Seperti kutukan, mereka yang lahir dari keluarga terpandang dan yang digadang-gadang menjadi penerus perusahaan—mendapatkan sebuah ketenaran yang tidak selalu mereka inginkan. Baik Gigan, Gestar, dan Rheas adalah anak-anak pengusaha kaya raya dan lebih parahnya lagi adalah anak tunggal. Dalam circle pertemanan mereka, hanya Karen yang mempunyai saudara. Namun tetap saja 'kan, Karen yang paling menjadi sorotan karena ada yang mengatakan bahwa Karen adalah pewaris yang paling pantas untuk memimpin Andersson Company.
Baik perusahaan satu dengan yang lain saling bekerjasama, sehingga keterikatan dan pertemanan mereka pun sangat dekat dan akrab. Mereka tentu saja berteman dengan sangat serius, bukan karena satu sama lain menguntungkan. Mereka bahkan bukan calon direktur utama yang benar-benar menginginkan posisi tersebut. Namun karena mereka harapan orang tua, jadi mau tidak mau harus menurut—kecuali Karen tentunya.
Setelah Karen memutuskan untuk pindah ke luar negeri dan memutus kontak dengan semua orang, mereka bertiga pun tidak bisa menghubungi Karen. Keberadaan Karen seperti hilang ditelan bumi. Sampai pada akhirnya, Karen datang kepada mereka dengan keadaan yang telah berbeda. Bocah-bocah umur sepuluh tahun, telah tumbuh dewasa menjadi pria berumur dua puluh tahun yang tampan. Banyak cerita yang terlewat begitu saja tanpa adanya Karen, jadi mereka berusaha untuk saling bercerita agar menyambung kembali komunikasi yang telah lama putus.
"Kenapa tempatnya terbuka juga?" Tanya Rheas sewot dengan wajah kesal. "Kita minta private room, kenapa di sini?" Sambungnya sambil menatap tenda kecil yang berada di atas mereka.
Gigan menghela napas panjang sambil menatap Rheas, "ini pantai, Brother! Private room yang mereka maksud, seperti ini. Kau sangatlah menyebalkan hari ini, Rheas!"
"Sudah, sudah! Jangan bertengkar terus. Kita datang kesini untuk mendengarkan pertunjukan piano yang bagus." Tandas Gestar yang tidak mau ambil pusing dengan temannya yang sejak tadi heboh memprotes masalah private room.
"Apakah kalian selalu seperti ini setiap kali pergi kemanapun? Harus ada private room yang setidaknya mempunyai akses sedikit untuk dilihat orang lain?" Tanya Karen dengan bingung.
Gestar mengangguk dengan cepat, "hm ... mungkin hidupmu akan segera menjadi seperti kami. Kau tidak bisa hidup dengan tenang tanpa adanya penghalang dari dunia luar. Jika mereka sudah melihatmu, mereka akan sangat ganas. Menyeramkan sekali mempunyai banyak fans brutal."
Karen tersenyum mendengar penjelasan ketiga temannya yang lebih berpengalaman daripadanya, mungkin. Namun, jika dilihat dari tingkah mereka yang berusaha semaksimal mungkin melindungi diri, Karen tidak akan heran dengan pernyataan fans brutal tersebut.
"Lalu ... mengapa di pantai seperti ini ada pertunjukan piano? Kalian suka piano?" Tanya Karen yang memang tidak terlalu suka dengan alat musik.
"Gestar yang suka! Kami berdua hanya dipaksa ikut," tandas Gigan sambil menunjuk Gestar yang sejak tadi memang sangat antusias dengan pertunjukan ini.
Ting! Dentingan piano terdengar, membuat semua orang yang sibuk berbicara menjadi diam—terfokus kepada seorang wanita yang tengah duduk dengan jemari yang menari lincah di atas not piano itu. Karen yang awalnya mengatakan tidak terlalu suka musik, tiba-tiba harus merelakan pendapatnya itu. Karena musik yang dibawakan wanita di atas panggung itu sangat indah. Nadanya begitu dalam, walaupun Karen tidak mengerti makna setiap dentingan yang membuatnya larut dalam musik.
Karen seperti terbius dan tidak bisa berkedip karena saking takjubnya. Dia tersadar karena mendengar tepukan tangan yang meriah setelah wanita itu membungkukkan tubuhnya ke hadapan penonton dan melangkah mundur dengan anggunnya. Karen menatap wanita itu, mereka saling bertatapan walaupun tidak lama—namun semua itu meninggalkan kesan. Perasaan apa ini?
"Wah ... seleramu sudah berubah, Teman?" Ucap Gestar yang menepuk bahu Karen pelan. "Katanya, hanya orang yang menderita yang paham akan maksud nadanya. Sayang, aku tidak terlalu paham dengan makna dentingan piano itu. Aku menikmati musiknya tetapi tidak paham akan maknanya." Sambung Gestar jujur.
"Jadi, menurutmu, aku menderita begitu?" Tanya Karen yang menoleh ke arah Gestar.
Pria itu mengerutkan keningnya bingung, "maksudku, kau sedang menderita, begitu?"
"Sudah, sudah! Ayo kita pergi dari tempat ini sebelum ada yang datang dan mengenali kita." Tandas Gigan yang mengajak teman-temannya untuk segera pergi.
Namun baru saja mengatakannya, beberapa wanita muda datang dan berteriak senang karena orang yang mereka anggap terkenal karena anak dari pengusaha kaya raya berada di sana. Tanpa aba-aba, keempat pria itu langsung berlari kocar-kacir; saling menyelamatkan diri.
Karen sendiri berlari ke dalam panggung untuk mengecoh, lalu bersembunyi di bawah kolong meja yang ada di belakang panggung terbuka itu. Dia mengatur napas sambil mengumpati orang-orang tidak punya tata krama yang tiba-tiba muncul dan menyerang mereka. Serangan yang dimaksud tentu saja bukan serangan yang sesungguhnya. Bisa semakin geger media jika sampai menemukan mereka di sini.
"Kakak, apa Kakak tahu pria-pria yang sering ada di televisi itu datang kesini?" Tanya seorang gadis remaja yang bertanya kepada seorang wanita di sana.
Karen menutup mulutnya dengan rapat, berharap orang-orang itu akan segera pergi dari hadapannya.
Wanita itu menoleh ke kanan dan ke kiri, "sepertinya aku tidak melihat orang itu. Coba kau cari di dekat batu-batuan di sana. Kurasa, mereka bersembunyi di sana."
Karen menghela napas panjang ketika anak itu telah pergi menjauh. Jika tidak, mungkin anak itu akan memanggil teman-temannya dan entahlah apa yang akan mereka lakukan kepadanya.
"Kau sudah aman! Kau bisa keluar sekarang," ucap wanita itu kepada Karen yang masih bersembunyi di bawah kolong meja. "Aku tahu kau sedang bersembunyi," sambungnya sambil melipat tangan di da-da.
Karen akhirnya keluar dari persembunyiannya mau tidak mau. Pria itu menatap wanita yang sama yang memainkan piano tadi.
"Kau seharusnya berhati-hati jika tidak mau dikejar-kejar seperti tadi. Atau lebih baik lagi, kau tinggallah di rumah. Terkadang berada di rumah lebih aman daripada berkeliaran berkedok liburan." Tandas wanita berambut panjang yang mengenakan dress putih itu.
Karen terpesona sejenak sebelum sadar dengan kepergian wanita itu darinya, "siapa namamu? Siapa tahu kita bisa bertemu kembali. Aku suka sekali caramu memainkan piano."
Wanita itu menoleh, "kuharap, kita tidak akan bertemu lagi. Ini hari terakhirmu mendengar permainan pianoku!"
"Apa kau akan mati?" Tanya Karen tanpa berpikir.
Wanita itu menoleh kembali, "hm ... mungkin saja!"
Karen menatap kepergian wanita itu dari hadapannya. Sebenarnya, Karen tertarik dengannya—ingin bertanya banyak hal. Namun sayangnya, dia tidak bisa karena harus segera kembali ke rumah kayu. Berada di luar seperti ini, tidak akan selamanya aman. Dia harus segera kembali jika tidak mau diburu seperti mangsa oleh gadis-gadis tadi.
"Baiklah ... kita akan bertemu lagi." Ucap Karen seraya tersenyum tipis ke arah wanita yang hanya terlihat punggungnya saja.
***