertinya sebentar lagi mobil ini akan meledak." Mendengar hal itu, Cassie pun berlari ke seberang di mana mobil pria itu terparkir. Benar saja, baru beberapa mobil pria asing itu melaju, dari arah belakang Cassie dan pria asing itu bisa mendengar ledakan yang memekik gendang telinga. "Sebaiknya kita kembali, kasihan supir itu," usul Cassie. "Sebaiknya tidak perlu," tukas pria asing itu. Cassie mengernyit. "Kenapa?" "Saya rasa, ledakan itu bukan murni kecelakaan," jawab pria asing itu. "Dari mana kau tahu?" Pertanyaan Cassie sayangnya dijawab dengan kebisuan. "Siapa kau?" tanyanya curiga. "Siapa saya tidak penting. Yang terpenting adalah keselamatan Nona. Maaf, saya hampir terlambat." Jawaban pria asing itu menyentak Cassie. Kepala Cassie mendadak pusing. "Apa si bastard itu yang menyuruhmu?" Pria asing itu bukannya menjawab malah terkekeh. "Sepertinya Anda terlalu banyak bertanya, Nona dan maaf saya tidak bisa menjawab." Cassie mengembuskan napas panjang. Hingga detik ini ia tidak tahu apa motif supir taxi itu. Apa ini ada kaitannya dengan hilangnya di bastard itu? Sebenarnya, apa yang disembunyikan pria itu? Lelah memikirkan pertanyaan tak berujung itu, ia memlih memutar tubuh dan kembali menarik kakinya menuju rumah Mason. Mason yang mengajak Aslan ke arah jendela untuk menghirup udara segar tampak mengernyit, karena mendapati Cassie yang berjalan ke arah rumahnya. "Dasar keras kepala," gumam Mason sambil tersenyum miring. Mason pun buru-buru menuruni tangga. Menyambut Cassie dan mengejeknya. "Tidak jadi pergi?" tanyanya tepat ketika Cassie membuka pintu. Cassie tak menjawab pertanyaan Mason. Ia masih bersikap dingin. Diraihnya Aslan yang berada dalam gendongan Mason, lalu membawanya ke kamar Aslan. Melihat reaksi Cassie, Mason tahu kalau Cassie sangat kesal. Ia memang tidak bisa menjaga mulutnya. Seharusnya ia mengerti kondisi Cassie yang sedang lelah. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di ruang tamu sampai Cassie selesai menidurkan Aslan. Setengah jam kemudian Cassie menuruni tangga. Berdiri tepat di hadapan Mason yang sedang membaca sambil meminum kopi. "Aslan sudah tidur," ujar Cassie ketus. "Ayo, aku mau pulang," tambahnya. "Kenapa tidak tidur di sini saja?" tanya Mason sambil menutup bukunya. "Sehari saja. Tenang saja, aku tidak akan membuatmu memberikan adik untuk Aslan," lirihnya. "Aku tidak bisa. Kau ingat perjanjiannya, bukan?" jawab Cassie ketus. "Aku lelah, Cassie. Kenapa kita tidak menikah saja? Aku sangat mencintaimu dan aku sudah terlalu lama menunggu. Apalagi sekarang sudah ada Aslan. Kau lihat sendiri tadi dia menangis, karena tidak mau kau tinggalkan," tanya Mason tertunduk lemas. "Aku tidak bisa," jawab Cassie dengan sedikit kaget. Baru kali ini Mason mengatakan soal menikah dan mencintainya secara terang-terangan. "Kenapa?" tanya Mason memberanikan menatap Cassie. "Jangan berkata soal pernikahan atau cinta di depanku, Mason. Aku tidak suka akan kata-kata itu. Jangan hancurkan hubungan yang sudah kita jalin. Jangan meminta lebih dariku," jawab Cassie. "Ayo, antarkan aku pulang. Alasanku aku kembali selain untuk menidurkan Aslan adalah karena pastinya sulit menemukan taksi di malam hari. Jangan membual lagi," tambahnya. "Baiklah, maafkan ucapanku tadi. Aku hanya bercanda. Lupakan saja," ujar Mason sambil beranjak dan mengambil kunci mobilnya. "Mason!" teriak Cassie. "Ya!" ujar Mason menoleh ke arah Cassie. "Tetaplah menjadi Mason yang aku kenal. Dulu, sekarang dan selamanya. Jangan pernah berubah. Jangan pernah," ujar Cassie sambil menggigit bibirnya. Tertunduk, tanpa memandang Mason. "Tenang saja, Cassie. Aku akan menjadi segalanya yang kau inginkan," ujar Mason melanjutkan langkahnya mengambil kunci mobil. "Astaga, Aslan. Sepertinya kehadiranmu sama sekali tidak merubah segalanya," gumam Mason dalam hati. *** Di lain tempat bunyi nyaring yang ditimbulkan seseorang yang menggebrak meja dengan kerasnya, penuh dengan emosi terdengar. "Kenapa wanita itu masih hidup sampai saat ini? Mengapa kalian sangat sulit untuk melenyapkan wanita itu?" tanya orang yang menggebrak meja dengan mata berkilat marah. "Maaf. Tapi kami sudah sebisa mungkin berusaha, tapi selalu saja gagal. Seolah ada yang melindunginya," jawab seorang pria lainnya sambil tertunduk kesal. "Mengapa kita tidak melenyapkan anaknya saja? Ini adalah kesempatan yang bagus. Anak itu ditinggal sendiri hanya bersama seorang pelayan," jawab pria lainnya. "Aku tidak mau. Sudah aku katakan berapa kali yang aku inginkan hanya kematian wanita itu. Titik!" ujar seseorang yang menggebrak meja tadi. "Ini kesempatan yang bagus. Sekarang, kalian buat mereka kecelakaan dan pastikan wanita itu dan dia mati," tambahnya. "Tapi, bagaimana jika gagal lagi?" tanya seorang pria yang tak lain adalah seorang pesuruh dari orang yang menggebrak meja tadi. Tak lama kemudian, bunyi nyaring antara tangan yang bertemu dengan meja terdengar kembali, bahkan kali ini dengan dentuman yang memekik gendang telinga hingga membuat jantung seakan meloncat dari tempatnya. "Aku tidak peduli. Itu sudah tugas kalian. Kalau tidak, kalian akan membayar nyawa wanita itu dengan nyawa kalian," balas seseorang sambil menyodorkan sebuah pistol ke depan kedua pesuruh tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD