Part 4

2185 Words
Semenjak Cassie melangkahkan kaki memasuki mobil, ia tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Kini Cassie dan Mason hanya saling diam. Cassie terus saja memalingkan wajahnya dan menatap jalan dari balik kaca, sementara itu Mason asyik menyetir. Namun, begitu, sesekali Mason melirik Cassie. Ia sungguh kesal, dengan sikap Cassie yang hanya diam. Berbeda dengan wanita lainnya yang begitu cerewet mengeluarkan perasaannya, Cassie malah terdiam menyembunyikan segalanya. Semuanya ia simpan dalam hati. Kalau urusan soal menyembunyikan sesuatu, Cassielah jagonya. Mason menghela napas. Dalam hati ia sungguh sebal, karena mereka saling diam. Ia merasa seperti seorang supir taksi yang sedang mengantar penumpangnya. Bagi Mason, jika Cassie marah, meluapkan marahnya itu lebih baik, bahkan jika Cassie mencakar atau memukulnya pun ia akan terima, karena baginya didiamkan itu jauh lebih sakit daripada menghadapi ocehan-ocehan menyakitkan, tapi itulah sikap buruk Cassie. Selalu diam kalau puncak kekesalannya sudah datang. Namun, Mason tahu, sikap diam Cassie itu beralasan. Bagaimanapun Cassie tidak ingin mengeluarkan kata-kata atau tindakan yang dapat melukai seseorang, makanya ia memilih untuk diam. Mason melirik ke arah Cassie dan Cassie masih tetap sama. Asyik memandangi jalan. Mason kemudian berdeham. Berharap Cassie sekadar meliriknya. Namun, lagi-lagi Cassie tak merespon. Entah apa yang ada di  pikiran Cassie. Ia selalu marah kalau sudah menyangkut masalah cinta dan pernikahan. Mason berpikir apakah Cassie pernah terkhianati akan cinta atau pernikahan, tapi itu tidak mungkin. Setahu Mason, Cassie bahkan belum menikah. Bahkan tidak ada pria yang dekat dengannya atau mungkin keluarganya memberi contoh yang buruk soal pernikahan. Dan soal cinta itu sendiri. Bukankah beberapa tahun lalu, Cassie sendiri yang tak melarang Mason untuk mencintainya dan berusaha untuk mendapatkan hatinya? Lalu kenapa Cassie tak sedikit pun mau membalasnya? Sikap Cassie terkadang membuat Mason bingung dan sebal, membuat pria itu berpikir apakah cintanya bertepuk sebelah tangan atau mungkin gadis itu juga mencintainya dalam diam. Awalnya Mason berharap kehadiran Aslan bisa membuat Cassie semakin dekat dengannya, mencintainya, menerima pinangannya dan membentuk keluarga kecil yang bahagia, tapi semua itu salah. Selama ini Cassie hanya bersikap sesuai dengan perjanjian. Ah, bahkan Cassie sendiri yang membuat perjanjian itu. Perjanjian di mana ia akan mengurus Aslan ketika ia pulang kerja sampai bayi tampan itu terlelap di malam hari. Setelah itu, ia akan kembali ke apartment-nya. Sedangkan malam hingga Cassie selesai bekerja, Aslan akan diurus oleh pelayan yang bekerja di rumah Mason, karena bagaimanapun Mason tidak bisa mengurus Aslan, karena harus bekerja juga. Semua itu sebenarnya cukup menyulitkan, apalagi jika Aslan tidak mau tidur cepat seperti tadi. Cassie rela menunggu meski ia harus menunggu sampai tengah malam hingga Aslan mau tertidur. Tidak ada rasa sedikit pun keinginan gadis itu untuk membawa Aslan ke apartment-nya. Mungkin gadis itu malu atau … entahlah Mason sendiri tidak tahu. Sebenarnya Mason sudah menawarkan agar ia pindah dan membeli sebuah apartment di apartment yang sama dengan yang Cassie tinggali kalau perlu bersebelahan agar gadis itu dapat dengan mudah mengurus Aslan. Namun, gadis itu menolaknya. Padahal jika dipikir-pikir jarak rumah Mason dengan apartment Cassie cukup jauh, tapi mau bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa menolak keinginan gadis itu. Memandang Cassie yang hanya diam membuat Mason gemas. Ingin sekali ia mengobrol dengan gadis itu. Bagaimana pun, jika Cassie sedang dalam mood yang baik, ia adalah pribadi yang menyenangkan, suka bercanda dan senyumnya selalu bisa menenangkan hati, tapi niat itu Mason urungkan. Tak baik jika membangunkan singa yang sedang tidur. Cara meluluhkan Cassie cuma satu, duduk diam dengan manis sampai gadis itu mau memulainya sendiri. Mason mulai melirik ke arah Cassie sekali lagi. Namun, ketika pandangannya tertuju ke arah Cassie tiba-tiba terasa cahaya yang begitu menyilaukan mengenai matanya. Tak lama dari itu, decitan bersama dentuman suara tubrukan terdengar sangat jelas ketika satu mobil dan mobil lainnya saling bertabrakan. "Mason, kau tidak apa-apa?" tanya Cassie khawatir. Ada secercah bahagia kala akhirnya Mason mendengar Cassie yang mau bicara dengannya. Mason menggeleng sambil mencoba tersenyum. Dadanya masih berdetak dengan kencang, napasnya terasa terputus-putus. Kaget. Tentu saja itu yang ia rasakan setelah ia mencoba memalingkan mobilnya ketika sebuah mobil berjalan ke arah mobilnya, karena mobil itu mengambil jalur yang salah. Beruntung, Mason dan Cassie selamat ketika Mason berhasil memutar setirnya dengan cepat dan berhenti di bahu jalan. "Aku baik-baik saja," jawab Mason. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil menatap seluruh tubuh Cassie, memastikan gadis itu tidak terluka sedikit pun. "Aku baik-baik saja," jawab Cassie yang masih menyimpan rasa kagetnya. "Ayo kita keluar!" ajaknya. Mason pun hanya mengangguk dan melepas seatbelt-nya lalu keluar dari mobil. Dilihatnya dua buah mobil sudah hancur berantakan. Serpihan kaca sudah tersebar di jalanan. Darah dari si penumpang pun mulai berceceran. Mason masih ingat betul, saat cahaya mobil yang menyilaukan ke arah mobilnya hingga akan terjadi tabrakan dengan mobilnya, tiba-tiba saja ada sebuah mobil yang melintas tak kalah cepat dari arah samping. Hingga membuat mobil yang mengarah ke arah Mason tertabrak lebih dulu oleh mobil lain dan terguling. "Syukurlah, mereka masih hidup," ujar Cassie ketika memeriksa kedua supir mobil tadi. "Ayo, bantu aku mengobatinya," tambahnya. Seketika Mason membawa kedua supir tadi ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, Cassie melakukan sebisanya untuk menyelamatkan keduanya. Sementara itu, mobil-mobil yang lewat berhenti untuk sekadar melihatnya. Dengan segera Mason dan Cassie membawa kedua supir itu ke rumah sakit agar keduanya dapat selamat. "Ayo, kita pulang. Pihak rumah sakit dan polisi akan mengurus mereka," ajak Mason pada Cassie yang sedang duduk di kursi tunggu. "Tapi—" "Tidak usah tapi-tapian. Keluarga mereka akan segera datang." Di saat Cassie hendak menolak, Mason memotong pembicaraan. Ia bisa menatap bagaimana tangan Cassie bergetar dari tadi. Kecelakaan itu pasti masih terngiang di telinga gadis itu. "Baiklah," balas Cassie pasrah. Saat ini pihak kepolisian sudah menunggu kondisi kedua supir tadi. Mason pun sudah memberikan kesaksiannya dalam kronologis kecelakaan tadi. Akhirnya, Cassie pun pulang ke apartment-nya.   ***   Di dalam mobil, Cassie bersikap diam kembali. Namun, Mason tahu itu bukan, karena Cassie yang masih marah tapi karena kecelakaan tadi. Dilihatnya Cassie yang sudah mengeluarkan keringat dingin, tangan yang bergetar dan gigi yang bergertak. "Tidak apa-apa, semuanya sudah lewat. Lupakan saja yang tadi, ok," pinta Mason sambil memegang punggung tangan Cassie dan mengelusnya. Ah, kalau boleh Mason juga ingin mengecup punggung tangan itu, tapi pastinya tidak saat ini. Cassie yang mau dipegang tangannya saja sudah untung. "Mason, hati-hati mengendarainya," ujar Cassie sambil menarik tangan yang dipegang Mason. Masok berdecak kesal. Ternyata Cassie masih marah padanya. "Ya, aku akan mengendarainya dengan sangat hati-hati. Akan aku pastikan kau selamat," ujar Mason. "Jangan pikirkan aku, pikirkanlah dirimu sendiri dan juga Aslan. Aku tidak ingin kau terluka. Aku tidak ingin kau ma ...." Cassie menggantungkan kata-katanya di udara, manik matanya menatap Mason penuh khawatir. "Aku tidak ingin kau mati, lalu meninggalkanku," lanjutnya. Hati Mason seolah ingin loncat, karena begitu bahagia mendengar Cassie yang ternyata mengkhawatirkannya. Ini lebih membahagiakan daripada sekadar menyentuh tangan Cassie. "Jangan bicara ke mana-mana. Aku di sini dan selamanya aku akan selalu ada untukmu," ujar Mason. Dari wajahnya terdapat senyum yang merekah. "dan juga Aslan," tambahnya dengan sedikit penekanan. Cassie tersenyum. Sepertinya keringat dingin tak lagi membasahi tubuhnya. "Kau tahu, dulu aku dan Alex hampir saja melenyapkan seseorang, karena Alex tidak fokus menyetir. Untung saja orang itu selamat. Aku masih memikirkan siapa orang yang Alex tabrak dan bagaimana kondisinya, karena Alex tidak mau bertanggung jawab saat itu. Kau tahu, saat kecelakaan seseorang masih tidak bisa merasakan sakit, tapi setelah itu rasa sakit baru akan dirasakannya. Semoga orang itu baik-baik saja. Di mobil, Alex terus saja mengoceh dan melirikku, tapi kau jangan melakukan hal yang sama dengan Alex," ujar Cassie menjelaskan panjang lebar. "Akhirnya kau mau mengobrol denganku. Aku rindu suaramu. Bahkan semenit saja terasa sejam, jika kau tak mau bertegur sapa denganku," gumam Mason dalam hati. "Mason, kau dengar tidak apa yang aku katakan barusan?" tanya Cassie ketika melihat Mason tak meresponnya, tapi malah tertawa sendiri. "Tentu saja, Manis," jawab Mason tersadar dari lamunannya. "Aku bukan gula atau permen. Jangan mengatakan kalau aku manis," ujar Cassie dengan wajah yang kesal seperti tadi. "Maaf," cicit Mason. "Sepanjang hari ini kau selalu meminta maaf. Aku lelah mendengarnya. Bisa tidak kau berhenti mengatakan kata-kata itu?" tanya Cassie sambil menyandarkan tubuhnya ke kepala kursi mobil sambil bibir yang dikerucutkan. "Karena aku banyak melakukan kesalahan hari ini, jadi aku minta maaf," jawab Mason. "Maafkan aku juga, ya, tapi aku sarankan kau melupakan aku dan mencari wanita lain yang jauh lebih baik dariku," ujar Cassie. Seketika Mason mengerem mobilnya mendadak. Kaget bukan main mengapa Cassie mengatakan hal yang tidak ingin ia dengar. "Maaf," ujar Mason sambil melajukan mobilnya kembali. "Aishh ... maaf lagi. Harusnya aku yang meminta maaf di sini, karena aku tidak bisa menjadi apa yang kau inginkan," ujar Cassie dengan nada sedikit kesal. Namun, juga menyesal. "Tidak apa-apa. Aku mengerti hubungan kita tak lebih dari sekadar sahabat dan juga orangtua bagi Aslan," ujar Mason mencoba bersikap biasa saja. "Maaf," lirih Cassie. "Hei, sekarang kau yang terus berkata maaf," ujar Mason terkekeh. Tanpa disadari, Cassie pun ikut terkekeh. "Ya, kita memang pasangan yang suka minta maaf," ujarnya. "Pasangan? Pasangan apa, Cassie? Jangan membuatku bingung dengan sikapmu," gumam Mason dalam hati. "Mason, kau tahu, aku pernah melihat seorang pria yang katanya sangat mencintai wanita yang selama ini menjadi sahabatnya. Namun, pada akhirnya orang itu ternyata ditakdirkan dengan wanita lain yang bahkan sebelumnya ia tidak sadari. Sampai suatu saat pria itu pun bersatu dengan wanita yang menjadi takdirnya, mereka kemudian saling mencintai, lalu perasaan pria itu terhadap sahabat yang katanya ia cinta dan tak ada wanita yang bisa menggantinya ternyata hilang begitu saja, seolah pria itu tak pernah jatuh cinta pada sahabatnya. Pria itu kini sangat mencintai pasangannya. Aku yakin, kisahmu juga akan seperti itu. Kau hanya harus menunggu," ujar Cassie tersenyum sambil menatap Mason yang sedang menyetir. Ia sedikit teringat akan kisah Danies dan juga Alex. Mason merasa salah tingkah. Bukan karena Cassie menatapnya, melainkan karena perkataan yang dilontarkan oleh Cassie. "Ya, kau benar. Aku akan tetap menunggu wanita lain itu dan aku akan mencoba melupakanmu. Kita akan menjadi sahabat baik selamanya," balas Mason tersenyum kecil. Cassie merasa lega dengan jawaban Mason walau sebenarnya Cassie tahu itu cukup sulit bagi Mason. Dari dulu hingga sekarang, hanya Mason yang bisa mengendalikan perasaannya. Tidak seperti Alex yang terlalu posesif. Cassie mengerti kalau melupakan seseorang yang dicintai itu sulit. Bahkan sangat sulit. Kasarnya, tak butuh waktu lama untuk membuat matamu jatuh cinta. Namun, perlu bertahun-tahun melupakan cinta yang pernah kau tanam. "Maafkan aku Mason. Aku mencintai pria lain dan aku akan tetap menunggunya walau aku terlihat bodoh," gumam Cassie dalam hati sambil memalingkan wajahnya kembali memandangi jalanan.   ***   Di sisi lain, terlihat seseorang melayangkan tatapan merah yang berkilat pada orang yang ada di depannya dengan napas yang memburu. "Bagaimana dengan kondisi Jack?" tanya seseorang itu sambil menghela napas. "Dia baik-baik saja, kondisinya sudah stabil. Beruntung wanita itu segera menyelamatkannya," jawab seorang pria tertunduk takut melihat bosnya itu. "Sial! Wanita itu sungguh membuatku sangat gila. Harus dengan cara apa lagi untuk membunuhnya? Apa dia titisan seekor kucing yang mempunyai sembilan nyawa?!" geram seseorang itu. "Sudah kami prediksi sebelumnya, kalau pasti ada yang melindungi wanita itu. Kami sudah mencoba melacaknya. Namun, tidak ada hasilnya. Seseorang itu pasti lebih pintar dari kami," ujar seorang pria. "Cassie, Cassie ... kau memang wanita baik atau bodoh, huh?! Kalau kau tahu pria yang kau selamatkan tadi itu sebenarnya ingin membunuhmu, apa kau masih mau menyelamatkannya?" tanya seseorang itu sambil menatap foto Cassie yang dipegangnya. "Maafkan kami. Kami janji akan berusaha yang lebih keras lagi," ujar seseorang. "Baiklah, kalian boleh istirahat. Setelah itu, habisi orang yang selama ini melindunginya juga periksa korban lain dalam kecelakaan tadi. Siapa tahu ia adalah orang suruhan yang melindungi Cassie selama ini," balas seseorang itu. "Baiklah, kami akan segera melaporkannya pada Anda," ujar seorang pria. Orang itu dan orang yang ada di sampingnya pun keluar untuk kembali bekerja, meninggalkan bosnya seorang diri. "Siapa yang melindungimu, gadis manis? Padahal kau hanya seorang diri di negara ini," gumam seseorang yang sedang duduk di kursi kebesaran. Ia memijat dahinya. Informasi yang ia dapat anak buahnya tidak salah, 'kan? "Bagaimana hasilnya?" "Dia adalah Cassie Adams, anak dari pasangan Jamie dan Inggrid Adams. Keduanya merupakan pegawai swasta. Pada saat usia Cassie delapan tahun ia harus menjadi yatim piatu, karena kedua orangtuanya tewas dalam kecelakaan tunggal setelah pulang bekerja. Jalanan licin ditambah supir yang mengantuklah yang menjadi penyebabnya. Karena tak memiliki kerabat, setelah kejadian itu, Cassie tinggal bersama seorang nenek yang merupakan tetangganya. Satu tahun lalu, nenek itu pun meninggal dunia. Saat ini, ia tinggal di apartemen seorang diri sambil bekerja sebagai seorang dokter," papar orang suruhannya. "Lantas hubungannya dengan Mason?" "Pekerja rumah sakit bilang mereka tak tahu status Cassie dan Mason seperti apa. Ada yang bilang mereka sepasang kekasih. Ada yang bilang mereka hanya sahabat. Bahkan ada juga yang mengatakan mereka adalah mantan kekasih yang sedang berusaha memperbaiki hubungan demi Aslan, putra mereka. Entahlah, yang jelas hampir setiap hari Mason selalu menyambangi Cassie di saat makan siang bersama putra mereka. Kentara sekali jika Cassie adalah sosok berharga bagi pria itu." Kembali ke masa kini, pria itu lantas mengalihkan pandangannya pada foto lain yang ada di tangannya yang lain. "Tenang, Sayang, nyawamu akan terbalas dengan nyawanya. Aku tidak akan lupa atas apa yang sudah menimpamu," tambahnya dengan seringai mengerikan sambil mengecup foto yang ada di tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD