Part 5

1635 Words
"Empat hari lagi. Aku akan menunggumu sampai empat hari lagi. Setelah itu, jangan salahkan aku atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua karenamu. Jadi jangan salahkan aku. Jangan pernah. Karena aku tidak suka dengan orang yang telah melanggar janjinya. Kau telah membakar habis kesabaranku. Kini air di tubuhku kian mengering dan akan benar-benar kering setelah empat hari yang akan datang. Datanglah dan sirami aku lagi. Jangan buat aku benar-benar kekeringan. Aku mohon," ucap Cassie sambil membuat tanda X di kalender. Itu adalah kebiasaannya setiap hari setelah ia bangun tidur. Cassie menarik napasnya dalam-dalam, kemudian pergi ke kamar mandi. Ia menenggelamkan dirinya dalam bathtub, memejamkan matanya lama sekali. Ia ingin menenangkan pikirannya. Apalagi kejadian tragis yang dilihatnya kemarin malam masih teringat di pikirannya. Sesekali ia membuka matanya, duduk tegak dengan napas seperti tersengal-sengal. Ia masih hidup. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya mati dalam kecelakaan itu. Tidak ... ia tidak boleh mati. Setidaknya ia harus tetap hidup sampai empat hari ke depan. Sesekali ia memejamkan matanya lagi, merasakan air hangat dan aroma bunga mawar dan jeruk yang menggenang di bak, mengulas senyum seraya bergumam dua hari lagi. Entah kenapa ia suka berhitung akhir-akhir ini? Setelah ritual paginya selesai, Cassie langsung pergi ke rumah sakit dengan menggunakan bis. Ya bis. Ia menggunakan bis bukan karena kebiasaannya yang senang hidup sederhana yang ia tampakan sedari dulu. Bukan karena kesederhanaan yang dulu Danies kagumi padahal Cassie dengan mudah bisa pergi dengan mobil mewah seharga jutaan dollar dan ditemani seorang supir. Bukan karena itu, melainkan ia tidak boleh sendiri. Ia hanya diizinkan sesekali naik taksi. Siapa yang menyuruhnya? Siapalagi kalau bukan orang yang sama dengan orang yang telah membuangnya ke negeri kangguru itu. Selama ini Cassie mungkin bisa tersenyum di depan pasien-pasiennya, tapi tidak dengan keadaan di dalamnya. Ia tak lebih dari sekadar boneka yang sudah diatur hidupnya yang boleh dikatakan tanpa ia memilih sebelumnya. Selama ini Cassie dibuang atau diasingkan. Ah ... keduanya sama saja baginya. Entah karena alasan apa, tempat tinggalnya, pekerjaannya, apa yang boleh ia lakukan dan apa yang tidak boleh ia lakukan semuanya sudah diatur. Gadis itu hanya bisa menjalani skenario yang sudah disiapkan sang sutradara sebelumnya. Beruntung ada Mason yang mengisi hari-harinya. Pria yang selalu memberi hadiah manis di meja kerja Cassie setiap pagi. Pria yang selalu ada untuknya, yang selalu membuatnya tersenyum, yang selalu perhatian padanya, yang selalu mencintainya tanpa ada luntur sedikit pun dan pria yang kini telah menjadikannya ibu dari seorang anak.   ***   Seperti biasa Cassie selalu menemukan hadiah di atas meja kerjanya. Setiap Senin sampai Jumat, Mason selalu menaruh hadiah untuk Cassie sebelum Mason berangkat kerja. Sedangkan Sabtu dan Minggu, Mason beri langsung saat Cassie ke rumahnya. Kali ini Cassie melihat ada dua hadiah di atas mejanya. Tidak seperti biasanya. Kini ada kotak kecil berisi sebuah siluet yang tak lain adalah siluet dirinya dan juga bunga mawar. Diambil dan diciumnya bunga mawar itu. "Siluetnya indah, tapi mengapa kau memberiku mawar seburuk ini," gumam Cassie sambil berdecak kesal. Itu bukan bunga mawar putih kesukaannya atau bunga mawar dengan warna indah lainnya. Itu adalah bunga mawar merah. Bukan merah cerah, tapi merah kehitaman dan nyaris sekali hitam. Siap untuk pergi? Itu adalah kata-kata yang ada di kartu ucapan yang menempel di setangkai mawar itu. Cassie tersipu ketika membaca kartu itu. Mason mengajaknya pergi, pikirnya. Namun, sepertinya ia terlalu bingung ke mana kali ini pria itu akan mengajaknya pergi. Selama ini, Mason sudah mengajaknya mengelilingi beberapa negara di Australia. Rasanya kali ini sangat aneh mengingat pernyataan Mason malam itu kalau ia akan melupakannya. Gadis itu pikir mungkin Mason tidak akan mengiriminya hadiah lagi. Tapi nyatanya, saat ini pria itu justru memberinya dua hadiah sekaligus. Tunggu, tiga hadiah sekaligus. Mason mengajaknya pergi, bukan? Mungkin kali ini pria itu akan meminta maaf dan memulai segalanya seperti mereka kuliah dulu. Itulah yang bisa ia pikirkan.   ***   Jam pulang pun tiba. Namun, hari ini Mason tidak menemaninya makan siang. Ia hanya menitipkan makan siang pada petugas rumah sakit. Sebenarnya Mason bekerja di perusahaan keluarganya. Dialah CEOnya, karena itu ia bisa dengan mudah menemani Cassie makan siang atau mengajak Cassie pergi. "Mommy!" teriak Aslan ketika Cassie sudah keluar dari ruangannya, berhambur ke pelukan sang ibu. Seketika Cassie pun memeluknya erat dan menggendongnya. "Kau suka hadiah yang aku beri?" tanya Mason. "Ya," jawab Cassie walau sebenarnya ia kecewa dengan bunga mawarnya. Tapi ia tidak ingin mematahkan Mason yang sudah baik padanya. Mereka pun pergi meninggalkan rumah sakit, tanpa Mason memasuki ruangan Cassie terlebih dahulu, karena Cassie sudah berada di luar ruangannya saat Mason dan Aslan datang. Kali ini Mason mengajak Cassie ke sebuah taman. Ada banyak balon di sana, tepatnya sebuah pesta. Namun, bukan untuk Cassie. "Hai, Cassie. Hai, Aslan. Hai, Mason. Aku senang kau datang," sapa seorang gadis kecil yang sudah memakai gaun cantik. "Hai, Gabriela. Selamat ulang tahun," ujar Mason sambil memberikan dua bungkus kado. Cassie melirik Mason dengan kesal. Ini pesta ulang tahun salah satu anak di yayasan kanker. Ia adalah Gabriela. Gadis kecil yang terkena kanker hati. "Terima kasih. Ayo Aslan kita bermain," ajak Gabriela sambil menuntun tangan Aslan yang mungil. "Kenapa kau tidak mengatakan kalau ternyata kau mengajakku ke pesta ulang tahun? Aku belum membeli kado untuknya," gerutu Cassie ketika kini Gabriela dan Aslan sudah hilang dari pandangannya. "Aku sudah membelinya. Kau tidak lihat tadi aku memberi Gabby dua kado? Satu dariku dan satu darimu. Seharusnya kau berterima kasih, bukan menatapku dengan tatapan mengintimidasi seperti itu," balas Mason sambil mengerucutkan bibirnya, serta menyilangkan kedua tangannya di d**a. "Kau menyebalkan. Hari ini kau sukses membuatku kesal untuk yang kedua kalinya," ujar Cassie sambil mengepalkan tangannya. "Dua kali?" tanya Mason bingung. "Sudah lupakan saja. Aku tidak mau membahasnya," jawab Cassie. Mason mencubit hidung Cassie. "Kau menggemaskan. Maafkan aku, ya. Aku pikir dengan tidak memberitahumu akan membuatmu senang. Kau terlihat banyak pikiran akhir-akhir ini," ujarnya sambil tersenyum lalu menjewer kedua telinganya. "Benarkah?" tanya Cassie. Mason mengangguk sebagai balasan. Cassie mulai berpikir, akhir-akhir ini hidupnya terasa berat. Banyak kejadian-kejadian aneh menimpa dirinya dan banyak yang menguji kesabaran hatinya. Dalam satu bulan ini Cassie merasa ada yang mengikutinya. Tak hanya itu, ia pun mengalami kejadian-kejadian mengerikan di depannya. Tertabraknya seseorang karena menyelamatkannya di tengah jalan saat Cassie hendak menyebrang, tertembaknya seseorang di kerumunan halte, perampokan dan penculikannya di dalam taksi. Namun, beruntung ada seseorang yang lewat dan menghentikan aksi si supir taksi, kecelakaan mobil kemarin malam, dan masih banyak kejadian mengerikan lainnya. Tak hanya itu, anak-anak di yayasan yang terus bertanya tentang ASI, orang-orang yang membicarakan hubungannya dengan Mason, serta tatapan-tatapan tajam ketika ia pergi ke restoran, supermarket, atau tempat lainnya juga telah menguji kesabarannya. Mungkin itu semua yang telah mengganggu pikirannya akhir-akhir ini, hingga membuatnya menjadi mudah naik darah. "Kenapa kalian masih di sini?" tanya seorang anak kemudian menarik tangan Mason dan Cassie. Mason dan Cassie pun ikut larut dalam pesta ulang tahun itu. Pestanya sederhana. Namun, tetap menyenangkan. Hanya anak-anak di yayasan dan beberapa kerabat Gabriela yang datang.   ***   Setelah membagikan kue, Gabriela membagikan sebuah souvenir berupa botol harapan. Di dalam botol itu kita bisa menyimpan beberapa carik kertas yang berisi tentang keinginan atau rahasia kita. "Mana untukku?" tanya Mason sambil menengadahkan sebelah tangannya. "Sudah habis. Maaf, ya!" balas Gabriela terlihat sedih. "Sayang sekali, kau sedang tidak beruntung," celetuk Cassie sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa diduga, Mason segera merampas botol harapan milik Cassie. "Mase, serahkan milikku!" teriak Cassie. Namun, Mason malah berlari mengerjai Cassie. Cassie pun berlari mengejar Mason. Namun, tiba-tiba dia berhenti. Menyilangkan kedua tangannya di d**a lalu mengerucutkan bibirnya. "Ya sudah, untukmu saja. Aku akan membelinya sendiri," gerutunya kesal. "Ini," ujar Mason sambil menyerahkan botol harapan itu. Namun, saat wajah Cassie mulai tersenyum dan hendak meraih botol harapannya lagi, Mason malah menariknya lagi. "Mason!" teriak Cassie berdecak kesal. "Ambil saja sendiri," ujar Mason sambil mengangkat tangannya yang sedang menggenggam botol harapan tadi ke atas. Cassie melompat-lompat, mencoba meraih botol harapannya kembali. Namun, Mason malah tertawa geli melihat Cassie, membuatnya semakin ingin mengerjai gadis itu. "Dapat," celetuk Cassie kegirangan, karena telah berhasil meraih botol itu. Ia pun kembali berjalan meninggalkan Mason. "Itu milikku," ujar Mason berlari dan memeluk Cassie dengan tangan yang menggapai-gapai mencoba meraih botol yang gadis itu pegang. Seketika Cassie semakin merekatkan pegangan botol itu, tak membiarkan Mason bisa meraihnya. "Ayolah, Cassie. Kemarikan," pinta Mason. Namun, Cassie tersenyum dan menggeleng. Gemas akan sikap Cassie, Mason mengangkat tubuh gadis itu lalu memutar-mutarnya, membuat gadis itu refleks melingkarkan kedua tangannya di leher Mason. "Hentikan, Mason, kepalaku pusing. Kau seperti anak kecil saja. Ya sudah itu untukmu," ujar Cassie dengan mimik wajah kesalnya. "Yes, terima kasih, Cantik," ujar Mason sambil menurunkan Cassie. Semburat rona kemerahan menghias kedua pipi putih Cassie, karena Mason memujinya cantik. Untuk beberapa detik ia membeku. Namun, detik selanjutnya pipinya semakin merah. Merah karena malu saat ini anak-anak memandanginya sambil tertawa. "Ini untukmu, Cassie," ujar Gabriela sambil memberi botol harapan baru. "Kau bilang sudah habis," ujar Cassie bingung sambil mengangkat alisnya. "Sebenarnya masih ada, tapi Mason yang menyuruhku," balas Gabriela. "Mason!" teriak Cassie sambil memukul-mukul lengan Mason. "Jadi, kau mengerjaiku?" tanyanya geram. "Maaf. Habis, dari tadi kami melihatmu murung sekali. Ini pesta, seharusnya kau menikmatinya," jawab Mason sambil menjewer kedua telinganya. "Ayo, tersenyum. Bukankah aku sudah memberikan yang kau mau?" perintah Mason ketika melihat wajah Cassie yang cemberut. "Apa?" tanya Cassie bingung atas pernyataan Mason. "Untuk melupakanmu dan menanti wanita lain," bisik Mason di telinga Cassie. Deg! Cassie mematung. Seharusnya ia senang, tapi ada perasaan aneh yang menggelayar di tubuhnya. Seperti ada yang menyayat hatinya secara perlahan. Hatinya seolah menolak. Hatinya menginginkan Mason tetap mencintainya. Aneh. Itu aneh. Seharusnya Cassie tidak memiliki perasaan itu. Apa yang kau pikirkan, Cassie. Kau sudah menjadi milik orang lain. Perasaanmu ini salah. Salah. Kau tidak boleh memiliki perasaan seperti itu, batin Cassie. Tidak. Aku bukan milik orang lain. Aku belum menjadi miliknya seutuhnya. Salah. Ini memang salah. Dan orang yang harus disalahkan adalah dirinya, bukan dengan diriku, batinnya berbicara lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD