Pertolongan Sang Ayah

1642 Words
AKU ANAK ORANG KAYA, MAS! "Mas, belikan aku baju bagus, ya! Please," rayuku dengan manjanya. Namun, rayuan berjuta kali pun tak membuat hati Mas Zaki iba. "Apa, Dek? Kamu tuh kan nggak ke mana-mana, ngapain pakai baju bagus?" tanyanya dengan muka nyolot. Memang aku tak pernah ke mana-mana, tapi kan setiap kali hendak pergi sibuk sendiri memakai baju apa? Sedangkan baju yang kupunya hanya itu-itu saja. Kubuang baju yang tak enak dipandang. Baju lusuh dan sobek sudah setahun lamanya. Masa iya istri dari pemilik bengkel besar hanya memakai daster setiap harinya? "Loh, kok dibuang?" tanya mertuaku yang tiba-tiba datang menyusup ke kamar. Astaga, ia datang di saat yang tidak tepat. Di saat aku ingin ngambek, merajuk agar dirayu oleh Mas Zaki. Ia malah muncul dan menanyakan baju yang kubuang. Aku bergeming, tak menjawab apapun yang ia tanya. Sembari kulihat mertuaku itu meraih kembali baju-baju yang telah kubuang. "Istri nggak ada rasa syukur! Kamu bisanya menggerogoti suami saja," tekannya. Ada rasa nyeri di d**a menusuk sedikit hati yang telah lama luka. Ini luka lama, tertoreh kembali olehnya. Kesekian kalinya ia ikut campur masalah rumah tangga kami yang baru berumur setahun. Hanya gara-gara hal sepele kadang kami ribut besar, itu dikarenakan mertua yang tiba-tiba datang dan mencoba mencuci otak Mas Zaki. Aku berlalu pergi dari kamar. Kemudian menepi di halaman depan. Sejenak aku berpikir untuk balas rasa sakit hati ini terhadap suami dan mertuaku. Namun, aku hanya bisa apa? Orang tuaku sudah tak mempedulikanku juga. Menikah dengan Mas Zaki dengan restu terpaksa dari papa. Setelah ia menikahkanku, sudah putus hubungan kami sebagai anak dan orang tua. Aku pikir, pilihan yang aku ambil adalah benar. Namun, kenyataannya seiring waktu berjalan, terkuak semuanya sifat dan tingkah laku Mas Zaki beserta keluarganya. Ingin cantik saja sulit sekali, padahal kulihat adiknya Mas Zaki terlihat menor saat ingin kuliah. Sedangkan aku, harus mengemis untuk dapat terlihat cantik di matanya. Tidak lama kemudian, ada telepon masuk datang dari nomor yang tidak dikenal. Lalu aku angkat, khawatir ini penting. "Selamat sore, dengan Mbak Ana Melissa?" tanya si penelepon di seberang sana. "Betul, ini dengan siapa?" tanyaku. "Saya orang kepercayaan Pak Ardi Dinata, ingin menjelaskan perihal perusahaan yang Pak Ardi berikan pada Mbak Ana, bisa kita ketemu?" tanyanya membuatku sontak kegirangan. Ada angin apa papa berubah pikiran memintaku untuk mengambil alih perusahaannya? "Bisa, kapan kita bertemu?" "Besok bisa, Mbak?" "Tentu saja, besok jam 9 pagi di cafe Ceria aku tunggu," sahutku kemudian memutuskan teleponnya. Tidak kusangka hati papa yang sekeras batu itu bisa hancur seketika. Perusahaan yang tidak pernah aku harapkan kini akan diberikan olehku. Menikah dengan Mas Zaki adalah pilihanku sendiri. Memang ada rasa menyesal saat ini memilihnya sebagai suami. Namun, ini sudah menjadi pilihan, makanya aku tak pernah keluhkan ini pada keluarga besar. Mas Zaki yang sudah tahu aku ngambek pun datang menghampiri, pasti ia ingin merayu dan berbaikan kembali. "Dek, maafkan Mama, ya." Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya. Kutepis dan tak melirik ke arahnya sedikit pun. "Pergi sana, aku tak mau dekat kamu!" tegasku dengan mata menyipit tapi memalingkan wajah dari Mas Zaki. "Dek, mau beli baju apa? Ayo kita beli sekarang, ya." Ia merayuku dengan mengiming-imingi baju. Aku sudah tidak tertarik lagi. Lihat saja nanti, uangku akan lebih banyak dari uangmu, Mas! Jiwaku mulai bergejolak, ingin membalas rasa sakit hati yang telah ia torehkan selama ini. Begitu pun dengan mertuaku dan adiknya, Yuni, yang selalu saja meremehkan aku yang tidak berpenghasilan. Menurut mereka, aku tidak bekerja ya tidak boleh dandan mempercantik diri. "Aku sudah tidak mood bicara soal baju, Mas!" ketusku sambil berdiri. Kemudian pergi meninggalkan Mas Zaki di halaman depan. Saat ingin masuk, berpapasan dengan adik ipar. Ia hendak pergi ke luar, parfum wangi sudah tercium, pasti ia ingin pergi foya-foya dengan teman kuliahnya. Brak .... Aku sengaja menabrakan diri pada Yuni, ia tersentak dan melotot ke arahku. Kemudian aku pun pergi tanpa meminta maaf padanya. "Eh, Kakak ipar sial*n! Nggak minta maaf lagi udah nabrak orang!" pekiknya. Aku tak peduli dengan celotehannya, yang terpenting aku puas menabraknya. Lihat saja nanti, aku akan membuat seisi rumah kaget. *** Pagi itu, aku pergi diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Setelah Mas Zaki pergi ke bengkel untuk memeriksa karyawan, aku pun pergi diam-diam. Mama Ayu sedang tak ada di rumah. Entah ke mana ia perginya. Sesampainya di cafe. Sudah ada Pak Gilang sebagai orang yang dipercaya papa untuk bicara denganku. "Mbak, ini surat dari Pak Ardi Dinata," pungkasnya sambil memberikan secarik kertas. [Papa tahu hidupmu menderita bersama Zaki. Mungkin selama ini kamu tidak menyangka, bahwa Papa dan Mama selalu mengawasimu. Kini, tindakan mertuamu sungguh keterlaluan, jadi inilah saatnya kamu tunjukkan pada mereka, bahwa mereka salah besar menyia-nyiakanmu! 1 tahun kamu menyimpan ini rapat-rapat. Papa menunggu dari mulutmu untuk kembali ke rumah, tapi kenyataannya Ana Melissa tetap keras kepala. Papa mohon, jadilah wanita tegas. Buatlah mertuamu malu telah menyia-nyiakanmu seperti ini!] Orang tuaku sudah memintaku untuk membuat keluarga Mas Zaki malu, apakah ini saatnya mereka tahu tentang siapa aku sebenarnya? Mungkin mereka pikir aku orang susah yang pantas diperlakukan seperti itu. Namun, kenyataannya adalah aku anak orang kaya, Mas! "Mbak ...." sapa Pak Gilang mengejutkanku. Aku membaca isi surat dari papa hingga tertegun. "Ya, Pak Gilang, aku nggak ngerti maksud dari Papa. Apakah ia menyuruhku pulang?" tanyaku padanya. "Nggak, Mbak. Menurut Pak Ardi, Mbak Ana beri pelajaran ke keluarganya dulu," sahutnya. Aku bergeming, mencerna lagi ucapannya. Apakah Mas Zaki termasuk orang yang harus diberikan pelajaran? Kemudian, Pak Gilang mengajakku pulang ke rumah Papa untuk melanjutkan bagaimana rencana papa sebenarnya. Aku ragu, masih ada cinta untuk Mas Zaki di dalam hati ini. Meskipun demikian, ia begitu terhadapku karena pengaruh ibu dan adiknya. "Ayo, Mbak!" ajaknya sambil bersiap mengeluarkan kunci mobil. Kemudian aku mengangguk dan mengindahkan ajakannya. Sepanjang perjalanan, aku masih tidak percaya bahwa papa telah mengintaiku selama ini. Padahal, aku pikir ia tak lagi menganggapku sebagai anak. Sesampainya di rumah papa, ia menyambutku dengan pelukan hangat. Begitu pun dengan mama. Ia rindu dengan anak pertamanya yang membangkang ini. Aku anak pertama dari dua bersaudara, adikku Sinta sedang belajar di luar negeri. Sedangkan aku, memang paling sulit diatur. "Gilang, tugasmu sampai sini dulu," ucap papa. "Baik, Pak." Kemudian Pak Gilang pergi dari rumah, tugasnya sudah selesai untuk saat ini. Aku memang tak pernah menunjukkan jati diriku pada Mas Zaki dan keluarganya. Itu dikarenakan papa tak menginginkan pernikahanku dengan Mas Zaki. Ia terpaksa menjadi wali nikah karena ancaman yang aku lontarkan pada saat itu. "Ana, kamu kurus sekarang, Nak. Baju yang kamu kenakan juga, astaga ...." Mama prihatin melihat keadaanku. "Mah, Pah, maafkan aku. Dulu membangkang kalian. Sekarang baru tahu, uang mengalahkan segalanya." Aku mengakui kesalahan yang telah aku lakukan. "Sudahlah, yang sudah terjadi biarlah, lebih baik sekarang kamu benahi saja, tapi Papa ingin kamu membuat malu mereka," ucapnya. "Pah, Mas Zaki tidak akan seperti itu kalau tidak ditekan oleh ibunya," sahutku. Kemudian, papa menatapku sambil tertawa sinis. "Kamu akan mengetahui siapa suamimu, dan mertuamu setelah memberikan mereka secuil pelajaran," sahutnya. "Maksudnya bagaimana, Pah?" tanyaku. Mama pun datang membawakan minuman dan makanan kesukaanku. Ada rasa rindu dimanjakan oleh mereka berdua. "Ini loh, makanan kesukaan kamu, Ana." Mama menyodorkan kebab kesukaanku. "Ah Mama membuatku lapar." Dengan lahapnya aku menyantap 2 hingga 3 kebab yang mama sediakan. Mereka berdua memandangku. Mungkin ada rindu juga di hati mereka, atau mungkin kasihan padaku? "Kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku. Lalu mereka pun tertawa renyah berbarengan. "Kami rindu dengan kamu, Nak." Mereka menjawab bersamaan. Setelah menyantap hidangan yang mama suguhkan. Aku kembali ke topik pembicaraan. Setelah sendawa beberapa kali yang membuat mereka tertawa tak henti-hentinya. "Kebiasaan kamu makan masih sama, ya!" ujar mama. "Lanjut ke pembicaraan tadi, Pah. Jadi bagaimana?" "Begini, kamu bawa mobil dan pakai perhiasan ini. Baju juga ganti dengan yang agak bagus, lalu kamu ke salon setelah pulang dari sini. Kemudian, kamu pulang ke rumah Zaki," ucapnya membuatku mengerutkan dahi. Kedua alisku menyatu karena heran, maksud papa aku diberikan fasilitas lalu ajak mereka? "Pah, aku masih belum paham," sahutku sambil mendekat. Kini aku dan papa berhadapan lebih dekat. "Nak, kamu ingin tahu bagaimana sifat Zaki sesungguhnya?" "Iya, Pah." "Lakukan apa yang papa suruh, papa pastikan mertuamu akan menuduhmu macam-macam." "Jadi, aku tak perlu bicara bahwa aku ini sebenarnya anak orang kaya?" tanyaku heran. "Tak perlu, kamu akan tahu bagaimana dengan sikap mereka setelah melihatmu membawa mobil dan perhiasan. Jika Zaki ikut menuduhmu yang tidak-tidak. Itu artinya, ia tidak layak untukmu, jelas sudah bahwa ia tak mempercayai istrinya sendiri." "Oh gitu maksud Papa, baiklah kalau begitu, Pah. Aku akan turuti semua rencana Papa." Kemudian aku diberikan kunci mobil, dan mama memberikanku perhiasan. Tak lupa juga ia memberikan segepok uang untuk aku pakai membeli sesuatu. "Ganti baju dulu sana." Aku bergegas ke kamar yang sudah setahun aku tinggalkan. Setelah memilih baju yang cocok untuk aku pakai. Akhirnya papa menyuruhku ke salon sebentar untuk memotong rambut dan beberapa perawatan. "Setelah ini kamu ke salon, nanti kabari lagi, oh ya, ini ponsel keluaran terbaru, pasti adik iparmu akan tercengang melihat ini semua," cetusnya. "Baik, Pah, Mah. Kalau begitu, aku pamit dulu." "Ingat, perusahaan yang akan menjadi milikmu, akan papa berikan setelah semua ini kamu bongkar," tegasnya terhadapku. Aku pun mengikuti saran yang papa berikan, ke salon lalu pulang dengan menggunakan mobil Honda jazz warna kuning yang sudah papa sediakan. Ke salon hanya beberapa jam saja, perhiasan dan tas yang kubawa sudah cukup membuat Yuni dan Bu Ayu akan tercengang melihat penampilanku. *** Tin ... tin ... Suara klakson sengaja aku bunyikan saat terparkir di depan rumah sejajar dengan mobil Mas Zaki. Tak lama kemudian, mereka pun keluar dari rumah, Bu Ayu dan Yuni terbelalak melihatku turun dari mobil yang papa berikan. "Mbak Ana!" teriak Yuni. "Zaki ...." Mama memanggil Mas Zaki untuk segera ke luar menemuiku di depan. Tidak lama kemudian, Mas Zaki ke luar dengan pandangan yang agak marah. Ya, aku tahu pandangan Mas Zaki saat ia emosi. Aku tersenyum tipis dan balik menatap Mas Zaki dengan tatapan sinis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD