"Kelvin sayang, kamu udah bangun, Nak?" suara lembut itu membuat Kelvin mempercepat gerakan tanganya yang sedang menyisir dan memasukan buku ke dalam tas secara bersamaan. Dia tau bundanya sudah berada di depan pintu kamar, jadi dia harus segera bergegas sebelum bundanya masuk.
"Iyaa bunda... Anak bunda yang ganteng udah bangun!" Saut Kelvin ceriah sembari membuka pintu dan memperlihatkan penampilanya yang sudah perfect pada Sang Bunda. Dengan seragan putih abu-abunya yang membalut tubuh bidangnya, dasi yang terpasang rapih di leher, dan ransel coklat yang dia gendong, anak itu benar-benar sudah siap berangkat ke sekolah. Sudah sempurna.
Aini yang melihat putranya sudah rapih pun tersenyum bangga lalu menghadiahkan kecupan lembut pada putra sulungnya itu. Inilah yang dia suka dari Kelvin, meski putranya itu terkenal nakal dan hobi membuat Aini bolak balik ke sekolah, namun dia punya sisi baik yang jarang dimiliki pada remaja lelaki masa kini yaitu rajin. Ya setidaknya dia sangat suka pergi ke sekolah.
Dibandingkan dengan anak sekolah jaman now yang hobi bangun siang dan hobi terlambat ke sekolah Kelvin sebaliknya. Tapi ya gitu deh, meski anak itu memiliki sisi rajin pergi ke sekoalah namun hal itu tak bisa menghapus kenyataan kalau dia juga rajin bikin masalah dan bikin Aini naik pita. Contohnya seminggu lalu Aini mendapat telpon dari pihak sekolah yang menyuruhnya datang ke sekolah karena Kelvin terlibat perkelahian, lalu contoh kedua aini juga pernah di suruh menghadiri sidang di sekolah karena kelvin terlibat tawuran. Kelvin adalah anak aktif, super aktif. Jadi jangan heran kalau dia begitu terkenal di sekolahnya.
"Anak Bunda, udah ganteng ih.. Yaudah gih sarapan dulu, Bunda bikin nasih goreng kesukaan kamu." Kelvin mengacungkan kedua itu jarinya pada Aini dan bergegas ingin meninggalkan Aini, namun baru beberapa langkah Kelvin menjauh Aini kembali menarik tangan putranya itu. Aini teringat sesuatu, sesuatu yang sangat penting."Oh iya, Bian mana sayang? Dia belum bangun?"
Mendengar pertanyaan bundanya kali ini Kelvin memamerkan cengiranya, kemudian anak itu menunjuk ke balkon kamar yang pintunya terbuka sedikit. Anak itu pun mengataksn bahwa adik kesayanganya semalam tidur di luar dan sekarang belum bangun.
"Masyaallah.. Terus kamu biarin aja dia tidur di luar?" Tanya Aini terkejut dan di jawab gelengan oleh Kelvin.
"Enggak lah, Bun.. emang aku sejahat itu apa? semalam tuh udah 4 kali aku seret dia masuk ke dalam kamar tapi tuh anak balik lagi ke luar. Trus karena aku cape baru aku diemin deh dia tidur di luar." Jelas Kelvin polosnya dan di hadiakan cubitan pelan yang membuat Kelvin geli.
"Itu sama aja namanya." Timpal Aini gemas pada putranya itu. Sungguh, dia tidak habis fikir dengan Kelvin, bisa-bisanya anak itu membiarkan adiknya tidur semalaman di luar kamar yang dingin.
"Ya beda lah, Bun.. kan aku udah usaha gak langsung ngabain gitu aja." Saut Kelvin membela diri, kemudian Aini pun kembali menyuruh putranya itu untuk segera sarapan.
Setelah itu, saat sosok putranya itu sudah menghilang dia pun masuk ke kamar putranya menujuh balkon kamar. Dan benar saja di sana Aini menemukan sosok Bian yang masih tertidur dengan posisi duduk dan tubuh yang di balut selimut tebal. Samar-samar ada sorot mata sendu yang terpancar dari mata halzel Aini.
Menemukan putranya terlelap di luar kamar bukanlah hal langkah. Ini adalah hal yang sering terjadi. Karena sejak berusia 12 tahun Bian sering melakukan kebiasaan ini, bangun di tengah malam lalu pindah dan tidur di luar kamar. Namun tetap saja, meski sudah sangat sering, tapi setiap menemukan anaknya tertidur di luar kamar hal itu selalu membuat hati Aini terasa perih. Rasanya begitu sakit. Karena kebiasaan aneh anaknya itu adalah akibat dari rasa sakit yang dulu mantan suaminya berikan pada Bian. Sebuah trauma yang tak dapat Bian sembuhkan hingga saat ini.
Telapak tanggan Aini menyentuh kening Bian dan rasa panas dari tubuh Bian pun dia rasakan. Ini lah hal yang selalu terjadi saat putranya itu tidur di luar kamar, dia akan terserang demam dan tak jarang juga akibat hal itu Bian harus di bawa ke rumah sakit oleh Aini bila demamnya tak juga turun. Karena daya tahan tubuh Bian yang memang lebih lemah dari Kelvin selalu membuat Aini was-was.
Kemudian Aini pun mulai membangunkan putra bungsunya itu.
Dengan lembut wanita itu menggoyangkan bahu putranya penuh kasih.
"Bian.. Sayang.. Bangun nak, pindah ke kamar yuk." Ucap Aini lembut.
Tiga detik tak ada respon dari putranya, hingga kedua kelopak mata Bian terbuka dan menimbulkan sebuah lengkungan pada kedua sudut bibir Aini.
"Bunda..." Suara itu begitu lemah.
"Ayo bangun dulu sayang.. "
*****
Kelvin mengaduk-aduk nasi goreng di piringnya tanpa ada niatan untuk melahapnya lagi. Nafsu makannya hilang seketika saat bundanya mengatakn bahwa Bian terkena demam dan tak bisa pergi ke sekolah. Dan sekarang bundanya sedang sibuk membuat bubur untuk Bian.
Jujur saja, sebenarnya Kelvin merasa bersalah karena telah membiarkan adiknya tidur di luar semalaman. Terlebih lagi saat ini adiknya terserang demam, dia jadi tambah menyesal. Tapi kalau mengingat kejadian semalam bian tidur di luar juga bukan salah dia, karena Kelvin kan memang sudah berusaha membangunkan Bian dan memindahkan anak itu untuk tidur ke dalam kamar. Biannya aja yang emang batu dan malah balik lagi tidur di luar. Dan lagi kondisi Kelvin malam tadi juga kurang baik, habis minum obat anak itu terserang ngantuk akut, makanya dia tak bisa terjaga semalaman seperti biasanya dan malah meninggalkan Bian tidur.
"Sayang... kok gak di abisin nasi gorengnya?" Tanya Aini sedikit kawatir saat meliahat anaknya tampak tak napsu makan. Padahal menu hari ini adalah menu kesukaan Kelvin, biasanya anak itu akan nambah hingga 2 kali. Tapi lihat setengahnya saja belum abis.
Kelvin pun tersenyum tipis dan mengatakan bahwa dia sudah kenyang.
"Bunda, Bian gak papa, kan?" Tanya Kelvin kawatir. Aini pun tersenyum teduh dan mengelus pucuk kepala Kelvin penuh kasih. Dia tau bahwa Kelvin sangat menyayangi adiknya, menyayangi Bian lebih dari apapun.
"Gak papa.. Bian cuman demam, kamu gak perlu kawatir." Hibur Aini. Namu rasa bersalah itu masih belum bisa hilang dari hati Kelvin. Karena lagi-lagi dia membuat adiknya sakit.
"Maafin aku ya, bun..." Ucap Kelvin penuh penyesalan.
"Kamu itu, udah bunda bilang gak papa... Hemm..." kali ini pelukan hangat dan kecupan lembut, Kelvin dapatkan dari bundanya. "Yaudah, kamu berangkat gih, nanti terlambat lagi, ke sekolah."
"Yaudah, aku berangkat dulu ya Bunda." Kelvin mengecup punggung tangan bundanya." Assalamualaikum.."
"Walaikumsalam... " setelah sosok Kelvin menghilang, Aini pun mengambil baki berisi bubur dan membawanya ke kamar Bian.
******
"Woy! Bengong aja.. Kesambet lo tar.."
Kelvin tersenyum tipis saat mendapati sosok Ozil--seorang cowo sok kegantengan, tapi emang ganteng yang selalu nempel pada Kelvin-- Ozil pun tanpa basa basi langsung duduk di samping Kelvin dan meminum es teh yang sejak tadi diabaikan pemiliknya.
"Ngomong-ngomong kaya ada yang kurang nih, mana adek, lo? Biasanya tuh anak lo bawa ke mana-mana, tumben sendirian aja." Celetuk Ozil menyelidik. Kelvin pun angkat bahu.
"Dia gak masuk." Jawab Kelvin malas, kemudian anak itu merebut ice teh manis yang hampir habis di sedot Ozil. "Gua yang beli ngapa jadi lo yang ngabisin?" Omel Kelvin pada sahabatnya yang tak tau diri itu.
"Aus coy, gua abis lari maraton nih ke sekolah."
"Haha t*i, keringetan aja kagak. Kunci motor aja nyangkut tuh di kantong lo. "
"Dih, gak percaya.. Tanya sama Bagas, sana."
"Lo sama bagas gak ada bedanya, sama-sama gak ada yang bisa dipercaya. sama-sama penipu!"
"Wih.. Pada ngomongin apa nih, pake segala bawa-bawa nama gua." Seorang cowo berseragam sedikit berantakan dengan dasi yang di lilit di tangannya duduk di samping kiri Kelvin yang kosong.
Kelvin menghela nafas lelah melihat kedatangan Bagas dengan penampilan kasnya 'berantakan'. Bukanya Kelvin tidak suka dengan kedatangan sahabatnya itu, hanya saja kedua sahabatnya itu kalo udah kumpul berisik dan gak bisa diem, padahal saat ini Kelvin sedang membutuhkan ketenangan.
Bagas merampas gelas yang isinya tinggal ice batu dari tangan Ozil, lalu mengambil satu bongkah ice batu nya dan mengemutnya bagaikan permen. Bila kebanyakan orang merasa linu saat mengemut ice atau menggigitnya tapi untuk Bagas itu adalah hal yang sangat dia suka. Rasanya itu kurang puas kalo cuman nunggu ice nya sampe mencair.
Untuk sesaat Bagas menoleh ke arah Kelvin, wajah sahabatnya tampak lesu dan tak bersemangat. Dan cowo itu tau apa penyebapnya, karena siapa lagi yang bisa bikin seorang Klvin seperti ini kalau bukan Bian, adik kesayanganya.
Seulas senyum tipis terhias di bibir Bagas. Kemudian dia merangkul bahu sahabatnya dan berkata bahwa tidak ada yang perlu di cemaskan.
"Dia paling kecapean doang gara-gara kemaren main basket sambil ujan-ujanan sama kita. Lagian lo, adek sakit bukannya di suruh istirahat di rumah aja tapi malah di biarin masuk. Tar kalo dia ambruk lagi gimana?"
Mata Ozil seketika menyipit setelah mendengar ucapan Bagas.
"Lo itu ngomong apa sih Pe-A. Pagi-pagi udah ngelantur, masi kurang apa sarapannya di rumah gua?" Tanya Ozil heran dengan sahabatnya itu, padahal tadi di runah Ozil, bagas udah nambah makan nasi uduk tiga kali, tapi ngapa tuh orang masih ngomong ngelantur.
"Lo yang P-A! Siapa yang ngomong ngelantur, gua cuman mau bilangin sahabat lo itu. kalao dia, harunya gak bawa adik kesayanganya masuk sekolah dengan muka yang pucet kaya mayat. Emang gak inget apa tragedi collpast minggu kemaren bikin seantrio sekolah heboh."
"Maksud lo?" kali ini Klvin angkat bicara, dia benar-benar tak mengerti dengan ucapan Bagas. Sungguh.
"Ya Tuhan... ini lagi, lo pada abis makan apa, sih? Combro? Jengkol? kok jadi pada b**o, ya?"
"Eh t*i, gua kaga doyan jengkol sama comro. Gak lepel. Dan gua lebih pinter dari lo. Jadi jangan fitnah sodara sendiri." Saut Ozil kesal sembari memukul kepala Bagas.
Bagas pun hanya terkekeh mendengar pernyataan sahabatnya itu. Dia membenarkan pernyataan Ozil yang mengaku kalau dia lebih pintar dari Bagas.
"Tapi pintar ngibul." Ha ha ha
"Lo ngomong adek gua sekolah? Ngelatur lo, orang hari ini dia gak masuk gara-gara sakit."
"Adek lo gak sekolah hari ini? Terus yang gua liat di kelas siapa? Setan?" Saut bagas sedikit kesal. Heran dia dengan kedua sahabatnya. Cowo itu pun berdecak sebal." Adek lo ada di kelas noh, lagi nayalin PR gua. Dateng-dateng langsung geledah tas gua."
"Serius..??" Kelvin masih tampak ragu, hingga anggukan Bagas menghancurkan semuanya dan membuat cowo itu bergegas pergi meninggalkan kantin.
Sedangkan itu, Ozil dan Bagsa hanya geleng-geleng kepala melihat kepergian Kelvin. mereka memaklum kekawatiran Kelvin, karena begini lah Kelvin, dia akan menjadi orang yang berbeda kalau sudah menyangkut adik kesayanganya.
******
Bian menatap kakaknya heran yang berlari masuk ke dalam kelas. Cowo itu pun menghentikan gerakan tanganya yang semula sedang menulis dan memfokuskan pandanganya pada sang kakak. menatap kakaknya dengan pandangan menyelidik.
"Ngapa lo lari-lari? Di kejar lagi sama Bu Vero gara-gara ketauan merokok?" Tanya Bian polos dan langsung di hadiahkan jitakan oleh sang kakak.
"Gua yang harusnya nanya ke lo, ngapa lo malah sekolah hari ini, lo kan lagi sakit?"
Kelvin menempatkan dirinya duduk di samping Bian. Sedangkan Bian, cowo itu tersenyum senang melihat kakaknya yang tampak menghawatirkanya itu.
"Badan gua udah enakan abis minun obat. Lagian bunda ngijinin gua sekolah dan tandi bunda nganter gua ke sekolah." Jawab Bian santai sembari kembali menyalin PR MTK yang semalam dia lupa kerjakan.
Sedangkan Kelvin cowo itu berdecak kesal. Dia menatap wajah adiknya yang masih terlihat pucat, jadi mana bisa kalau adiknya saat ini baik-baik saja.
"Penipu.." gumam Kelvin pelan kemudian menelungkupkan kepalanya di atas kedua tangan yang dia lipat di atas meja. Tiba-tiba kepalanya jadi terasa pening, pasti ini efek kurang tidur.
"Btw, lo udah ngerjain PR, Kak?"
Bian menoleh ke arah Klvin yang tiba-tiba tidak bersuara lagi. Dan seulas senyum tipis pun terhias di bibir Bian saat mendapati kakaknya sudah terlelap di sampingnya. Karena benar saja, semalam kakanya itu terus terjaga hingga pukul 2 dini hari guna menjaga Bian dan memindahkan Bian ke dalam kamar.
Sejujurnya Bian tau kalau kebiasaan buruknya di setiap malam sangatlah membebani Kak Kelvin. Dia tau kalau hal itu sangat sulit untuk kakaknya, menjaganya sepanjang malam itu sangat merepotka tapi itu juga sangat sulit buat Bian. Setiap malam saat rasa takut itu kembali hadir, meski Bian sudah bertekat untuk tidak melakukan kebiasaan anehnya itu, tapi tetap saja tubuhnya tak mau bersahabat. Dia tak bisa menghilangkanya. Dia tak bisa tetap tidur di dalam kamarnya dengan rasa takut yang membuatnya sulit bernafas.
"Maaf..."
******