Dekati, Pacari dan Campakkan

1682 Words
Gadis bertahi lalat itu meletakkan pesanan Alpha dan Jhon satu persatu di atas meja, dua porsi ayam kremes dan dua botol air mineral dingin. Mata pewaris tunggal Arkarna Company itu mulai memperhatikan lagi wajah pelayan kantin itu tanpa berkedip. Sebuah deheman John mengalihkan perhatian dia dari wajah gadis bermodel rambut pendek pixie itu, suara yang dihasilkan oleh pengawal pribadinya itu juga membuat pandangan mata pelayan kantin itu tertuju ke arah Jhon. “Ada yang bisa dibantu, Kak?” ujar gadis itu sambil tersenyum ke arah Jhon. Namun kalimat selanjutnya yang keluar bukan dari pemuda berbadan kekar itu tetapi dari pemuda berblazer di hadapannya. “Tadinya aku enggak percaya bahwa bidadari itu ada, Jhon.” Kalimat Alpha yang dijawab sebuah senyuman bodyguard-nya itu. “Maksudnya bagaimana, Kak?” tanya gadis itu ke arah Alpha. “Dulu aku tidak percaya Tuhan menciptakan bidadari juga di alam ini yang katanya bersayap itu. hari ini aku menyaksikan dengan kedua mataku sendiri ternyata bidadari itu ada, hanya saja dia tidak bersayap dan menyamar menjadi pelayan kantin,” ujar Alpha sambil menatap gadis di depannya. Gadis berseragam kantin itu tersenyum tersipu mendengar ucapan Alpha, wajah tanpa make up-nya semu merah, jelas sekali kalimat yang diucapkan oleh Alpha membuatnya agak salah tingkah. “Aku Alpha, mahasiswa hukum.” Alpha mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan pelayan kantin itu. Gadis itu sepertinya tidak menduga sama sekali akan diajak berkenalan oleh pemuda berwajah tampan di depannya. Dia membujuk dirinya sendiri supaya tetap bisa bertingkah biasa saja di depan kedua pemuda itu. Akhirnya tangannya menyambut uluran tangan itu sambil menyebutkan namanya. “Jingga, namaku Jingga, Kak.” Akhirnya dia menyebutkan namanya. “Nama yang indah, sesuai dengan pemiliknya yang mempunyai keindahan tiada tara,” ujar Alpha lagi, kembali wajah Jingga bersemu merah. “Bolehkah aku minta nomor kontak kamu, Jingga?” Alpha memberikan ponsel miliknya ke gadis itu, Jingga awalnya ragu untuk menerima ponsel itu tetapi kemudian dia mengetikkan nomornya tanpa memberikan nama di sana. “Terima kasih, Jingga. Aku chat kamu ya nanti,” kata Alpha masih dengan kedua mata yang masih lekat di wajah Jingga. “Silahkan, Kak.” “Jangan panggil Kakak, namaku Alpha. Panggil itu saja, aku tidak keberatan,” kata Alpha sambil memperbaiki duduknya. “Oh iya, ini temanku Jhon. Dia mahasiswa hukum juga, sekelas denganku.” Alpha memperkenalkan Jhon yang sejak tadi diam memperhatikan, Jingga menoleh ke arah pemuda kekar itu lalu mengangguk pelan sambil tersenyum sopan. “Baik, aku pamit ya, Kak. Khawatir mendapat teguran pemilik kantin jika terlalu lama mengobrol.” “Okey, see you later, Jingga.” Kalimat Alpha dijawab sebuah senyuman oleh Jingga yang sambil berlalu menjauh dari meja mereka. Pemuda itu meraih ponselnya yang tadi diletakkan di atas meja lalu memberikan nama pada nomor kontak yang diketikkan oleh gadis tadi dengan nama ‘Jingga’ “Dekati, pacari, campakkan. Sepertinya korban baru sudah ada, Bang?” seloroh Jhon setelah merasa suasana sudah aman. Alpha mengernyitkan dahi mendengar kalimat yang diucapkan oleh pemuda berkulit cokelat di depannya itu sambil menggelengkan kepalanya dua kali. “Bukan motto aku itu, Jhon. Tidak ada motto yang seperti itu, malah tidak pernah kepikiran yang seperti itu di benak. Melintas pun tidak.” “Lalu dengan banyaknya gadis cantik yang menjadi korban bergelimpangan itu apa penyebabnya, Bang? Apakah karena terpapar oleh Corona?” “Korban bergelimpangan?” Alpha tertawa mendengar istilah yang digunakan oleh pemuda di depannya itu. “Corona itu korbannya tidak bergelimpangan, Jhon. Mereka dikuburkan. Dengan sudah banyaknya gadis yang menjadi korban itu bukan berarti motto dekati, pacari dan campakkan itu, tetapi karena rasa bosan yang tiba-tiba hadir aja di pikiranku.” “Tetapi meninggalkan karena disebabkan oleh rasa bosan itu juga parah, Bang. Walaupun mungkin levelnya di bawah sedikit dari motto dekati, pacari dan campakkan.” “Ya habis bagaimana, Jhon? Tidak mungkin aku bertahan disaat sudah tidak ada rasa lagi dengan mereka. Bagaimana aku mau bertahan disaat mulai ada rasa bosan yang datang dan tiba-tiba ada perempuan baru yang lebih cantik, lebih manis dan lebih menggoda dari dia.” “Bagaimana rasanya ya mereka setelah dicampakkan, Bang?” “Tidak usah dipikirkan seperti apa rasanya, memang seperti itulah kisah cinta, Jhon. Selalu ada dua sisi yang melengkapi. Ada keindahan karena cinta, ada juga rasa sakit yang disebabkan olehnya.” “Ada satu hal lagi yang disebabkan karena cinta, Bang.” “Apa itu?” “Kesepian karena tak pernah dihampiri cinta, Bang.” “Wah, iya ya. Hal itu berlaku juga ternyata.” “Iya dan  itu berlaku kepada pemuda di hadapan Abang? Apakah aku ini kurang jelek sehingga mendapatkan satu perempuan saja ampun rasanya. Mungkin satu perempuan bolehlah dilempar kalau memang sudah bosan, Bang.” “Memangnya bola dilempar, Jhon?” Alpha melengkapi kalimatnya dengan sebuah tawa. “Serius, Bang. Ini bukan candaan. Mungkin dari sekian banyak yang pernah dekat dengan Abang ada satu yang bisa menjadi pengisi kekerontangan hati ini.” “Ampun itu bahasa, Jhon. Sangat sastrawi penuh dengan kenestapaan,” kata Alpha. Tiba-tiba kedua matanya melihat seorang gadis yang baru diputuskan seminggu lalu. Anindita. “Mungkin ada satu orang yang bisa mengisi kekosongan hati kamu, Jhon. Coba lihat ke selasar itu.” Alpha menunjuk gadis berambut panjang yang sedang menyelusuri selasar menuju kantin, dia sempat membalas sapaan mahasiswa yang menyapanya. Kulit putihnya terlihat kontras sekali dengan pakaian serba hitam yang dikenakannya. T-shirt ketat hitam dan celana denim yang sewarna dengan pakaian bagian atasnya. Pemuda itu yakin sekali Anindita yang kerap dipanggil Anin itu akan menuju kantin di mana mereka berada sekarang. “Anin, Bang?’ ujar Jhon sesaat dia menoleh ke arah Alpha. “Iya, Anin. Dia itu sampai sekarang masih penasaran banget denganku, Jhon. Apalagi dia tidak menerima sampai sekarang mengapa dia diputuskan. Bagaimana jika kamu saja yang menggantikan posisiku?” “Jika aku yang ditanya hal seperti itu sudah jelas sekali jawaban  pasti ‘mau’ yang akan keluar. Cuma yang agak merepotkan adalah jawaban yang akan keluar dari mulut Anin. Pasti dia enggak akan mau. Masa selepas pacaran dengan pangeran yang tampan mempesona lalu dekat dengan makhluk yang tidak jelas status sebagai manusiakah atau arang yang berjalan.” Jhon tersenyum di ujung bibirnya. Entah apa arti itu bagi dirinya, mungkin sebuah olokan kepada dirinya sendiri. “Anin itu cantik sekali, Bang. Kulitnya putih, senyumnya manis, bodinya oke. Apa kurangnya coba dari seorang Anin?” “Satu lagi yang belum disebutkan, Jhon. Dia anak orang kaya.” “Apalagi jika ditambah dengan oleh kalimat itu, Anin itu perempuan idaman. Mengapa sampai ditinggalkan, Bang?” “Lama-lama kamu bicaranya mulai seperti Anin, John. Selalu menanyakan apa alasan dia diputuskan.” Mereka tertawa berdua, tidak memperdulikan Anin yang sudah berada di depan kantin bersiap menghampiri keduanya. Sebuah senyum mengembang di wajah gadis itu melihat sang pujaan hati ada di kantin sesuai dengan dugaannya. “Sebenarnya pertanyaan itu sudah dijawab sebelum kita membahas nama dia, Jhon. Hal itu disebabkan rasa bosan yang menghampiri.” “Bosan ya, Bang?” Jhon mengangguk perlahan, mencerna kalimat pewaris tunggal perusahaan property itu. Kedua matanya melihat Anin yang tersenyum lebar seraya menuju meja di mana ada mereka berdua. “Halo, pemuda impianku,” sapa Anin sesaat dia berdiri di samping meja. Kedua matanya berbinar menatap Alpha yang pura-pura tak melihatnya. Gadis itu menarik kursi dari meja sebelah lalu duduk bergabung dengan dua pemuda itu. Jhon diam memperhatikan tingkah kedua makhluk di depannya itu, hatinya tertawa melihat dua sisi cinta di depannya itu. “Hai, Alpha. Segitu sengitnya kamu menyingkirkan cintaku kepadamu. Nomor diblokir, dihampiri tak dihiraukan.” Anin menatap mantan kekasihnya yang berada di hadapannya dengan mata penuh harap. Alpha melihat ke arah Anin, gadis itu gembira sekali akhirnya Alpha hirau akan hadirnya. Matanya berbinar bahagia. “Kamu harus tahu satu hal, Anin. Kita sudah putus, aku dan kamu bukanlah siapa-siapa lagi, sudah tidak ada cerita yang harus kita tetap jaga lagi.” Alpha mengucapkan kalimat itu datar sekali. Anin menelan ludahnya, sama sekali diluar harapannya untaian kata itu. “Tapi mengapa? Aku mencintai kamu, Alpha. Aku sangat mencintai kamu. Saat aku meminta alasan apa yang kamu miliki untuk memutuskan aku, kamu hanya diam membungkam seribu kata. Setidaknya berikan aku penjelasan dan alasan mengapa kamu melakukan hal itu kepadaku.” “Jika aku ungkapkan apa alasanku memutuskan kamu, rasa sakit yang akan ditimbulkan akan lebih tak terperi lagi, Anin. Biarlah alasan meninggalkan kamu tetap menjadi rahasia, biarlah alasan aku meninggalkan kamu tetap terbenam dalam kebisuan.” “But, honey ... Alpha, please ...” kata Anin sambil menggamit tangan pemuda itu yang ada di atas meja. Alpha melepaskan genggaman tangan itu yang disambut dengan dengus kecewa gadis berlesung pipi itu. “Setidaknya beri aku sebuah alasan supaya aku tahu kekuranganku apa, supaya aku tidak mengulanginya lagi, supaya aku bisa memperbaikinya.” “Kamu sudah cukup baik, Anin. Bahkan kamu lebih dari itu, kamu terlalu sempurna untuk menjadi kekasih seorang Alpha yang penuh dosa ini. Carilah orang lain, carilah laki-laki yang lebih baik dari aku.” “Honey, please ... Aku hanya ingin kamu, aku hanya ingin tertidur dan bangun tidur di sampingmu, melihat wajahmu terpejam dan bisa menyapamu setiap hari. I love you so much.” Tidak ada jawaban atas untaian kata pengharapan yang diucapkan oleh Anindita Beril hanya sebuah senyum kecil di ujung bibir pemuda itu atas kegilaan gadis berlesung pipi itu. “Itu saja, hanya senyum itu saja, Alpha. Aku ingin dengar kamu mengucapkan I love you too seperti sebulan lalu.” Masih dengan tatapan penuh harapan itu yang ada di mata Anin. Pemuda itu mengernyitkan dahi, lagi sebuah senyum kecil tersemat di sana. “Aku pernah mengucapkannya, Anin.” “Iya, satu kali. Aku ingin mendengar kalimat itu lagi, Sayang.” “Lho untuk apa? Sekarang kalimat itu hanyalah kalimat semu tanpa makna, di antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi.” “Makanya aku tidak mau diputuskan, aku ingin tetap di samping kamu, Sayang.” Anin berusaha menggamit tangan Alpha lagi, namun masih ditepis oleh pemuda itu. Sebuah dering telepon di ponsel Jhon menghentikan pembicaraan antara Alpha dan Anin yang masih mengiba dan mengais rasa. Pemuda berbadan kekar itu segera mengangkat panggilan itu setelah mengetahui siapa yang menelepon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD