Bian mendengus sebal saat mendapati kakaknya sedang asik mojok di kantin bersama Savira, pacar baru kakaknya.
Ini sudah genap dua minggu berlalu sejak Kelvin memenangkan hati Savira yang merupakan primadona sekolah dan menggemparkan sekolah. Dan hingga saat ini pun mereka berdua masih menjadi sorotan dan bahan pembicaraan utama para siswa SMA Mahadika.
Karena bagimana tidak, dua orang yang merupakan siswa terpopuler di SMA Mahadika resmi pacaran, bagaimana satu sekolah tidak heboh.
Kelvin si bad boy cool dengan senyuman termanis dan wajah tertampan. Lalu Savira siswi tercanyik, yang merupakan cucu pemilik SMA Mahadika. Mereka berdua adalah most wanted yang di kejar-kejar para siswa untuk dimenangkan hatinya. Lalu sekarang mereka berdua pacaran.
Dan sejak saat itu, ya beginilah kelakuan Kelvin, dia jadi hobi mojok di sudut kantin bersama pacar barunya dan melupakan Bian sebagai adik kesayanganya.
Sebenarnya hal itu tak masalah untuk Bian dan malahan Bian senang, karena dengan begitu Bian bisa sedikit terbebas dari sifat Kak Kelvin yang over protektif terhadapnya. Namun di balik hal itu terdapat sebuah masalah yang terus membebani fikiran Bian. Yaitu, tentang status pacar baru kakaknya.
Savira bukanlah gadis biasa, dapat terlihat jelas dari style dan wajahnya yang amat cantik tiada tara. Tak ada sedikit pun kekurangan yang terlihat dari sosok Savira. Gadis itu cantik, pintar, ramah, baik hati, dan merupakan cucu pemilik SMA Mahadika. Semua siswa di SMA Mahadika pun menginginkan status pacaran dengannya. Maka, masalahanya ada di sana. Karena Savira adalah primadona sekolah gadis itu menjadi target incaran Devan rival Kak Kelvin. Sebenarnya Devan sudah menyukai Savira lebih dulu, sejak kelas satu. Tapi entah mengapa meski Devan terus mengejar-ngejar Savira sejak kelas satu, sialnya gadis itu tak pernah tertarik pada Devan dan lebih memilih Kelvin. Jadi... Yaa kalian tau lah, sesuatu yang menyangkut hati sangatlah sensitif. Intinya Ini seperti bumerang untuk Klevin. Seperti saat Kelvin nekat bermain api setelah dia cuci tangan dengan bengsin, Artinya dia bunuh diri.
Bian membalikan badannya dan kembali berjalan menujuh kelas. Niat awal yang ingin makan di kantin hilang.
Tidak, sebenarnya sejak awal dia memang tak ada niatan untuk makan di kantin. Karena perutnya sedang tidak bersahabat, asam lambungnya sedang naik hingga membuat dia tak ada napsu untuk makan dan merasa mual. Dan sebenarnya niat Bian ke kantin itu hanya untuk membuat kakaknya tidak khawatir lagi, mengingat selama pelajaran tadi kakaknya itu trus memandang cemas dirinya. Tapi pas Bian ke kantin, eh, kakaknya itu malah lagi asik mojok sama Savira. Ngeselin, kan?
"Woy! Curut, mau kemana lo?" Ozil berlari mendekati Bian lalu merangkul bahu sahabatnya itu erat. Sedangkan Bian, cowo itu hanya menyunggirkan senyuman manisnya. Untuk seseorang yang dia anggap sebagai seorang kakak, Bian sangatlah menghormati Ozil.
"Lo sendiri mau ke mana, kaga ikut ngumpul sama Bagas di kantin?" Kali ini Ozil angkat bahu dengan tampang malas.
"Gua males, paling yang mereka obrolin cuman cewe sama rencana buat tawuran besok. Gua kan udah gak tertarik ama yang begituan." Jelas Ozil santai dan berhasil membuat Bian terteguh sesaat. Dengan tampang ragu Bian pun meyakinkan dirinya atas sesuatu yang baru saja dia dengar.
"Tawuran??" Ozil manggut-manggut.
"Sebulan lagi kan ulangtahun sekolah, masa lo lupa tradisi yang bakal di lakuin anak-anak setiap tahun saat hari sakral itu. Tahun kemaren lo ikut serta, kan?" Tak ada jawaban dari Bian dan hanya sorot mata sendu yang terlihat di sana.
Ozil yang melihat perubahan expresi Bian pun langsung menepuk-nepuk bahu Bian pelan. Karena jujur saja dia tau apa yang sedang sahabatnya itu pikirakan saat ini meski Bian tak mengatakannya.
"Tenag aja.. dia gak akan ikut kok, jadi lo gak perlu kawatir." Ucap Ozil menenagkan kegundaan hati Bian. Bian tersenyum tipis dengan sorot mata sendu yang masih terhias di matanya.
"Yakin dia gak ikut?" Tanya Bian lagi ragu. Karena dia sangat tau bagaimana sifat kakaknya yang sangat menyukai hal berbau perkelahian itu. Setiap tahun sejak SMP kakaknya suka ikut tawura, kayanya sangat mustahil bila tahun ini tuh anak gak ikut.
"I don't know." Jawab Ozil kemudian sembarai mengangkat kedua tangan dan bahunya. "Tapi dia ngomong ke gua sih gitu kemaren," hempasan nafas kasar Bian terdengar begitu melelahkan membuat Ozil kembali menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu demi menenangkan. "Tenang aja, dia kan udah janji sama lo buat gak ikut tawuran lagi. Gak usah terlalu di pikin, tar lo stress lagi, trus gila."
Namun meski begitu, hati Bian belum bisa tenag. Karena tawuran tahun lalu masih membekas di ingatan Bian dan menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi Bian. Dia tidak mau kejadian buruk tahun lalu itu terulang lagi. Dan dia tak akan membiarkan orang itu melukai kakaknya lagi.
Mereka pun masuk ke dalam kelas yang saat ini sepi. Untuk sesaat Ozil menoleh ke arah bian yang langsung duduk di bangkunya dengan wajah muram. Untuk sebuah rasa sakit dan ketakutan, Ozil tau apa yang sedang sahabatnya itu rasakan. Karena dia juga meresakan kekawatiran yang sama.
******
Aini terduduk lemas di atas tempat tidur Bian saat menemukan selembar bungkusan obat yang separuhnya sudah habis diminum oleh sang pemilik. Air mata Aini kembali mengalir saat menemukan kenyataan pahit itu, bahwa Bian masih belum bisa lepas dari obat tidur yang dulu selalu anak itu konsumsi. Sebuah butiran obat yang dua tahun lalu hampir merenggut nayawa Bian dari hidup Aini.
Untuk sebuah mimpi buruk yang sangat menyakitkan. Untuk sesuatu yang sangat ingin Aini lupakan. Wanita itu tak dapat berkata-kata. Dia telah lengah, hingga tak sadar bahwa putranya kembali meminum obat-obatan itu. Padahal setelah kejadian itu Bian sudah berjanji untuk tidak meminumnya lagi. Tapi kenapa anak itu kembali mengonsumsinya lagi?
Aini memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Isakan tangisnya semakin menjadi-jadi saat wanita itu kembali mengingat tragedi 2 tahun lalu ketika Bian over dosis karena mengonsumsi obat tidur melebihi dosis.
Saat itu, Aini benar-benar ingin mati rasanya. Bagaimana tidak, ibu mana yang tidak hancur dan jatuh saat menemukan anaknya sudah terbujur kaku di atas tempat tidur dengan nafas dan detak jantung yang begitu lemah. Dan lagi, kalau saja saat itu Aini terlambat menemukan Bian sedikit saja, mungkin saat ini Aini benar-benar kehilangan satu putranya itu.
*******
Sunyi.. Senyap..
Itulah suasana yang akan hadir saat pelajaran sejarah berlangsung. Tak seperti pelajaran sebelumnya yang lebih terhias dengan suasana gaduh, suasana kali ini benar-benar tenang bagaikan kuburan di tengah malam, karena benar saja seseorang yang saat ini sedang mengajar di depan kelas adalah satu dari 5 guru terkiler di di SMA Mahadika. Jadi yaa jangan heran kalau saat pelajaran Bu Ola berlangsung suasana kelas bakal kaya kuburan.
Untuk sejenak Kelvin kembali menloh ke arah Bian yang masih menelungkupkan kepalanya di atas lipatan tangan. Kelvin pun menghembuskan nafas lelah melihat kelakuan adiknya itu.
Ini sudah 2 jam tepatnya setelah Bian mengatakan bahwa kepalanya sakit dan bilang ingin tidur sebentar sekitar 1/2 jam, Namun hingga saat ini anak itu belum juga bangun. Sangat aneh untuk Bian.
Sebenarnya ini bukanlah kebiasaan Bian, tidur di saat pelajaran berlangsung. Karena dibandingkan Kelvin, Bian lah anak yang lebih bersemangat dalam belajar. Karena normalnya sesakit apapun Bian dia tak akan sampai tidur di dalam kelas saat pelajaran sedang berlangsung seperti saat ini. Namun beberapa hari ini Bian sering melakukan kebiasaan itu. Kebiasaan yang entah mengapa membuat Kelvin selalu kawatir.
Kelvin menggoyang-goyangkan tangan Bian dan memanggil namanya pelan guan membangunkan anak itu. Tapi nihil, tak ada respon dari Bian yang membuat Kelvin berdecak sebal.
Hingga beberapa menit kemudian dengan kepala yang masih bertumpu di atas lipatan tangan, Bian memanggil Kelvin dengan suara lemah. Kelvin pun yang namanya di panggil sontak menoleh ke arah Bian.
"Kenapa, Dek?" Tanya Kelvin kawatir. Satu detik, dua detik, bian tak langsung menjawab sampai anak itu pun memint tisyu pada kakaknya. "Buat apaan?"
Bian mengambil tisyu yang di berikan Kelvin dengan posisi yang tak berubah. Ini menimbulkan kecurigaan bagi Kelvin karena adiknya itu seperti sedang menyembunyikan wajahnya dari Kelvin.
"Dek..." Panggil Kelvin lagi pelan.
"Apaan sih bawel..." Bian menyauti kesal.
"Angkat kepala lo!" perintah Kelvin serius, namun bukannya menuruti perintah kakaknya Bian malah mendengsus dan berdecak sebal denagn kening yang masih bertumpu pada lipatan tangan. Tentunya hal itu membuat Kelvin kesal karena jujur saja Kelvin bukanlah anak penyabar.
Dan benar saja Kelvin pun menarik bahu Bian dan memaksa adiknya itu untuk menegakan badannya supaya Kelvin bisa melihat wajah sang adik. Sedangkan Bian yang tubuhnya memang sedang lemas tak dapat meronta, akhirnya dia pun menunjukan wajahnya yang semula dia sembunyikan dari Kelvin.
Saat itu, seketika mata Kelvin membulat sempurna terkejut saat melihat cairan kental berwarna merah pekat yang terus keluar dari hidung mancung adiknya dan m*****i beberapa bagian tubuh adiknya serta seragam putih adiknya.
Bian yang meligat wajah kawatir Kelvin pun langsung merunduk. Ada perasaan bersalah yang hinggap dalam hatinya. Dia tau kakaknya pasti akan sekawatir ini bila mengetahui dia mimisan makanya sedari tadi Bian mencoba menyembunyikanya dari Kelvin. Tapi apes, ketauan juga kan akirnya.
"Ah s**t!" Desis Kelvin kesal. Cowo itu mengambil tisyu dan dengan sigap menghapus darah yang terus keluar dari hidung adiknya. "Kita harus ke UKS!" Ujar Kelvin tiba-tiba dan hal itu membuat Bian terkejut.
"Yaelah, gak usah lebay, gua gak papa, ngapa pake ke UKS, sih?!" Namun seperti tak mau mendengar ucapan adiknya Kelvin langsung berdiri dan membuat seisi kelas memperhatikanya, termasuk Bagas dan Ozil. kedua anak itu menatap Kelvin dari blakang dengan pandangan menyelidik berusaha menerka apa yang akan terjadi.
"Ada apa Kelvin?" Suara Bu Ola memecah keheningan.
"Ibu, saya mau izin ke UKS." ucap Kelvin tanpa basa-basi.
"Kamu sakit?" Tanya Bu Ola sembari berjalan mendekat pada Kelvin.
"Buakn saya tapi adik saya, dia mimisan, Bu." Jawab Kelvin jujur dan kali ini Bian yang menjadi fokus pandang semua yang berada di dalam kelas.
"Astaga, Bian kamu kenapa?" tanya Bu Ola kawatir saat melihat Bian yang sedang bersusah payah menghentikan pendarahan di hidungnya dengan menutupi hidung dan mulutnya menggunakan tangan." Yaudah ayo kita ke UKS."
Bu Ola, Bian, dan Kelvin pun pergi meninggalkan kelas. Sedangkan di blakang Ozil dan Bagas saling berpandangan.
******
Seorang remaja dengan setelan seragam putih, abu-abu yang masih membalut tubuh bidangnya kembali melirik jam tangan dan menghela nafas kesal.
Ini sudah dua jam lebih sejak dia di seret ke rumah sakit dan di paksa untuk melakukan pemeriksaan kesehatan yang wajib dia lakuka di setiap awal bulan dan hingga saat ini dia masih di tahan untuk tetap berada di ruang rawat hingga hasil tes keluar.
Hal itu benar-benar mengesalkan bagi sang remaja. karena bagaimana tidak, remaja itu yang memang tak pernah sakit dan memiliki sistem imun yang bagus selalu di paksa rutin pergi ke rumah sakit seperti anak penyakitan.
"Jadi samapi kapan aku harus di sini?" Tanya remaja itu frustrasi sembari menatap tajam seorang pria berjas hitam yang tadi menyeretnya ke rumah sakit.
Pria berjas hitam yang semula membaca buku pun langsung menutup bukunya lalu menatap sosok remaja di hadapanya dengan pandangan hangat dan senyum teduhnya.
"Sampai Dokter Frans datang dan mengatakan bahwa kamu sehat." Jawab pria itu singkat dan tentunya hal itu membuat sang remaja semakin flustasi.
"Ayolah Om, aku harus kembali ke sekolah... Aku itu sehat, kenapa juga aku harus melakukan pemeriksaan ini setiap bulan, seperti anak penyakittan." Rengek remaja itu meminta pengertian supaya dia bisa cepat pergi dari tempat yang dia benci itu. Namun cara itu tidak mempan dan sang remaja pun malah di ceramahi.
"Gak usah bawel, ini juga buat kebaikan kamu." ucap pria berjas hitam itu. "lagian kamu tau kan opa kamu kaya gimana, kalau dia tau kamu abesn dalam pemeriksaan kesehatan kamu pasti akan di hukum."
******