Part 7

2167 Words
Satu hari lagi. Satu hari lagi .... Cassie tersenyum-senyum sendiri sambil membuat tanda X di kalender. Entah apa yang dimaksudnya dengan satu hari lagi, tetapi itu adalah hal yang membuatnya tersenyum. Mengenai kejadian kemarin, bohong jika ia tidak memikirkannya. Namun, sedikitnya ia bisa tenang, karena tahu kalau ada yang melindunginya selama ini.  Apa salahnya? Itulah yang menjadi pertanyaan. Ia harap, setelah hari ini terlewati hidupnya bisa tenang bersama sang guardian-nya dulu. Boleh 'kan ia berharap? Namun, bagaimana jika guardian itu tetap berubah menjadi bastard? Berbeda dari yang sebelumnya, hari ini tanpa tahu malu Cassie memesan langsung hadiah yang akan Mason beri. Toh, jangan salahkan dia meminta hadiah. Kebiasaan berlebihan Masonlah yang sudah membuat Cassie terbiasa setiap pagi berbahagia akan hadiah-hadiahnya, walaupun hadiah itu tak selamanya mahal. Kadang Mason membuat sesuatu hasil karyanya. Padahal sewaktu kuliah dulu pria itu tidak setiap hari memberi Cassie hadiah, tetapi setelah di Australia, Mason menjadi semakin manis. Ya, sikap ayah Aslan itu memang manis ditambah hangat dan romantis bagai mentari yang melelehkan salju di musim dingin. Tidak serius seperti ... si pria terhormat. Tidak! Tidak lagi. Pria terhormat tidak akan meninggalkan, lalu membuang wanita begitu saja tanpa ada penjelasan. Gila, bukan? Dan karena cintanya, Cassie mau saja menerima kegilaan itu. Kalau ia bisa memilih, pastilah ia lebih memilih Mason sebagai belahan jiwanya. Sayangnya, ia sesulit itu berpaling. Benar-benar b***k cinta. Hari ini Cassie memesan makanan manis kesukaannya sebagai hadiah. Apa lagi kalau bukan Turkish Delight yang menurut Cassie aromanya seperti menempel di pikirannya. Dan dengan kekuasaan Mason, pagi-pagi buta makanan manis itu sudah sampai di tangannya.  Sesampainya di rumah sakit, Cassie membagikan potongan Turkish Delight itu kepada beberapa pasien dan beberapa dokter serta perawat yang ada. Tentunya dengan senyuman yang merekah. "Cass, apa kau baik-baik saja?" tanya Krista seraya memeriksa seluruh tubuh sahabatnya. Cassie memutar kedua bola matanya malas. "Menurutmu?" Sejenak Krista tampak mengamati. "Kurasa kau baik-baik saja," sahutnya. "Oh Tuhan, kukira kau akan dimutilasi oleh Mason, karena kejadian kemarin." "Mason bilang dia akan memutilasimu. Tunggu saja," ucap Cassie dingin, kemudian ia menyodorkan kotak manisan Turki itu. "Makanlah satu, selagi kau masih bisa bernapas." Mulut Krista menganga, kemudian gadis cantik itu bergidik ngeri. "Kau serius?" Melihat anggukkan sahabatnya, air mukanya mendadak pucat pasi. "K—kau bercanda, 'kan? Mason tidak mungkin melakukannya." Mulut Cassie terkunci, sedangkan tangan kanannya mengambil satu manisan lalu memasukkan ke dalam mulut Krista yang setengah terbuka. Setelah itu, ia berlalu dari hadapan sahabatnya tak peduli seruan sahabatnya. Kedua tangan Krista menahan lengan Cassie. Setelah manisan Turki itu tertelan, ia lalu berkata, "Ayolah, jangan menakut-nakutiku. Lagi pula aku yakin Mason tak mau dipenjara karena kasus mutilasi." Cassie memutar tubuhnya hingga menghadap Krista. "Kenapa? Kau takut mati dan berpisah dari Dagmar?" Krista melepaskan kedua tangannya dari lengan sahabatnya sambil setengah mendorong. "Ish ... kau ini," ucapnya dengan pipi semerah tomat, membuat Cassie tergelak. "Eh, aku masih penasaran dengan si nenek lampir. Bagaimana bisa Mason mempunyai sekretaris seperti jalang?" "Miranda adalah anak dari rekan kerja Mason. Seharusnya ia bisa tak perlu bekerja pada orang lain mengingat ayahnya juga seorang pengusaha. Namun ...." Cassie menggantungkan kalimatnya. "Namun apa?" serbu Krista. "Dia menyukai Mason, karena itulah ia meminta bekerja di perusahaan Mason. Dan karena ia memiliki kemampuan yang bagus, maka Mason mengangkatnya sebagai sekretaris," sahut Cassie. Sejenak ia menghela napas panjang. "Oh Tuhan ... dasar w************n," umpat Krista. Ia kemudian berpikir sejenak, tampak menimbang-nimbang. "Emm ... kau tidak khawatir kalau nanti Mason berpaling padanya?" Cassie berdecak. "Oh ayolah ... untuk apa aku khawatir. Kau tahu 'kan hubunganku dengannya seperti apa? Kita hanya sebatas orangtua bagi Aslan dan sepasang sahabat. Tidak lebih. Aku justru senang kalau dia mendapat belahan jiwanya. Ya, meski aku berharap gadis itu bukan Miranda. Mason pantas mendapat gadis baik-baik." Ia kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Kenapa tidak kau saja?" tanyanya sambil menyenggol lengan Krista. Krista mencebikkan bibirnya. "Aku tidak mau ya dengan pria yang hatinya terpaut pada wanita lain. Bisa mati karena tekanan batin nanti." Cassie tergelak. Inilah yang ia suka dari Krista. Sahabatnya itu ceplas-ceplos dan apa adanya. "Sudah, sudah, sebaiknya kita kembali bekerja," ucap Cassie. Jam demi jam berlaku, tak banyak pasien yang ditangani Cassie hari ini. Membuatnya hanya duduk di ruang kerjanya sambil memakan Turkishnya. Dan satu lagi, kesalahan Mason hari ini. Mason memberinya bunga krisan putih dengan kata-kata yang sama di kartu ucapannya, "Siap untuk pergi?" Tapi, tidak apa. Bukankah semua bunga itu indah? Mungkin Mason menginginkan suasana baru atau ia memang tidak mengerti akan arti dari bunga-bunga itu. Rose atau hortensia mungkin terlalu biasa.   ***   "Hai, Cantik," sapa Mason sambil membawa bekal makanan didampingi Aslan. "Berhentilah memanggilku seperti itu," pinta Cassie. "Ok, Mommy Cassie," balas Mason dengan sikap tangan hormat di atas alis. Cassie tersenyum kecut. Ia kesal? Jelas. Ia marah? Tentu. Ia sakit hati? Tepat sekali. Ia masih belum bisa jika Mason melupakan rasa cintanya padanya. Maksudnya, kenapa Mason bisa secepat itu, bukankah segalanya perlu proses? Pasti Mason berbohong soal kata-katanya, tapi apa peduli Cassie soal perasaan seseorang. Cassie harus peduli akan perasaannya sendiri. Perasaan yang ia serahkan untuk pertama kali dalam hidupnya untuk seseorang yang telah menyuntikan beberapa cairan pemicu jantung demi membangkitkan kehidupannya kembali. Kebaikan Mason memang banyak. Mason memanjanya dengan bunga-bunga dan kupu-kupu yang seolah bertebaran di perutnya, tapi ia juga tidak boleh lupa, ada seseorang yang telah memanjanya dengan perjuangan mengharapkan hidup kembali. Perjuangan yang tak bisa Mason berikan. "Ayo, kita makan," ajak Mason sambil membuka kedua kotak makanan. Cassie mengangguk, sebelah tangannya mulai menyuapi Aslan yang ada di pangkuannya, kemudian memasukkan makanan ke dalam mulutnya sendiri. "Aku iri jadi, Aslan," celetuk Mason dengan wajah yang murung. "Kenapa?" tanya Cassie bingung. "Dia selalu kau suapi, padahal dia sekarang sudah bisa makan sendiri," jawab Mason merajuk. "Kalau begitu, kau minta saja ibu peri agar kau kembali kecil," kata Cassie tertawa kecil. "Ibu peri ... di manakah kau, ibu peri? Aku ingin menjadi anak kecil yang dimanja Mommy Cassie," rengek Mason sambil melayangkan pandangannya ke sana kemari mencari ibu peri, membuat Cassie, bahkan Aslan pun tertawa. "Sepertinya ibu peri sudah berhasil menyihirmu," kata Cassie tertawa geli. "Benarkah?" tanya Mason dengan mata yang berbinar. Cassie mengangguk. Ia kemudian mengambil selembar tisu. "Sikapmu seperti anak-anak dan kau tidak bisa makan dengan benar," katanya sambil mengelap mulut Mason yang menyisakan makanan di sudut bibirnya. Merasakan perlakuan Cassie, Mason pun memegang tangan Cassie yang sedang mengelap bibirnya dengan tatapan penuh makna. Dalam hati Cassie bisa merasakan, Mason belum bisa melupakannya, karena yang gadis itu tahu, sangat mudah merasakan jatuh cinta. Namun, sulit untuk melupakan walau cinta itu sudah tersakiti. Brak! Dentuman yang terdengar keras saat daun pintu ruang kerja Cassie mengenai tembok setelah seseorang membuka pintu secara tiba-tiba, membuat Cassie yang sedang mengelap bibir Mason menghentikan segala aktivitasnya. "Maaf, aku mengganggu," ucap seseorang yang membuka pintu itu. Cassie mematung setelah ia terkesiap selama beberapa detik. Dilihatnya sebuket bunga hortensia biru dan mawar putih kesukaannya yang sudah jatuh di lantai. "Tunggu!" teriak Cassie sambil menurunkan Aslan, lalu mengejar seseorang itu. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mencekal tangannya. "Kau mau ke mana, Cassie?" tanya Mason. Cassie tak bergeming. Ia melepaskan cekalan tangan Mason, lalu menyusul orang itu. "Tunggu! Aku mohon tunggu. Berhentilah!" teriak Cassie sambil terus berlari.. Namun, seseorang itu terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan Cassie. "Aku mohon, berhentilah," lirih Cassie seraya menyeka air mata yang membasahi pipinya. Seseorang itu menghentikan langkah kakinya ketika mendengar suara Cassie yang semakin kecil penuh isakan. "Kenapa kau mengejarku, Cassie? Kembalilah kepada keluarga kecilmu." Seseorang itu tersenyum sinis. "Sungguh penyambutan yang sangat luar biasa," tambahnya. "Kau salah paham. Itu tidak seperti yang kau pikirkan," jawab Cassie. "Salah paham maksudmu?! Aku rasa tidak. Selamat, kau sudah menghancurkan penantianku," kekeh seseorang itu. "Tidak! Kau yang sudah membuatku menanti bagaikan orang bodoh di dunia ini," sanggah Cassie membela diri sambil air mata yang terus menetes di pipinya. "Kau sudah meninggalkanku dengan cara yang memalukan," tambahnya. "Aku tidak pernah meninggalkanmu. Apa aku pernah mengatakannya? Tentu tidak, bukan?" balas seseorang itu retoris. "Kaulah yang kini telah meninggalkanku dan berpaling kepada pria lain," tambahnya. "Cukup! Jangan membela diri. Berhentilah mengatakan seolah-olah aku yang salah. Kau yang telah menghancurkan hidupku. Kau yang telah meninggalkanku," sergah Cassie semakin lirih sambil menutup kedua telinganya. Pria itu melepaskan kedua tangan Cassie yang menutupi telinga gadis itu, memegang dagu gadis itu, kemudian mendongakkannya hingga kedua manik mata mereka saling bertemu. "Kau benar, aku yang meninggalkanmu. Sekarang aku akan benar-benar meninggalkanmu," lirih seseorang itu, kemudian mengecup dahi Cassie, tersenyum, lalu pergi. "Tidak. Kau tidak boleh pergi. Kau sudah berjanji kepadaku. Berhenti! Aku mohon berhenti!" teriak Cassie dengan histeris tak mempedulikan seisi rumah sakit yang menatapnya aneh.   ***   Tak mau kehilangan jejak seorang itu, Cassie terus membuat langkah cepat mengejar seseorang itu hingga ke luar rumah sakit. "Aku mohon berhenti!" teriak Cassie dengan langkah yang tergesa-gesa. "Aww!" pekiknya ketika tiba-tiba kakinya tidak sengaja masuk ke dalam sebuah jalan yang berlubang hingga membuat kakinya terkilir dan sulit untuk berdiri. "Cassie," ujar seseorang itu ketika mendengar Cassie kesakitan. "Tolong aku," pinta Cassie dengan derai air mata yang semakin deras. "Cassie, awas!!!" teriak seseorang itu sambil berlari ke arah Cassie, mendorong tubuh gadis itu hingga terpental ke bahu jalan. Decitan nyaring akibat roda mobil yang bertemu kerasnya aspal, bersahutan dengan dentuman dua mobil yang bertabrakan pun tak dapat terelakan. Kini, tubuh seseorang itu telah bersimbah darah. Dengan langkah tertatih-tatih tanpa memedulikan rasa sakit di kakinya, Cassie menghampiri seseorang yang sudah tergeletak tak berdaya itu. Cassie memangku tubuh seseorang itu hingga kini kepalanya berada di atas pahanya. Tatapan jatuh pada tangannya yang menjadi bantalan kepala seseorang itu kini telah dibasahi darah yang terus keluar dari kepala seseorang itu. "Maafkan aku, Cassie. Aku tidak bisa memenuhi janjiku. Aku mencintaimu," ucap seseorang itu dengan lirih kemudian menutup matanya. "Bangun, Nathan, bangun. Jangan membuatku takut seperti ini. Bangun, Nathan. Aku juga mencintaimu," ujar Cassie sambil memeluk tubuh seseorang itu, yang ternyata Nathan. Cassie mulai memeriksa denyut nadi Nathan. Tidak ada, tidak ada denyut sama sekali. Dilihatnya wajah pria itu yang semakin pucat, membuat wajah gadis itu turut pucat seketika. Cassie memandangi tangannya yang sudah terlumuri darah, kemudian mengarahkannya ke atas dahinya untuk menutupi matahari yang terlihat begitu bersinar. Sinar itu semakin terang. Semakin putih, hingga putih itu berubah menjadi hitam dan membuat tubuhnya seketika ambruk.   ***   "Bangun, Cassie. Bangun," ujar Mason sambil mengelus kepala Cassie. "Nathan. Aku mohon jangan pergi. Aku minta maaf. Nathan ...," gumam Cassie dengan mata yang masih menutup. Namun, air mata keluar dari matanya. "Bangun, Cassie. Bangun," ujar Mason sekali lagi. Cassie perlahan mulai membuka mata. Saat ini ia sudah berada di sebuah kamar rumah sakit. Dilihatnya Mason yang sedang tersenyum sedih padanya. Namun, di sekitarnya tidak ada Nathannya. Ke mana. Ke mana, Nathannya. "Nathan! Ke mana, Nathan? Aku ingin bertemu dengannya. Aku mohon, Mason, bicaralah. Di mana Nathan? Aku ingin meminta maaf padanya," tanya Cassie dengan tatapan kosong juga histeris, sedangkan Mason hanya diam. "Jangan diam saja, Mason. Ke mana, Nathan? Dia baik-baik saja, ‘kan? Dia masih hidup, ‘kan? Dia tidak meninggalkan aku, ‘kan?" tanyanya tanpa jeda. Lagi-lagi Mason diam. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia memandang sedih kondisi Cassie saat ini. Sudah dua jam gadis itu pingsan. "Nathan siapa, Cassie?" tanya Mason dengan hati-hati. "Orang yang tadi membuka pintu ruang kerjaku saat kita makan siang. Di mana dia? Dia baik-baik saja, ‘kan? Ah, aku akan menemuinya," jawab Cassie dengan tatapan panik mulai menyibakkan selimutnya dan mencoba beranjak dari brankar. "Aww!" pekiknya ketika ia merasakan sakit di pergelangan kakinya. "Hati-hati, Cassie. Kakimu terkilir," peringat Mason mencoba menenangkan Cassie. "Mommy!" teriak Aslan yang digendong oleh seorang perawat memasuki kamar rawat Cassie sambil membawa setangkai bunga krisan yang pasti berasal dari bunga krisan yang Mason beri tadi. "Pergi!!! Aku tidak mau melihatnya! Pergi! Aku juga tidak mau melihatmu!" teriak Cassie seperti orang gila sambil memejamkan kedua mata dan menutup telinganya. "Tenanglah, Cassie. Aku mohon, tenanglah," pinta Mason sambil mencoba memeluk Cassie. "Pergi! Aku tidak mau melihat kalian berdua. Kalian jahat. Aku membenci kalian. Pergi!" jerit Cassie semakin menjadi-jadi sambil mendorong tubuh Mason dengan keras. Semua orang menatap Cassie dengan aneh. Dokter pun datang karena mendengar jeritan Cassie yang luar biasa hingga terdengar ke luar. Cassie menekukan kakinya. Terus menutup matanya dan menutupi telinganya. "Pergi! Aku mohon pergi! Aku hanya mau Nathan. Aku mohon!" "Mommy!" ujar Aslan sambil menangis ketakutan. Mata Cassie terbuka. Ia memandang Aslan yang kini digendong Mason duduk di sebelahnya. "Pergi kalian berdua!" teriak Cassie sambil mendorong Mason dan Aslan, membuat bayi tampan itu semakin memecahkan Kristal bening yang bertabur di pipinya merasakan ketakutan yang menjalar di hatinya. Seorang perawat menghampiri Cassie, mencoba memegangi kedua tangannya. Sementara itu Mason memeluk Aslan dengan erat, kemudian melangkah mundur menjauhi Cassie dan mencoba menenangkan Aslan. Beberapa detik kemudian, Cassie pun tak sadarkan diri kembali akibat suntikan obat penenang yang dokter beri. Dari kejauhan Mason menatap iba kondisi Cassie. Ia seperti tidak mengenal Cassie. Ke mana Cassienya yang selalu tersenyum dulu? Ke mana Cassienya yang selalu diam ketika sedang marah? Ke mana Cassienya yang selalu mengerucutkan bibirnya ketika kesal? "Siapa itu Nathan, Cassie? Apa yang sudah ia lakukan padamu?" gumam Mason dari balik pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD