Bab 1

1329 Words
Jordan memasukkan seluruh barang-barang miliknya yang selama ini berada dalam apartemennya ke sebuah koper besar berwarna hitam yang telah di siapkannya. Dia memutuskan untuk pergi dari Indonesia dan kembali ke Inggris, negara tempatnya berasal. Semuanya sudah berakhir. Kisah cintanya telah kandas akibat seorang gadis kecil. Tetapi dia tak menyalahkan gadis kecil tersebut. Justru dia sangat amat berterima kasih karena gadis kecil itulah, keinginannya untuk pergi dan mencoba untuk berubah semakin kuat. Setelah selesai menyusun seluruh barang-barangnya, Jordan mengambil ponselnya dan bergegas untuk menghubungi ibu tirinya yang saat ini tengah berada di Inggris. Panggilan teleponnya langsung di angkat oleh ibu tirinya pada dering pertama. Jordan mendengus pelan sebelum membuka suaranya. "Aku akan pulang. Siapkan calon istri untukku dan kau akan mendapatkan salah satu bar milikku," begitulah kalimat awal yang terucap oleh Jordan, tak ada sapaan atau bahkan kata-kata rindu. Jordan kembali mendengus pelan saat mendengar suara pekikan girang yang berasal dari seberang telepon. Dia tahu bagaimana gelagat wanita tua itu. "Baiklah, sayang. Akan aku siapkan yang terbaik untukmu." Jordan langsung memutuskan sambungan teleponnya setelah mendengar kalimat balasan tersebut. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lantas menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Keputusannya sudah bulat. Dia akan menikah dengan wanita yang akan di.carikan oleh ibunya. Sebuah tekad untuk berubah sudah tertanam erat di dalam kepalanya. Dan siapa pun wanitanya nanti, Jordan akan tetap menikahinya karena sudah tak ada lagi waktu baginya untuk mencari. Dia yakin ibunya akan mencarikan wanita terbaik untuknya karena ia tak segan-segan menukarnya dengan bar miliknya. Dan dalam beberapa jam kemudian, Jordan sudah menginjakkan kakinya di sebuah rumah mewah bergaya mediterania dengan jendela dan pintu yang bergaya Spanish Renaissance, serta beberapa pilar besar yang berdiri dengan kokohnya di bagian depan rumah tersebut, sehingga menambah kesan modern di dalamnya, rumah besar yang merupakan peninggalan ayahnya. "Anakku! Akhirnya kau sampai juga," suara teriakan yang terdengar antusias serta langkah kaki yang bergerak begitu cepat, membuat Jordan mengeluarkan dengusan malasnya. Wanita yang menyandang gelar sebagai ibu tirinya, kini berderap untuk memeluk putranya itu. "Hentikan, Rosita. Aku tidak ada waktu untuk berpelukan denganmu," Jordan melepaskan pelukan ibu tirinya dengan paksa. "Dimana Chloe?" tanyanya kemudian. Rosita hanya membalas perlakuan Jordan dengan senyuman tipisnya. Dia sudah terbiasa di perlakukan tidak sopan oleh putranya sendiri. Tetapi tak masalah baginya. Selama Jordan masih dalam keadaan kaya raya, dia tak akan marah diperlakukan seperti itu olehnya. "Adikmu ada di dalam," jawab Rosita yang kemudian di susul dengan langkah kaki Jordan yang bergegas masuk ke dalam untuk menemui adiknya. Jordan tersenyum tipis begitu melihat adiknya yang tengah duduk di bangku taman dengan sebuah buku yang sedang dibacanya. Posisinya yang membelakangi Jordan membuat gadis itu tak mengetahui kehadirannya. Jordan berderap dengan langkah sepelan mungkin untuk menghampiri adiknya. Dia berniat untuk menutup matanya dan mengagetkannya. "Kyaaaaaaaa!!" pekik Chloe begitu kedua telapak tangan Jordan mendarat sempurna di kedua matanya, membuat Jordan mau tak mau mengulas senyum geli di bibirnya. Chloe meletakkan bukunya di sampingnya lantas berkata, "aku tahu itu kau, Jo," Chloe berusaha untuk menarik tangan Jordan dari matanya lantas mendongak ke atas setelah matanya terbebas dari tangan pria itu. Jordan terkikik geli. "Kau tahu saja," ucapnya lantas bergegas untuk mengambil duduk di samping Chloe. "Memangnya siapa lagi dirumah ini yang selalu menjahiliku kalau bukan kau." Jordan terkekeh pelan seraya mengacak rambut Chloe. "Bagaimana kabarmu? Rosita bersikap baik kepadamu?" "Aku baik, Jo. Ya, dia akan selalu baik kalau kau terus mengiriminya uang," kekeh Chloe. Jordan tersenyum dan kembali mengacak rambut Chloe dengan gemas. Walau pun mereka tidak ada hubungan darah sama sekali, tetapi keduanya selalu bersikap layaknya saudara kandung karena mereka berdua memiliki nasib yang sama. Chloe adalah anak dari istri kedua ayah Jordan yang sifatnya tak jauh berbeda dengan ibu kandungnya. Hal itulah yang membuat Jordan merasa iba dengan Chloe dan rela menaruh kasih sayang sepenuhnya kepada gadis berusia 24 tahun itu, menganggapnya seperti adiknya sendiri. Dan saat ini, keduanya sama-sama terjebak bersama ibu tiri mereka yang lagi-lagi sifatnya tak jauh berbeda dengan ibu mereka masing-masing. Sialnya, ayah mereka meninggal sebelum sempat menceraikannya dan membuat keduanya harus rela hidup bersama wanita gila harta itu. "Ku dengar, kau ingin menikah," ujar Chloe. "Tahu darimana?" "Rosita." "Ya, begitulah." "Lalu, kekasihmu yang ada di Indonesia itu bagaimana? Kalian sudah putus?" Jordan menganggukkan kepalanya. "Sudah." "Astaga! Bagaimana bisa? Aku bahkan belum sempat berkenalan dengannya." "Sudah lah lupakan saja." "Kau punya fotonya? Aku ingin membandingkan wajah mantanmu dengan calon istrimu nanti. Masih cantikkan yang mana," ucap Chloe antusias. Jordan meringis pelan dan menatap Chloe dengan salah tingkah. Pasalnya ia tak pernah memberitahu adiknya itu kalau kekasih yang selama ini diceritakannya adalah seorang pria. Tak ada yang tahu bahwa dia menjalin hubungan dengan seorang pria. Dan permintaan Chloe barusan, membuatnya bingung harus mengambil sikap seperti apa. "Fotonya sudah kuhapus semua. Aku tak ingin mengingatnya lagi," ucap Jordan beralasan. Chloe sedikit memiringkan tubuhnya dan menatap Jordan dengan prihatin. "Kau terlalu sakit hati ya dengannya? Sampai tidak mau menyimpan fotonya lagi," ucapnya iba. "Hm... begitulah." Chloe menepuk pelan pundak Jordan. "Yang sabar, ya. Semoga calon istrimu nanti bisa menyembuhkan sakit hatimu." Jordan mengangguk pelan seraya menarik Chloe mendekat ke arahnya dan mendaratkan bibirnya di puncak kepala gadis itu, mengecupnya penuh sayang. Semoga saja, batinnya penuh harap. "Jordan," panggilan Rosita membuat Jordan dan Chloe menoleh ke belakang dan menemukan Rosita yang tengah berjalan mendekat ke arah mereka dengan senyuman lebarnya. "Calon istrimu sudah datang. Ayo, ku kenalkan dengannya," Rosita menarik tangan Jordan dan mengajaknya untuk menemui calon istrinya. Jordan pun hanya diam dan mengikuti langkah Rosita, begitupula dengan Chloe yang sudah penasaran seperti apa rupa calon istri kakaknya itu. "Sayang, ini calon suamimu," ucap Rosita begitu mereka sudah berada di ruang tamu. Jordan menatap wanita itu dengan seksama. Dia cukup takjub dengan pilihan Rosita. Wanita itu sangat anggun dan tampak sangat polos dengan skinny jeans dan sweater yang melekat pas di tubuhnya yang mungil. Dia sendiri bahkan masih heran bagaimana cara Rosita membujuk wanita itu saat ingin di jodohkan dengan pria yang bahkan belum di kenalnya sama sekali. Wanita itu langsung bangkit berdiri begitu melihat Rosita dan anak-anaknya sudah berada di dekatnya. Dia tampak bingung harus berbuat apa. Apalagi setelah melihat wajah Jordan yang menurutnya kelewat tampan. Dia bahkan tak bisa memercayai bahwa sebentar lagi dia akan menjadi istri dari pria tampan itu. Yang memenuhi pikirannya tentang Jordan adalah, pria itu adalah pria cacat atau pria dengan segala kekurangan mengingat Rosita yang begitu memaksanya untuk menikah dengannya. "Ayo, Chloe. Sebaiknya biarkan mereka saling mengenal dulu," Rosita menarik lengan Chloe dan mengajak gadis itu untuk meninggalkan Jordan dan wanita itu berdua saja. Dan Chloe pun menurut saja. Setidaknya dia sudah tahu bagaimana rupa wanita itu. Dan setelah di lihat-lihat, dia merasa bahwa wanita itu adalah wanita yang baik. Jordan berdehem pelan untuk mengurangi aura canggung yang mulai berkelana di sekitar mereka. "Silakan duduk," ucap Jordan seraya mengambil duduk di single sofa. Wanita itu menurut dan kembali duduk di bagian ujung sofa panjang yang letaknya tak terlalu jauh dari Jordan. "Siapa namamu?" tanya Jordan. "Lori. Namaku Lori," jawabnya sedikit terbata. "Berapa umurmu?" tanya Jordan lagi. "28 tahun." Jordan mengangguk-anggukkan kepalanya dan tanpa sadar bibirnya sudah melengkung ke atas, membentuk sebuah senyuman kecil yang membuat Lori sulit untuk bernapas. Entahlah, Jordan merasa bahwa wanita ini bisa mengubahnya untuk kembali menjadi pria yang benar-benar normal. "Aku Jordan. Umurku 31 tahun. Bekerja sebagai arsitek dan memiliki beberapa bar di sekitar sini," ucap Jordan memperkenalkan dirinya sendiri. Lori hanya menganggukkan kepalanya dengan canggung. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Tak jauh berbeda dengan Jordan. Ia bahkan tak pernah sekali pun berkencan dengan seorang wanita sehingga ia tak memiliki pengalaman apa pun bersama seorang wanita. Dan selama beberapa menit lamanya, ruangan itu hanya di isi dengan kesunyian sampai Jordan membuka suaranya kembali. "Kau yakin ingin menikah denganku?" Lori mendongak ke arah Jordan begitu mendengar pertanyaan tersebut. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan pria itu. "Bagus," ucap Jordan dengan senyuman lebarnya yang sekali lagi berhasil membuat Lori sulit untuk bernapas. Dan perkenalan itu terus berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mulai membuat mereka sedikit lebih santai dari sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD