Part 6

3349 Words
Cassie segera membuat langkah seribu saat kakinya sampai di mansion Mason. Wajah cantiknya tergores kekhawatiran yang mendalam. Bagaimana tidak? Tadi Nancy mengatakan kalau pria beriris shappire blue itu jatuh pingsan saat hendak berangkat kerja. Hal itu sontak membuat dokter muda itu menyuruh supir taksi yang akan mengantarnya ke rumah sakit berbelok arah menuju rumah sang pengusaha muda itu. “Nancy,” lirih Cassie sesampainya di kamar Mason. Dilihatnya ayah dari Aslan itu masih berbaring dengan mata terpejam dan handuk kecil yang berbaring nyaman di dahinya. Nancy beranjak, lantas wanita paruh baya itu menatap ke arah ibu dari Aslan. “Nyonya, sahutnya. Melihat kedatangan sang ibu, si kecil Aslan pun merentangkan kedua tangan meminta digendong sang ibu. Namun, Cassie hanya mengusap kepala dan meninggalkan kecupan di dahinya. “Mommy … hiks … Daddy,” adunya seraya memperlihatkan jejak basah di wajahnya yang memerah. “Sebentar, Sayang, Mommy periksa Daddy dulu.” Cassie mencoba memberi putranya pengertian. Setelah itu, ia lantas duduk di pinggir ranjang, tepatnya di samping Mason sambil mengeluarkan beberapa peralatan medisnya. Jemari lentiknya dengan piaway melaksanakan tugasnya sebagai dokter. Sesekali ia meringis saat punggung tangannya merasakan suhu panas yang menguar dari dari Mason. “Bagaimana keadaannya, Nyonya?” Gurat khawatir turut tercetak di wajah Nancy. Bagaimanapun, Mason bukan sekadar majikan, tetapi sosok yang sudah ia anggap seperti putranya sendiri. “Kondisinya drop. Mungkin ia terlalu kelelahan bekerja. Jangan khawatir, sebentar lagi dia akan siuman,” terang Cassie, lantas mengambil alih Aslan untuk dipangkunya. “Ayahmu ini … benar-benar gila kerja,” ucapnya seraya mengembuskan napas panjang dan menyeka jejak basah di pipi sang putra. Nancy tertawa kecil. “Semua itu Tuan lakukan demi Tuan Muda dan juga Anda, Nyonya.” Untuknya? Itu sedikit terdengar lucu. Pasalnya, Cassie bukanlah siapa-siapa dalam hidup Mason. Namun begitu, entah mengapa ucapan Nancy sedikit menyentil hati Cassie. Bagaimanapun selama ini pria itu sering mengiriminya hadiah dan makanan. “Mom ….” Panggilan Aslan membuat Cassie tersentak. “Ya, Baby?” tanya Cassie sambil menatap wajah Aslan yang terkantuk-kantuk. Mungkin bayi tampan itu terlalu lelah menangis. Aslan mengulurkan jari telunjuknya ke arah Mason. “Tidur.” Cassie mengusap surai kecoklatan putranya. “Baiklah, kita ke kamarmu ya.” Aslan menggeleng. “Daddy … hiks … tidur sama Daddy,” ucapnya cadel. Ingin sebenarnya Cassie melarang, tetapi melihat sang putra yang terus merengek, mau tidak mau ia pun membaringkan Aslan di sebelah Mason. Dilihatnya, putra kecilnya itu langsung saja memeluk tubuh sambil membenamkan wajahnya di lengan ayahnya. Kentara sekali anak itu begitu menyayangi Mason. “Emm … Anda, tidak bekerja?” Ragu-ragu Nancy bertanya. “Hiks … Mommy jangan pergi.” Belum juga Cassie menjawab, si kecil Aslan sudah menginterupsi. Bayi tampan itu memutar tubuh, melepaskan pelukannya pada sang ayah dan berbalik memeluk Cassie erat dengan mata terpejam. Cassie menghela napas. “Sepertinya hari ini saya akan izin pada pihak rumah sakit. Lagi pula, saya tidak mungkin meninggalkan Mason dalam kondisi seperti ini.” Nancy mengangguk. Wanita paruh baya itu kemudian pamit, meninggalkan keluarga kecil yang terlihat harmonis, meski nyatanya tak seperti itu. Kadang ia merasa iba pada tuannya, karena cinta bertepuk sebelah tangan. Ia hanya berharap semoga suatu saat hati nyonyanya terketuk. “Mom, sini tidur, peluk Aslan,” pinta Aslan, membuat Cassie pasrah berbaring di sebelah pria kecil itu dengan tangan yang mengusap-usap punggung kecil putranya, sementara matanya fokus pada Mason yang masih belum siuman. *** Sendok berisi bubur itu masih menggantung di udara, sementara Cassie berdecak melihat tingkah laku orang dewasa di depannya yang justru terlihat seperti anak-anak. "Ayolah, Mase, tinggal beberapa suap lagi," bujuk Cassie. Namun, Mason tak kunjung juga membuka mulut. Tangan pria itu bahkan membekap erat mulut. Melihat hal itu, Cassie tersenyum licik, lantas menggelitik pinggang Mason hingga membuat pria itu menggeliat geli. "Hentikan! Oh, ayolah, itu tidak enak. Rasanya hambar dan pahit," ucap Mason seraya menahan tangan Cassie yang terus menggelitik. "Huh, kau menghina bubur buatanku? Kurang ajar sekali. Ini itu enak. Aslan bahkan sudah habis dua mangkuk. Betul begitu, my prince?" Pandangan mata Cassie terarah pada putranya. Namun, rupanya ia takkan mendapat jawaban, karena diam-diam malaikat kecil itu sudah terkapar di atas karpet sambil mengemut ibu jarinya. Sungguh menggemaskan. Mason berdecak. "Lihatlah, buburmu membuat Aslan pingsan." Dalam hati lantas ia berkata, Kalau saja kau menyuapiku dengan bibirmu, pasti bubur ini akan terasa manis dan sepertinya aku pun akan pingsan karena terlampau bahagia. Cassie refleks memukul bahu Mason, sehingga pria itu mengaduh. "Dia itu bukan pingsan, tetapi tidur karena kekenyangan. Lihatlah, wajah damainya. Pasti dia sedang mimpi indah, karena cita rasa buburku yang enak ini," belanya. "Hei, apa hubungannya bubur dengan mimpi?" tanya Mason, membuat Cassie mencebikkan bibirnya. "Diam! Pokoknya, kau harus menghabiskan bubur ini. Kalau tidak, aku akan menyuntikkanmu obat tidur selamanya," ancam Cassie seraya menyodorkan sendok di depan mulut Mason. Mason mengernyit. "Kau mengancamku?" "Tidak. Aku serius," sahut Cassie. Mason berdecak. "Kejamnya .... Apa kau tidak memikirkan bagaimana Aslan jika aku tidur selamanya?" Cassie menggeleng cepat, membuat Mason terus berdecak. "Kau tenang saja, Aslan akan mendapat ayah baru yang lebih tampan, lebih baik, lebih kaya, lebih hebat, lebih pintar, leb---" Kata-kata itu terpotong saat Mason dengan terpaksa melahap bubur itu, bahkan pria itu mengambil alih mangkuk yang berada di pegangan Cassie. Tak sampai lima menit, bubur itu pun tandas. "Minum, minum, minum," pinta Mason dengan ekspresi yang membuat Cassie terkekeh puas. Ibu Aslan pun segera menyodorkannya segelas air yang disimpan di nakas. Setelah air dalam gelas itu tak bersisa, ayah Aslan itu menghunus mata Cassie. "Tidak ada ayah baru untuk Aslan. Hanya aku yang pantas. Awas saja kalau kau berani mencari pria lain untuk menggeser posisiku. Akan aku patahkan tulang rusuknya." Cassie memutar kedua bola matanya. "Sebelum kau patahkan tulang rusuknya, sebaiknya kau minum obat dulu. Asal kau tahu, calon ayah baru Aslan itu sangat kuat. Tidak mungkin 'kan pria lemah sepertimu berhasil melawannya?" "Kau berkata seolah calon itu sudah ada saja. Memangnya, ada pria yang mau dengan gadis dingin yang menjengkelkan sepertimu selain aku?" ejek Mason dengan bibir yang menyeringai. Mulut Cassie terkatup rapat, air mukanya datar, dan langkah yang dilakukan gadis itu selanjutnya adalah turun dari ranjang, lalu menggendong Aslan. "Obatnya ada di nakas. Kalau kau tidak mau meminumnya, terserah," ucap Cassie dingin, kemudian menggiring kakinya keluar kamar, meninggalkan Mason yang diam terpaku. "Apa aku salah bicara?" tanya Mason pada dirinya sendiri. Sementara itu, di luar sana, pikiran Cassie berkutat dengan omongan Mason yang menyentil perasaannya. Apakah aku sejelek itu? batin Cassie bertanya. Apa karena alasan itu dia pergi meninggalkanku? tanya batinnya sekali lagi, membuat tanpa permisi sebulir cairan asin meluncur di pipinya. Hiks ... itu tidak benar, 'kan? Dia pasti kembali, 'kan? rintihnya pilu. Setelah membaringkan Aslan di ranjang, ia dengan cepat menyeka wajah, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya cepat. Ya, dia pasti kembali. Dia tidak mungkin mengingkari janjinya. Ia terus menyemangati dirinya sendiri. *** Esok hari menjelang dan Cassie masih setia mogok bicara pada Mason. Gadis itu hanya datang sesekali untuk memeriksa keadaannya. Ya, hanya periksa, karena untuk memberi makan dan obat, gadis itu menyuruh Nancy untuk melayani Mason. Di saat si kecil Aslan merengek meminta tidur bersama, gadis itu dengan cuek menulikan telinga. Hal itu membuat Mason garuk-garuk kepala. Ia sudah meminta maaf atas perkataan yang mungkin menyakiti Cassie. Namun, gadis itu hanya membalas dengan dehaman. "Oh ayolah, Cassie ... festivalnya sangat seru. Kau harus melihatnya. Bayi tampanku juga pasti menyukainya. Oh iya, jangan lupa salad saus kacang yang begitu menggugah selera." Krista terus menyerocos sambil membayangkan makanan favoritnya. Cassie mengernyit. "Bayi tampan? Kenapa kau tidak bilang kalau ternyata kau sudah punya anak?" Di tempat Krista berada, perawat cantik itu memutar bola mata beriris hijaunya yang memikat. "Tentu saja Aslan. Kau ini ada-ada saja. Bagaimana bisa aku memiliki anak kalau tidak ada pria yang menanamkan benihnya di rahimku?" "Tapi tadi kau mengatakan bayi tampanku, sedangkan Aslan adalah milikku," tukas Cassie. Kristal berdecak sebal. "Kau ini, posesif sekali. Bagiku 'kan Aslan sudah kuanggap sebagai anakku sendiri." Lalu Cassie mendengar ia menghela napas panjang. "Daripada berdebat, lebih baik kau siap-siap. Aku akan menjemputmu lima belas menit lagi," imbuhnya tak terbantahkan. "Aku benar-benar tidak bisa pergi, Kris. Mason belum pulih benar," ucap Cassie. Tanpa gadis itu sadari, Mason yang berniat mendatangi Cassie melengkungkan bibirnya. Ada bongkahan bahagia di hatinya. Ternyata, di balik sikap dingin Cassie, tersirat perhatian kepadanya. Mason mendorong pintu, kemudian masuk. "Pergilah. Aku sudah sehat." Krista memekik girang, sedangkan Cassie menatap Mason dengan mulut setengah terbuka---ingin menyanggah. Namun, pria itu menggelengkan kepala. "Yey! Sekarang kau sudah tidak ada alasan lagi, Dokter Cantik," tukas Krista. Akhirnya, ia yang berstatus single itu tidak akan gigit jari mengitari festival sendiri sambil melihat beberapa orang yang datang dengan pasangan. Huft ... sendiri itu tidak enak. Tahun lalu, Krista mengunjungi festival itu seorang diri sambil berharap di sana ia menemukan tambatan hati. Jodoh itu dicari, bukan dinanti---itulah mottonya. Namun, keberuntungan rupanya belum berpihak kepadanya. Akhirnya, setelah menghabiskan sepiring salad saus kacang alias gado-gado, ia pulang dengan hati yang mencelos. Kendati begitu, ia tidak menyerah. Tahun ini ia akan kembali mencari peruntungannya. Siapa tahu saja ada turis Indonesia yang jatuh pada pesona kecantikannya. Yang ia dengar, orang-orang Indonesia itu terkenal ramah, rendah hati, setia, dan yang paling utama sesuai prinsipnya, yaitu penganut s*x after marriage. So, tidak salah 'kan jika ia menjalin hubungan dengan pria berkulit eksotis sana? Ia sudah lelah merasakan patah hati ketika hubungan percintaanya harus kandas, karena ia selalu menolak setiap mantan kekasihnya yang meminta bercinta. "Tap---" Belum juga satu kata selesai diucapkan, Krista sudah memotongnya. "Tapi apa, Cassie? Bukankah Mason sudah mengizinkannya?" tanya Krista dengan nada kesal. "Atau jangan-jangan kau hanya menjadikan kesehatan Mason sebagai alasan agar kau bisa menghabiskan waktu dengannya? Emm ... jangan bilang kau berencana membuat adik untuk Aslan?" "Hei ... tutup mulutmu!" geram Cassie. Ia tidak habis pikir, mengapa momen membuat adik Aslan itu terus saja menerornya? Sementara itu, Mason yang baru saja duduk di sisi ranjang sambil menepuk  b****g malaikat kecilnya, menautkan kedua alisnya sambil menatap wajah Cassie. Dilihatnya semburat merah jambu mewarnai pipi wanita itu. Krista tergelak. "Ok, ok, Mommy .... Aku hanya bercanda." Ia lantas mengembuskan napas, menstabilkan deru napasnya. "Baiklah, segera siap-siap. Aku tidak mau menunggumu berdandan, karena yang namanya menunggu melelahkan, apalagi menunggu yang tak pasti. Ouch ... bikin sakit hati." "Oh Tuhan ... Krista ... berhentilah meracau," kesal Cassie. Sahabatnya yang satu ini benar-benar membuat tekanan darahnya naik. Ia berharap semoga Tuhan segera memberikan sahabatnya itu pasangan hidup agar tak berakhir mengenaskan seperti ini. "Ok, aku akan bersiap-siap," pungkasnya menutup panggilan sambil mengusap-usap telinga akibat pekikan riang Krista yang hampir memecahkan gendang telinga. "Ngomong-ngomong, kau mau pergi ke mana?" tanya Mason, membuat Cassie menoleh kepadanya. "Krista mengajakku dan Aslan pergi ke Indofest," jawab Cassie. "Itu tujuan yang tepat. Aslan pun pasti suka. Di sana kau akan menemukan kekayaan Indonesia. Sangat menyenangkan. Kalau saja aku sehat, aku pasti akan ikut dengan kalian," Mason berkata lembut, takut membuat Cassie terluka kembali atas ucapannya. "Hmm ... begitu ya?" Cassie tampak manggut-manggut. "Tapi, bagaimana dirimu?" Mason mengukir senyum tipis. "Aku sudah mendingan. Tinggal istirahat yang cukup, pasti aku segera sehat. Lagi pula ada Nancy yang akan merawatku." "Baiklah ...." Setelah mengucapkan itu, Cassie segera membangunkan Aslan. Beruntung, anak itu tidak rewel saat dibangunkan. Setelah memandikan dan mendandani sang putra hingga tampak tampan, kini gilirannya berhias. Tak terlalu ribet, bahkan wajahnya hanya dipoles natural. *** "Mom ... Mom ... brem-brem," beri tahu Aslan kala mata biru safirnya menangkap ratusan kendaraan yang sudah terparkir memadati taman. Pekikan tak sabar pun terdengar saat mereka sudah memasuki arena. Wajar saja, ini adalah festival yang cukup bergengsi. Ribuan orang turun ke Victoria Square pada hari Minggu 28 April 2019 dalam tampilan warna dan budaya yang semarak ketika festival tahunan Indofest-Adelaide yang memenangkan penghargaan menjadi hidup dengan pemandangan dinamis, suara, dan citarasa memikat yang akan membawa Indonesia ke jantung Kota Adelaide di Victoria Square/Tarntanyagga. Merayakan tahun kesebelas di Adelaide, Indofest-Adelaide adalah festival Indonesia terbesar di belahan bumi Selatan. Indofest-Adelaide adalah upaya kolaborasi yang mewakili semua kelompok masyarakat Indonesia  Australia Selatan dan disajikan oleh Asosiasi Australia-Indonesia Australia Selatan (AIASA) nirlaba. Tim Program Indofest-Adelaide, Juliana Christina, Berry J Luqman dan Amalia Sosrodiredjo, menggambarkan Indofest-Adelaide tahunan sebagai kesempatan untuk menampilkan kekayaan budaya yang mewakili bukan hanya Indonesia sebagai salah satu negara dengan budaya paling beragam di dunia, tetapi juga keanekaragaman dan kedalaman talenta komunitas Indonesia kita sendiri di Adelaide. Dengan Indofest-Adelaide 2019, mereka akan menghadirkan yang terbaik dari musik, tarian, seni, tradisi Indonesia, dan, tentu saja, masakan ke pusat kota kami untuk merayakan semua hal Indonesia. Selama lebih dari satu dekade Indofest-Adelaide telah memainkan peran penting dalam membawa pemahaman yang lebih dalam tentang budaya Indonesia kepada masyarakat Adelaide, bahkan pada tahun 2017, Indofest telah memenangkan Penghargaan Multikultural Gubernur Australia Selatan. Acara yang saat itu berlangsung pada 1 Oktober 2017 mengusung tema Kampung Indonesia yang mengangkat keberagaman Indonesia namun tetap satu atau yang dikenal Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, ada Wonderful Indonesia yang dihadirkan dalam bentuk paviliun beberapa daerah kampung Indonesia yang bertujuan untuk memasarkan destinasi wisata. Berkat sponsor acara, termasuk Kota Adelaide, Urusan Multikultural Departemen Premier dan Kabinet, dan Jembatan Mitra Pendidikan Flinders University, acara ini akan mengubah hati Adelaide dengan semua yang terbaik yang ditawarkan Indonesia. "Bukankah ini mengagumkan?" ujar Krista, Cassie pun mengangguk. "Mommy, turun," pinta Aslan sambil menggeliatkan badan dan memeluk mobil kesayangannya. Manik-manik bayi berusia dua puluh bulan itu bersinar terang. Cassie tidak langsung menurunkan putranya. Ia tatap iris biru safir itu lekat-lekat. "Ini tempat ramai, kau tidak boleh berlari ke sana kemari, nanti kau bisa hilang. Sebaiknya kau Mommy gendong." Aslan mengerucutkan bibir kecilnya, kedua alisnya saling bersatu. Benar-benar menggemaskan. "Tidak, Mommy. Hiks ... turun." Bayi itu mulai mengeluarkan jurus ampuhnya---menangis. "Sudahlah, Cassie, biarkan saja. Nanti kita tuntun. Kasihan pangeran tampanku," sela Krista dengan tatapan yang beredar mencari mangsa. Oh Tuhan, berilah aku tanda akan jodohku, batinnya. Cassie mulai bimbang, sedangkan tangisan Aslan terdengar semakin keras. Mengembuskan napas kasar, akhirnya ia mengangguk. Baiklah, kau menang, tapi berjanjilah jangan lari-lari. Mengerti?" tanyanya seraya mengulurkan jari kelingking. "Janji," cicit Aslan seraya mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking ibunya. Satu jam pertama Aslan masih menggenggam janjinya. Meski seringkali ia ingin berlari, melepaskan genggaman tangan ibunya, karena menangkap objek yang membuat ia penasaran, kakinya tiba-tiba memaku. Ucapan ibunya terngiang, ia tidak ingin hilang. Cassie menahan saluran kencingnya yang terasa penuh. "Krista, bisakah kau menjaga Aslan sebentar? Aku ingin ke toilet dulu." Krista berdecak pongah. "Kau tenang saja. Putramu takkan lecet sedikit pun dalam pengawasanku." Cassie mengangguk, lalu membungkukkan tubuhnya ke hadapan Aslan. "Mommy mau ke toilet dulu. Kau, jangan ke mana-mana. Tetap bersama Aunty Krista, okay?" Setelah mendapat respons berupa anggukan dari sang putra, ia pun bergegas mencari toilet terdekat. Beberapa menit berlalu, tetapi Cassie belum juga menunjukkan batang hidungnya.  "Sayang, sebaiknya kita duduk saja di sana sambil menunggu ibumu," ucap Krista sambil menunjuk tempat lesehan yang kosong, kemudian mendudukkan Aslan di atas rumput hijau itu. "Nah, bermainlah di sini. Ingat, jangan ke mana-mana. Bisa-bisa leherku diputus ayah-ibumu kalau sampai kau hilang."  Aslan mengangguk seakan mengerti. Ia lantas memilih memaju-mundurkan mobil mainannya sambil sesekali diawasi Krista. "Hai, boleh aku duduk di sini?" Suara bariton seorang pria menarik perhatian Krista. Leher Krista setengah berputar ke arah kiri, kemudian ditatapnya seorang pria tampan berrambut hitam legam dengan iris coklat gelap serta kulit sedikit kecoklatan. Oh Tuhan ... apa kau baru saja mengabulkan doaku? Pria asing itu benar-benar membuat Krista terpaku, karena ketampanannya, apalagi kala pria itu mulai mengajaknya berkenalan. Ia seperti mendapat angin segar di tengah panasnya gurun pasir. Tak hanya itu, ia larut dalam obrolan ringan bersama pria yang ia tahu bernama Dagmar Patch, seorang campuran Indonesia-Australia. Ia lupa diri sampai kemudian ia mendengar tangis seorang anak. "Oh astaga!" seru Dagmar, membuat Krista menoleh ke belakang mengikuti tatapan bulat pria itu. "Aslan!" pekik Krista bersama seorang wanita lain saat melihat Aslan terduduk sambil menangis di tengah kerumunan orang. Refleks, Krista dan Dagmar berlari ke arah Aslan. "Mommy ... hiks ... sakit ...," isak Aslan cadel dalam gendongan wanita asing. Krista segera meraih Aslan, lalu menghujaninya dengan kecupan. "Ya Tuhan, maafkan Aunty, Sayang." Cassie yang sedari tadi mondar-mandir mencari Aslan dan Krista menarik langkah seribu saat kedua netranya menemukan sosok yang dicari. "Aslan," lirih Cassie saat membawa Aslan ke dalam gendongannya. "Mommy ... hiks ... sakit," adu Aslan seraya memperlihatkan jari-jari kecilnya yang merah akibat terinjak orang saat ingin mengambil mobil-mobilannya yang menggelinding jauh. Sementara si pelaku malah berlalu tak tanggung jawab. Telapak tangan kanan Cassie mendarat di depan mulutnya dan pupilnya membesar seiring matanya yang membulat sempurna. Diciuminya jari-jari kecil itu seiring laju bulir-bulir bening yang jatuh dari pelupuk matanya. "Hiks ... maafkan, Mommy, Sayang. Maafkan, Mommy." "Dasar w************n tidak tahu diri! Aku heran, kenapa Mason mau menanamkan benihnya pada wanita tidak becus sepertimu. Sebenarnya, apa sih maumu? Setelah kau tinggalkan anak itu bersama Mason, lalu kini kau kembali seolah-olah menjadi ibu yang baik hati. Nyatanya, lihatlah, anak itu terluka karena kelalaianmu. Kenapa, huh?! Apa tubuhmu sudah tidak laku lagi, hingga kau mendekati Mason kembali?" Wanita asing itu merogoh gawai di saku tasnya. "Aku harus menelepon Mason. Bisa-bisanya ia tertipu oleh jalang sepertimu." Sebelum panggilan itu tersambung, Krista dengan gerakan secepat kilat merebut gawai wanita itu. "Heh! Apa aku tidak salah dengar? Sebaiknya Anda mengaca, Nona. Di sini, siapa yang pantas disebut jalang? Jangan asal tuduh, ya. Enak saja mengatai sahabatku. Apa kau mau aku jejali mulutmu dengan saus gado-gado level seratus, huh?!" cecarnya dengan mata berkilat tajam. "Kris, sudah," lirih Cassie mencoba menenangkan sahabatnya. Namun, kobaran api di hati sahabatnya semakin membesar. Ia lantas menatap wanita asing itu. "Aku memang bukan ibu yang baik. Terima kasih telah memperingatkanku. Silakan jika kau mau mengadu kepada Mason," ucapnya santai sambil mengambil gawai wanita asing itu, lalu menyerahkannya. Wanita asing itu merebut gawainya dengan kasar, kemudian berlalu dari hadapan Cassie dengan wajah merah bak kepiting rebus. "Cassie, apa kau kenal nenek sihir itu? Dan kenapa kau membiarkan nenek sihir itu pergi? Tanganku gatal ingin menarik bulu mata palsunya," kesal Krista mengundang kekehan tertahan Dagmar. "Dia Miranda, sekretaris Mason. Sudahlah, tak usah memedulikan dia. Sejak dulu dia memang tidak menyukaiku. Sekarang aku tanya, kenapa kau membiarkan putraku terlantar?" Jleb ... kata-kata Cassie begitu telak menusuk relung hati Krista. "I---itu ... ma---af," cicit Krista terbata. "Maafkan kami, Nyonya. Kami tahu, kami lengah," Dagmar menimpali. Cassie mengernyit. "Siapa kau?" Dagmar mengulas senyum yang membuat ketampanannya semakin bertambah, kemudian mengulurkan tangan kanannya. "Perkenalkan, nama saya Dagmar Patch. Saya ... kekasih barunya Krista." Krista mengernyit menatap Dagmar. "Eh?" Pandangan kemudian beralih kepada Cassie. "Cass, itu ... itu ...." "Mom ... hiks ... es krim," celetuk Aslan menyelamatkan Krista. "Sudah, sudah, nanti saja penjelasannya," ucap Cassie seraya mengibaskan tangannya, membuat Krista terdiam patuh. Hari itu, hingga mentari semakin menggelincir ke ufuk Barat, baik Cassie, Krista, Dagmar, maupun si kecil Aslan habiskan untuk menikmati festival. Mulanya, Krista terus bergeming. Ia masih tidak menyangka jika doanya terkabulkan. Ia kita Dagmar akan il-feel saat melihat tingkah barbarnya. Namun, pria itu malah memberi kejutan  dengan pernyataannya. "Dia seperti pelangi yang datang secara tiba-tiba dan membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama." Itulah kata Dagmar saat Cassie mengintrogasinya. Mendengar berita bahagia itu, Cassie hanya berdoa yang terbaik untuk sahabatnya. Semoga saja kali ini pria itu benar-benar serius. Mengenai Mason, pria itu sudah mengetahui perihal Aslan. Miranda tak main-main dengan ucapannya. Namun begitu, Cassie bisa bernapas lega, karena setelah dijelaskan Mason tidak marah padanya. Pria itu justru mengizinkan ia berlama-lama di festival. Cassie benar-benar tidak menyangka acara begitu meriah. Sejujurnya ia tidak mengenal negara Indonesia. Ternyata Bali merupakan bagian negara itu. Tak hanya Bali, rupanya Indonesia menyimpan jutaan kekayaan daerah lainnya. Jika Krista menyukai gado-gado, ia kini menyukai sate---olahan daging yang dibakar di atas arang yang disiram dengan kecap dan saus kacang, serta acar. Makanan-makanan khas Indonesia sungguh membuat air liurnya menetes. Ia harus membawa pulang beberapa makanan itu untuk Nancy dan Mason. "Mommy ... Mommy ...." Si kecil Aslan yang berada dalam gendongan Cassie menunjuk ke d**a Cassie. Bukan karena meminta s**u, tetapi anak itu melihat ada sinar laser yang tepat mengarah jantung sang ibu. "Move! Move!" teriak seorang pria sambil mendorong tubuh Cassie. Dan sepersekian detik selanjutnya sebuah peluru terpental di atas rumput di mana tadi Cassie berdiri. Ya Tuhan, apa lagi? lirih batin Cassie dengan degup yang bertalu-talu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD