CEMBURU MENGURAS HATI

1580 Words
"Tak gendong kemana-mana, tak gendong kemana-mana. Enak to, mantep to," nyanyi Fasha sambil menatap tangan kanannya yang masih ia gendong karena masih dalam mode cidera. Pasien satu ini memang sangat aktif. Apalagi aktif untuk berkunjung ke ruangan Arham. Alasannya pada dokter yang berjaga adalah karena dirinya ingin konsultasi. Padahal di ruangan Arham, Fasha hanya mengacau. Tapi dari pagi sampai siang, ia sama sekali belum melihat wajah Arham yang biasanya bolak-balik lewat di depan ruang rawat inapnya. Atau paling tidak sedang sibuk di IGD dan ruang operasi. Namun, sedari tadi kedua bola matanya belum menangkap wajah Arham di rumah sakit. Mungkin Arham sedang tidak ada jadwal? Atau memang sengaja tak datang? Fasha baru masuk ke dalam ruang rawatnya seraya mendorong tiang infusnya. Ibunya sedang pulang untuk mengurus keperluan ayahnya yang akan pergi keluar kota untuk urusan kirim-mengirim buah-buahan yang ada di kebun buah miliknya. Dan jadilah Fasha sendiri di dalam sana. Masih dengan wajah yang malas karena semua orang tidak ada yang menjaganya. "Ini orang-orang nggak ada yang peka apa ya. Kalau Fasha kesepian begini," ucap Fasha yang baru saja naik ke atas kasurnya. "Nggak ada pak dokter lagi yang bisa buat seneng-seneng," Fasha kembali ngedumel tak jelas. Fasha mengambil ponsel yang sekarang tergeletak di atas nakas. Ia kembali membuka-buka materi yang harus ia kuasai karena minggu depan akan ada kuis yang cukup menyeramkan bagi para mahasiswa matematika. Tapi selama ini, kuis matematika rasanya selalu menyeramkan. Menurut Fasha, beberapa anak itu aneh. Dulu, saat di bangku sekolah semua menghindari matematika. Tapi disaat kuliah, banyak yang berbondong-bondong masuk jurusan itu. Kan aneh! Kata orang matematika itu tidak penting. Tapi sejak kecil anak yang baru brojol aja sudah diajarkan angka dasar. Yang merupakan dasar dari matematika itu sendiri. Walaupun anaknya guru bahasa inggris, anaknya dokter, anaknya presiden sekalipun, pasti awalnya juga diajarkan satu, dua, tiga, dan seterusnya. Nggak mungkin kan anak kecil diajarkan kata baku dan tidak baku walaupun emaknya guru bahasa indonesia, bahkan profesor doktor sekalipun. Fasha kembali menatap ponselnya. Kenapa pula dengan trigonometri yang masih saja nongkrong di semester empat. Kenapa masih ada sin, cos, tan, dan kawan-kawannya. Memangnya mereka tidak merasa puas sudah membuat mahasiswa matematika pusing di awal semester. Dan jangan lupakan mata kuliah geometri yang membahas bangun datar atau bangun ruang. Waktu itu Fasha disuruh untuk membuat silsilah keluarga bangun segiempat. Kan keterlaluan! Mana tahu dia, kalau segiempat juga punya keluarga. Jadi harus dibuat silsilah yang muter-muter. Analisis sana, analisis sini. Mencari kekerabatan dekat seperti sedang melakukan penelitian pada tumbuhan. Jadi ingat penelitian untuk karya ilmiah saat SMA yang harus direvisi sampai lima belas kali. Rasanya Fasha sudah merasakan skripsi saat itu. Sampai-sampai kertas-kertas berserakan di mana-mana untuk menyelesaikan semua bahan-bahan untuk karya ilmiahnya. Ia kembali memfokuskan dirinya dengan rumus-rumus pembuktian yang memang tak perlu dibuktikan. Lagipula Fasha sudah percaya dengan rumus-rumus yang sudah jadi. Jadi, harusnya tak perlu dibuktikan kan? Suara pintu dibuka membuat Fasha mau tidak mau harus menoleh ke arah pintu. Seorang laki-laki dengan jaket army yang baru nge-trend itu membalut kaos abu-abu polos yang dipakainya. Fasha masih menampakkan raut wajah canggungnya. Mengapa bisa ada laki-laki ini di dalam ruangan rawatnya? "Halo Fasha," ucap laki-laki itu seraya tersenyum agak kikuk. Membuat Fasha kembali menelan ludahnya susah payah. Ia kembali melihat laki-laki itu dari atas sampai bawah. Memastikan penglihatannya memang benar. "Eh, udah kaya lagi teleponan aja. Pakai acara halo segala," jawab Fasha dibuat santai. Wajah laki-laki itu menampakkan raut rileks dibalut senyuman tipis yang mungkin akan membuat perempuan manapun langsung jatuh hati. Mungkin jika Fasha tidak ingat dengan puing-puing kenangan buruknya di masa putih abu-abu, mungkin ia bisa dengan mudah jatuh cinta lagi, iya lagi. Namun sayangnya, dia bukan perempuan yang mudah menerima segala bentuk luka hati. Termasuk pengkhianatan yang menyakitkan. Fasha masih melirik laki-laki di depannya dengan wajah tak suka bercampur dengan penasaran. Pasalnya terakhir mereka bertemu adalah pada saat keduanya di wisuda setelah lulus SMA. Namanya Aryobanyu Ranendra Aji. Biasa disapa Banyu oleh orang-orang terdekatnya. Memiliki wajah yang tirus dan dua lesung pipi yang manis. Namun, jika nama Banyu disebut. Maka gambaran Fasha tentang sosok Banyu adalah laki-laki b******k. Begitulah Fasha mengartikan semua tatapan itu adalah tatapan yang paling Fasha benci. "Kamu baik-baik aja, Sha?" Tanya Banyu dengan wajah khawatir dan mulai mendekat ke arah Fasha yang masih menatapnya dengan tatapan tajam. Fasha menghembuskan napas pelan, "seperti yang kamu liat kan! Kaya begini dibilang baik. Udah tau sengklek begini," ketus Fasha yang mengundang tawa bagi Banyu. Fasha masih tidak mau ikut tertawa. Walaupun ucapannya terkadang terkesan sedang ngelawak. Padahal dia benar-benar dalam mode serius tingkat tinggi. Tatapan keduanya saling bertemu. Fasha masih dengan tatapan kebencian dan Banyu dengan tatapan kecewanya. Semuanya menjadi satu dalam ruangan ini. Banyu rasanya terseret dalam kubangan masa lalu yang menyesakkan d**a. Andai saja waktu bisa diputar, maka dia tidak akan pernah meninggalkan Fasha. Tak akan pernah! Telapak tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala Fasha. Namun, sebelum niatnya terlaksana. Sebuah tangan sudah menggenggam pergelangan tangan kanannya yang baru beberapa senti di atas kepala Fasha yang masih diam. Secara bersamaan, Fasha dan Banyu reflek langsung menoleh pada sang empunya tangan. Tatapan tajam dan wajah datar begitu kentara di hadapan mereka. Tak ada senyuman apalagi tawa di sana. Hanya ada wajah yang super dingin dan membuat aura di sekitar terasa beku. Mungkin mereka baru masuk freezer. "Anda tidak bisa sembarangan menyentuh pasien saya." Ucap laki-laki dengan menggunakan snelli yang membalut tubuhnya. Siapa lagi jika bukan Arham yang kini masih menggenggam tangan Banyu yang mencoba menyentuh Fasha. Namun sedetik kemudian, Arham melepas genggaman tangannya. Disambut dengan tatapan tak suka dari Banyu karena merasa aksinya terganggu dengan kehadiran Arham. "Mm, Anda itu hanya dokternya saja. Dan bukan suaminya, jadi bertindak sewajarnya saja." Ketus Banyu yang menatap Arham sambil memasukkan jemarinya ke dalam saku jaketnya. Dia calon istri saya! Dan kamu sama sekali nggak berhak nyentuh dia. Cuma saya yang bisa nyentuh dia! Teriak Arham. Tapi itu hanya dalam hati saja. Karena Arham memilih tidak bicara itu. "Dalam kode etik kedokteran dijelaskan bahwa. Kami sebagai dokter berkewajiban untuk memberikan layanan dan menjaga pasien dengan baik." Padahal bunyi kode etik kedokteran bukan hanya itu saja. Tapi, kalimat itu sudah mampu membungkam mulut seorang Banyu yang buta kedokteran. Padahal sebenarnya, pak dokter satu ini sedang terserang virus cemburu yang katanya dapat membutakan mata dan hati. Banyu hanya menatap sekilas wajah Arham dengan tatapan tak suka. Sama halnya dengan Arham yang benar-benar benci dengan situasi ini. Maka dari itu, ia malas jatuh cinta. Karena cinta hanya akan merusak segalanya. Tapi, apakah Arham sedang jatuh cinta? Maka dia bisa merasakan cemburu saat ini juga. Atau itu hanya tindakan spontan karena melihat Fasha yang tidak suka karena kedatangan Banyu? Fasha yang sudah melihat gelagat aneh dari keduanya, buru-buru menarik Arham menjauh dari Banyu yang kini sudah melayangkan tatapan membunuh. "Eh, Banyu kenalin ini dokter Arham. Dokter sekaligus calon suaminya Fasha," ucap Fasha yang membuat kedua laki-laki itu hanya bisa melongo di buatnya. Banyu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. "Oh gitu, aku kira kamu nggak akan bisa move on dariku. Aku pikir kita masih punya kesempatan untuk kembali. Tapi ternyata kamu sudah memiliki orang lain sekarang. Semoga Pak dokter ini tidak jadi pelarianmu saja ya," ucap Banyu yang melangkah menjauh. "Aku permisi," lanjutnya lalu menutup pintu dan menghilang begitu saja. Arham melepas genggaman tangan Fasha di lengannya. Lalu ia membetulkan snelli yang melekat di tubuhnya. Rasanya kesal setengah mati. Apalagi mendengar kalimat pelarian yang seakan-akan ditujukan padanya. Memangnya mukanya ini memang tidak pantas dicintai apa? Kok sampai tega dijadikan pelarian. Tapi tetap saja, Arham benar-benar terbakar api cemburu. Hatinya panas! Pemadam mana, pemadam! Fasha meletakkan ponsel miliknya di atas nakas sambil melirik Arham yang sudah hendak meninggalkan ruang rawatnya. Fasha menarik pelan tangan Arham, lalu memeluknya. Dengan posisi Fasha yang masih duduk bersila di atas ranjang dan dengan posisi Arham yang berdiri. Wajah Arham nampak kaget karena Fasha menariknya. "Jangan cemburu Pak dokter. Banyu itu cuma jodoh yang numpang lewat. Dia nggak berarti apa-apa sekarang. Cuma Pak dokter yang akan jadi masa depan Fasha. Walaupun Pak dokter judes, jutek, cuek, nyebelin, sok ganteng, sok-" ucapan Fasha terputus karena Arham melepas pelukannya. "Kamu ini niat muji saya nggak sih?" Ketus Arham yang kini menampakkan wajah kesalnya. Membuat Fasha tertawa pelan. "Dasar ngambekan," ucap Fasha yang membuat Arham makin kesal. Dan ekspresi wajah itu sangat Fasha sukai. Dari pada wajah jutek dan acuhnya. "Sini, Fasha peyuk," ucap Fasha sok imut. Membuat Arham mendekat tapi masih dengan wajah kesal. (Baca : peluk) Fasha kembali memeluk Arham dengan satu tangannya. Merasakan aroma teh dan melati yang menyeruak dari tubuh laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Mungkin, ini adalah awal kecemburuan Arham pada Fasha. Seperti pepatah Jawa mengatakan, witing tresno jalaran seko kulina. Yang artinya, tumbuhnya cinta karena terbiasa. Mungkin garis besarnya begitu. "Semoga Pak dokter bukan limit tak hingga ya," ucap Fasha yang membuat Arham menaikkan sebelah alisnya. Ia tak paham dengan apa yang Fasha maksud. "Astaga! Ada operasi," ucap Arham yang serta-merta langsung melepas pelukan Fasha paksa. Lalu dengan buru-buru ia keluar dari ruangan Fasha dengan berlari. Fasha yang awalnya merasa sangat istimewa, tiba-tiba ingin menggetok kepala Arham saat itu juga. "Lagi romantis-romantisan ini. Aelah, nanggung banget Pak dokter," ucap Fasha kesal sambil melipat tangannya di d**a. "Jangan-jangan kalau lagi malam pertama, Fasha langsung ditinggal lagi karena lupa mau operasi orang!" Ucap Fasha lagi yang kini hanya melirik ruangannya yang sudah kosong tinggal dirinya. Nyebut-nyebut, Sha. Kamu masih anak di bawah umur. Malaikat dalam diri Fasha berteriak anarkis. Membuat Fasha menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya sekarang, dirinyalah yang kebelet kawin.   ---oOo---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD