BAB – 11

1453 Words
Jonas bangkit dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi. Pria itu tidak ingin membuat masalah dengan Luna. Ia akan menemui tunangannya itu sebentar, lalu akan kembali lagi menghabiskan hari bersama Amanda. Setelah membersihkan dirinya, Jonas pun bersiap menemui Luna. Ia meninggalkan Amanda seorang diri di kamar dalam keadaan terlelap. Tidak lupa, Jonas meninggalkan sebuah pesan dalam secarik kertas yang ia letakkan di atas nakas. Setelah memastikan semuanya aman, Jonas pun segera menghubungi Roni. “Halo, Pak Jonas.” “Pak Roni, anda di mana?” “Saya ada di bawah, sedang duduk-duduk di pos satpam hotel.” “Segera siapkan mobil, Luna minta ketemuan. Ia memaksa minta ditemani ke diskotik.” “Lalu urusan anda dengan nona tadi?” “Belum selesai, sepertinya ia lelah. Biarkan ia tidur dulu.” “Baik, Pak.” Jonas mematikan panggilan suara itu. Dengan langkah kaki gagah, Jonas pun berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai dasar. Di lobi hotel, Roni sudah menunggu pria tu. “Kita ke apartemen Luna,” ucap Jonas sesaat setelah masuk ke mobilnya. “Siap, Pak.” Roni segera mengemudikan mobilnya menuju apartemen Luna yang tidak jauh dari tempat mereka berada saat ini. “Ada apa, Pak? Sepertinya anda gelisah?” Roni memerhatikan Jonas dari balik kaca spion. “Aku tidak ingin menikah dengan Luna,” jawab Jonas, datar. “Tapi ke dua orang tua anda sudah memaksa.” “Justru itu, aku semakin membenci pertunangan ini. Luna seakan memanfaatkan semuanya. Aku bagai laki-laki yang tidak punya pendirian. Jika aku tidak menurutinya, maka ia akan mengadu kepada mami dan papi.” “Sabar, Pak. Urusan anda dengan nona tadi?” “Aku sama sekali belum menyentuhnya.” “Mengapa bisa?” “Entahlah, aku begitu gugup. Gadis itu pun tadi tiba-tiba saja menangis.” “Pelan-pelan saja, Pak. Bukankah anda masih punya waktu beberapa hari lagi? Lagi pula wajar saja jika ia menangis. Itu artinya ia adalah gadis baik-baik yang belum pernah disentuh oleh siapa pun selama ini.” “Maksud, pak Roni?” “Maaf jika saya lancang, Pak. Saya tahu betul wanita seperti apa nona yang anda bawa tadi. Ia adalah wanita yang sangat pᴏlos, baik, lugu dan kelihatannya sangat cerdas. Kalau bisa, anda perlakukan ia dengan manis dan baik. Sebab jika anda menyakitinya, ia akan terluka dan gairɑh anda juga akan lenyap.” Jonas menyeka wajahnya yang tidak basah. “Pak, saya kenal anda sudah sangat lama. Bahkan ketika anda masih kecil sekali, saya ini sudah jadi sopir anda. Anda pun sama dengan nona itu. Bedanya, anda sudah terbiasa dengan dunia malam, akan tetapi tetap teguh mempertahankan kehormatan anda.” “Saya tidak ingin menyakiti perempuan.” “Tapi anda akan menyakiti nona itu.” Jonas menatap tajam ke arah Roni, “Apa maksud anda? Bukankah saya sudah membayar mahal? Lagi pula, ia yang mau. saya tidak pernah memaksa apa lagi memerkosɑ” “Maaf, Pak. Lupakan saja kata-kata saya tadi. Kita sudah sampai di apartemen nona Luna.” “Hhmm ... saya akan menghubuginya.” Jonas mengambil ponselnya dan mulai menghubungi Luna. “Halo, Jo ....” Nada manis dan manja terdengar dari balik panggilan suara. “Kamu di mana? Saya sudah di bawah.” “Mengapa kamu tidak menjemput sampai ke pintu apartemen?” “Bukankah kamu tadi minta ditemani ke diskotik? Ayo kita berangkat sekarang.” “Jo, aku berubah pikiran. Bagaimana kalau malam ini kita habiskan waktu berdua?” “Jangan bercanda, Luna.” “Aku tidak bercanda, Jo. Kamu ini aneh ya ... biasanya lelaki lho yang akan memaksa wanitanya untuk berkencɑn. Kamu sudah aku kasih kesempatan, malah terus menghindar.” “Sudah berapa kali aku katakan. Aku tidak akan melakukannya sebelum kita menikah.” “Jo, kamu jangan sok suci begitulah ....” “Aku akan pergi sekarang!” “Aku akan laporkan pada mami.” “Laporkan saja, aku tidak peduli.” “Jonas! Kamu nyebelin ya ... Kalau bukan karena paksaan mami dan papi aku, aku juga nggak akan mau menikah sama kamu. Dasar cowok bɑnci!” “Terserah!” Jonas mematikan panggilan suara itu. Tidak hanya mematikan panggilan suara, akan tetapi juga mematikan ponselnya. Ia mulai gerah dengan sikap Luna—tunangannya. “Pak, kita kembali ke hotel.” “Lho, bukannya ingin menemani nona Luna ke diskotik?” “Tidak! Ia memintaku menemaninya di apartemen malam ini.” Roni mengangguk, “Baiklah.” Pria empat puluh empat tahun itu itu pun kembali mengemudikan mobilnya menuju The Lion hotel cabang Jakarta. - - - Jonas kembali ke dalam kamar dan mendapati Amanda masih dalam keadaan terlelap. Namun kini, tubuh gadis itu tidak lagi tertutup selimut dengan sempurna. Selimut Amanda tersingkap, gaun mini itu juga tersingkap. Jonas bisa melihat jelas bongkahan padat bagian bawah milik Amanda yang mengenakan G-stríng seksí. Jonas menelan salivanya. Lagi-lagi dahinya berkeringat melihat pemandangan indah yang ada di hadapannya. Akan tetapi, entah apa yang membuat Jonas enggan mendekati Amanda. Mentalnya belum terlalu kuat untuk menerkam gadis yang sudah ia sewɑ. Jonas melangkah menuju sofa bundar. Ia mengeluarkan dua botol wine dari sebuah kantong belanjaan dan meletakkan botol itu di atas meja. Jonas kembali menghempaskan bokongnya dengan kasar di atas sofa dan mulai membuka botol wine itu. Seraya menatap indahnya langit kota Jakarta di malam hari, Jonas kembali merenung, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu yang akhirnya membuatnya memutuskan mencari perawɑn. Jonas bukan tanpa alasan melakukan semua ini, semua ini semata-mata karena Luna—calon istrinya. Jonas yang awalnya biasa saja dengan pertunangannya dengan Luna, menjadi tidak berselera. - - - - - Flash Back Jonas baru saja turun dari pesawat dan menginjakkan kaki di pulau dewata bali—tanah kelahiran ibunda Jonas. Pria dua puluh lima tahun itu terpaksa menuruti keinginan ibunya untuk menemani Luna—tunangannya—berlibur di pulau Bali. “Hai, Jo. Apa kabar?” Luna—gadis cantik berpakaian mini—tersenyum ke arah Jonas. Wanita itu sudah menunggu di dalam mobil. “Okay ...,” jawab Jonas dingin seraya naik ke atas mobil. “Kamu masih belum berubah ya. Masih dingin dan kaku. Dari SMP kamu tu nggak berubah.” “Hhmm ....” Hanya sebuah gumamam yang terdengar lirih dari bibir Jonas. “Bagaimana perkembangan hotel di Padang? Bagus?” “Lumayan.” “Kenapa sih kamu milih kota itu. Bukankah lebih banyak kota lainnya yang lebih potensial?” “Siapa bilang kota itu tidak potensial? Justru aku menyukai daerah itu.” “Terlalu banyak aturan.” Luna mencoba menyalahkan keputusan bisnis Jonas. “Biarkan aku mengurus bisnisku sendiri dan kamu mengurus bisnismu sendiri. Bagiku kota itu sangat menyenangkan dan cukup potensial.” “Terserah kamu saja. Yang penting beberapa hari ini, kamu harus menemaniku liburan di sini. Di sini lebih asyik dari pada daerah lainnya.” Jonas tidak menjawab. Pria itu hanya menatap jalanan sementara Luna yang mengemudikan mobilnya menuju kediaman orang tua Jonas. “Hai, Sayang ....” Ibunda Jonas menyambut Luna dengan suka cita. Ia begitu menyayangi calon menantunya itu—anak dari rekan bisnis ayah Jonas. “Mami, apa kabar?” “Baik, Luna. Kenapa nggak bilang-bilang mami kalau mau jemput Jonas? Mami udah nungguin Luna lho dari tadi, nggak tahunya sekalian sama Jonas.” “Iya, Mi. Luna juga baru sampai kok tadi pagi. Ini juga make mobil teman, Mi.” “Lho, kenapa nggak langsung susul Jonas ke Padang saja? Bukan’kah lebih dekat dari Batam?” Luna menggeleng, “Luna nggak suka di sana, Mi. Luna lebih senang di sini. Luna sudah mencintai pulau ini. Luna bahkan ingin menetap di sini saja setelah menikah nanti dengan Jonas.” “Hhmm ... mami setuju.” Jonas tidak memedulikan percakapan antara ibunya dan Luna. Ia bergegas naik ke lantai dua menuju kamarnya. “Jo, kamu mau kemana?” “Jo mau istirahat, Mi.” “Lho, bukankah kamu ke sini itu untuk menemani Luna?” “Jo mau istirahat dulu.” Jonas tetap melangkahkan kakinya menuju lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. “Luna, maafkan sikap Jonas ya ....” “Ah mami ini, kayak aku yang baru kenal Jonas saja. Aku dan Jonas itu sudah berteman sedari kecil, jadi aku sudah tahulah bagaimana karakter anak tunggal mami itu.” “Bagaimana bisnismu, lancar?” “Lancar, Mi. Beberapa brand bahkan sudah aku export ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Respon mereka di sana cukup baik.” “Hhmm ... kamu memang hebat, Luna. Kamu dan Jonas sama-sama punya ilmu bisnis yang mumpuni. Kalian sama-sama hebat.” Luna dan ibunda Jonas pun menghabiskan hari mereka dengan berbincang ringan. Sementara Jonas lebih senang berkutat dengan pekerjaan atau berbaring di ranjangnya yang empuk, ketimbang harus menjalin hubungan dengan Luna. Jika saja bukan karena paksaan ke dua orang tuanya, Jonas tidak akan pernah mau menerima Luna sebagai calon istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD