Bab 2
"Masuk!" teriak Mas Zaki dengan keras. Kenapa jadi ia yang marah-marah padaku?
"Why?" tanyaku.
"Alah, kamu tuh Ana, w************n saja pamer segala," ucap Bu Ayu, mertuaku. Astaga, kenapa aku jadi dituduh hal yang tidak-tidak?
"Mbak, kamu tuh ya pake pamer segala, jual diri untuk ngedapetin mobil mewah dan perhiasan saja bangga banget," ketus Yuni.
Oh jadi ini yang papa maksud. Jadi tujuan papa seperti ini. Bagaimana mertuaku malah terus menuduhku dengan tuduhan yang belum tahu kebenarannya.
Aku tertawa tipis, kemudian berlalu pergi dari mereka. Percuma saja bicara pada orang yang merasa dirinya paling benar. Namun, dari sini aku semakin tahu, bahwa aku kaya raya pun yang tidak menyukai akan tetap mencari kesalahan.
Aku melangkah dengan gagah ke kamar. Kemudian, disusul oleh Mas Zaki yang tadi matanya merah padam.
"Itu mobil laki-laki yang tadi bersamamu di cafe?" tanya Mas Zaki sembari memegang lenganku. Kemudian, aku menatapnya kembali, ada tatapan cemburu di matanya.
"Jawab, Dek, jika kamu menginginkan mobil, aku bisa belikan untukmu, tak perlu menggoda laki-laki lain!" teriaknya. Aku dituduh olehnya telah menggoda laki-laki lain. Ini cemburu atau tidak percaya dengan istrinya sendiri?
"Kamu tidak percaya dengan istrimu?" tanyaku pelan.
"Bagaimana mau percaya, aku memiliki bukti bahwa kamu bertemu dengan seorang laki-laki di cafe, dan tiba-tiba kamu pulang dengan membawa mobil, memakai perhiasan, dan berdandan glamor seperti ini. Kamu juga pergi tanpa ijin. Ya, aku pantas lah mencurigaimu!" pekiknya membuatku terkejut. Telingaku terasa berdenging saat ia melontarkan kata-kata yang menyudutkan aku.
"Terserah kamu, Mas. Mau percaya aku atau orang lain," ketusku.
"Dek, aku mencintaimu, tolong jangan selingkuh hanya demi uang dan kemewahan. Percayalah, aku mampu membelikanmu pakaian yang layak dan mobil untukmu. Tapi aku mohon, jangan selingkuhi aku!"
Entahlah ia sedang bicara sungguh-sungguh atau hanya menyenangkan hatiku.
"Apa mas? Aku nggak salah denger? Kamu tidak ingat kemarin aku minta baju baru saja, kamu masih mikir-mikir. Apalagi ingin membelikan aku mobil dan perhiasan mewah, bisa mikir 7 hari baru dibelikan."
"Kamu sakit hati? Tidak harus menjual dirimu, Dek!" ejeknya. Ternyata benar suamiku tak mempercayaiku.
"Susah bicara pada orang yang hobinya mencari kesalahan orang lain. Terserah kamu mau percaya atau tidak! Intinya aku tidak menjual diri, kamu paham!" pungkasku.
Ponselku berdering, ada suara telepon masuk. Aku rogoh ponsel yang ada di saku celana. Ternyata dari Pak Gilang yang menghubungi. Pada saat itu pandangan Mas Zaki tak lepas dari ponsel bermerk harga fantastis.
"Angkat, kenapa tidak diangkat?" tanyanya mulai curiga. Aku yakin ia mencurigai Pak Gilang adalah selingkuhanku.
Aku bergeming, menatap wajah Mas Zaki yang sedang terbakar api cemburu. Tak habis pikir kepercayaannya hilang terhadapku hanya karena mobil dan perhiasan.
"Kenapa diam? Jangan-jangan itu selingkuhanmu? Ponselmu juga merk mahal. Kamu benar-benar wanita mura*an, Ana!" bentaknya dengan mata membulat. Bibirnya bergetar saat ia membentakku.
Dirampasnya ponsel yang aku pegang. Lalu ia bicara pada Pak Gilang dengan nada tinggi.
"Halo, dengar ya laki-laki penggoda. Ana itu istri orang. Tolong jangan ganggu lagi!" tekannya.
Mataku menyipit, dadaku bergemuruh melihat kelakuan Mas Zaki. Kenapa ia merendahkan aku? Menganggap istrinya sendiri wanita murah*n. Aku rampas ponsel itu kembali, kemudian aku ambil kunci mobil dan tas mewah yang tadi kubawa. Setelah itu hendak pergi dari rumah. Namun, Mas Zaki menahan lengan ini dengan kerasnya.
"Lepas!" Mataku menyorotnya dengan sinis. Kesal kian mendera saat mengetahui suami sendiri mencurigai istrinya dan lebih mempercayai orang tua dan adiknya.
"Mau ke mana?" tanyanya dengan menautkan kedua alisnya.
"Terserah aku mau ke mana, itu bukan urusanmu!" ketusku. Genggamannya semakin kuat hingga aku sulit melepaskan.
"Mau ke rumah Pak Gilang? Jadi kamu sekarang jadi wanita simpanan?" cibirnya. Ingin sekali aku menamparnya tapi aku tak mau mengotori tangan ini untuk menyentuh wajahnya.
Kemudian dengan sekuat tenaga, aku berhasil melepaskan genggamannya. Setelah itu, aku bergegas pergi dengan tujuan pulang ke rumah.
"Ana ... berhenti! Kamu keluar dari rumah, aku talak kau!" Astaga, suamiku mengeluarkan kata-kata itu? Baiklah, akan kulanjutkan pelajaran untuk kalian semua. Lihat saja nanti!
Aku pun keluar dari rumah Mas Zaki, ternyata di depan pintu kamar ada Bu Ayu dan Yuni. Sepertinya mereka telah menguping pembicaraan kami.
"Huh ... dasar wanita murah*n!" ledek Yuni, aku tetap bergegas pulang ke rumah papa tanpa menjelaskan siapa aku sebenarnya.
"Ana!" teriak Mas Zaki menyusul. Namun, aku sudah tak peduli dengan panggilannya. Ia sudah menalakku. Semua sudah berakhir, Mas, tanpa kamu tahu kebenarannya lebih dulu. Aku tak habis pikir, kamu tak percaya bahwa aku ini anak orang kaya.
Aku setir mobil dengan kecepatan tinggi. Kulajukan ke rumah papa kembali. Tak ada air mata yang menetes di pipi. Entahlah, mungkin air mata ini sudah kering hingga tak lagi berurai.
Mas Zaki, pria yang telah memintaku menjadi istrinya setahun lalu. Kini, ia menalakku. Memang baru sekali ia menalakku. Namun, aku tidak bisa kembali dengannya begitu saja, setelah apa yang ia katakan terhadapku tadi.
Kata-kata yang ia lontarkan akan menorehkan luka di hati. Mungkin baginya ini hanya sebuah emosi, tapi bagiku ini adalah jati dirinya, begitu rendahnya diriku di hadapannya.
Jadi teringat setahun silam, di saat Mas Zaki bertemu dan langsung menyuntingku.
***
Setahun lalu
Aku yang terbiasa bermain dengan anak-anak jalanan, sedang duduk di tepi jalan bersama-sama. Kami menyanyi bersenda gurau di pinggir jalan. Hingga akhirnya datang laki-laki yang tidak sengaja menabrak salah satu dari kami.
Brugh ....
"Au ...." Lita menjerit saat kakinya terlindas sebuah motor yang dikendarai oleh pria berjaket kulit.
"Eh, kamu tuh kalau naik motor liat ke jalan. Kita tuh dah di pinggir, tapi masih aja kamu lindas!" teriakku sembari menunjuk wajahnya yang tertutup helm. Kemudian, ia membuka helm dengan segera.
Setelah ia buka, laki-laki berjaket kulit itu mengucek matanya. Ia memang kesulitan membuka matanya. Sepertinya terkena debu di jalan.
"Maaf, Dek. Saya benar-benar tidak melihatnya. Maaf ya!" ucapnya sembari mengucek matanya. Kemudian ia terus menerus mengedipkan matanya. Hingga akhirnya bisa memperhatikan wajah kami.
"Jadi kamu itu tidak lihat ada kami di sini?" tanyaku lagi.
"Iya, Dek. Maaf ya. Ini uang untuk berobat ke rumah sakit." Ia menyodorkan uang sekitar satu juta rupiah.
Aku raih uangnya, kemudian kuberikan pada Lita yang sudah agak lebih mendingan.
"Maaf, Dek. Ada yang bisa antar saya dengan motor ini tidak, ya?" tanya laki-laki yang belum memperkenalkan namanya.
"Saya bisa antar," tunjukku. Kemudian, aku antarkan ia kembali ke tempatnya. Sebuah bengkel mobil yang lumayan besar dan ternama di kota ini.
Setibanya di sana, aku memberikan motornya kembali. Lalu aku berkenalan dengannya.
"Namamu siapa? Rumah di mana?" tanya Mas Zaki.
"Aku Ana Melissa, rumahku rahasia."
"Loh, kenapa rahasia?"
"Hanya laki-laki yang mau menyuntingku dengan segera yang boleh tahu alamat rumahku," pungkasku. Kemudian, ia meminta nomor kontakku untuk kenalan lebih lanjut.
"Kalau begitu, aku meminta nomer telepon selulermu, boleh?" tanyanya sembari memegang layar ponsel dan bersiap save kontak. Lalu aku sebut nomor kontak dan ia pun menyimpan kontakku.
"Aku pamit," tukasku.
"Hati-hati, terima kasih sudah mengantarkan aku ke bengkel. Ini bengkel milikku." Sombong sekali laki-laki ini, tapi boleh juga dengan tanggung jawabnya terhadap kecelakaan tadi.
Kemudian aku pulang, dan bertemu dengan papa dan mama. Ia sudah pulang dari kantor, seperti biasa aku dimarahi karena ketahuan bolos kuliah.
"Ana, dari mana kamu?" tanya papa.
"Pulang kuliah, Pah."
"Bohong, Papa tahu kamu bohong," cecarnya. Kemudian aku duduk di sampingnya.
"Papa akan menikahkan kamu dengan Roy, anak dari Pak Darun." Aku tersentak mendengar ucapan papa.
"Pah, aku belum siap. Lagi pula aku sudah memiliki calon laki-laki yang akan menjadi suamiku!" jawabku dengan percaya diri.
Tidak lama aku berucap seperti itu, telepon berdering. Dari nomor yang tak dikenal. Kemudian, aku mengangkatnya sebentar saat papa hendak membicarakan pernikahanku.
"Halo, Ana."
"Ya, ini siapa?"
"Aku Zaki, bisa bicara sebentar?"
Aku segera pergi meninggalkan mereka, bicara dengan Mas Zaki, si laki-laki yang tanpa sengaja menabrak Lita tadi.
"Ada apa?"
"Kamu bersedia menikah denganku?" Aku tersentak mendengar ajakannya. Ada apa ini? Papa memintaku untuk menikah dengan Roy. Di sisi lain, ada Mas Zaki yang menyuntingku secara tiba-tiba.
"Loh kenapa aku?" tanyaku terkejut.
"Mama memintaku menikah dengan wanita pilihannya. Aku tidak mau, karena tidak mencintainya. Bolehkah aku menjadikan kamu seorang istri?" Aku terdiam, tapi tak henti-hentinya berpikir. Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Aku dan dia sama-sama dipinta untuk menikah dengan pilihan orang tuanya.
"Baiklah, aku setuju. Aku pun sama dengan kamu. Diminta untuk menikah cepat, tapi dengan pilihan orang tua."
"Oh ya? Berati kita jodoh, bisakah aku melamarmu besok?" tanyanya.
"Aku bicara pada orang tuaku terlebih dahulu. Nanti aku hubungi kamu kembali!" Telepon pun terputus. Aku kembali berkumpul dengan papa dan mama.
"Siapa?" tanyanya sinis.
"Pah, aku akan menikah."
"Syukurlah, akhirnya kamu mau menikah dengan Roy." Mama sebegitu bersyukurnya mendengar ucapanku yang baru setengah.
"Mama, aku menikah bukan dengan Roy. Ada laki-laki lain pilihanku."
Mama dan papa saling beradu pandangan sembari menggelengkan kepalanya.
"Ana, Papa tidak akan menyetujui. Khawatir laki-laki pilihanmu hanya memanfaatkan kamu, Ana!" tegasnya.
"Apa Roy tidak memanfaatkan Papa?" tanyaku.
Papa dan mama bergeming, tidak lama kemudian, papa melontarkan kata-kata yang mengejutkanku.
"Papa tidak akan merestui kamu, tapi Papa bersedia menjadi wali nikah untukmu!" tekannya. Ia menuturkan kata-kata dengan penuh ancaman.
"Maksud Papa?" tanyaku.
"Kamu boleh menikah, tapi jangan beri tahu pada keluarganya siapa jati diri kamu sebenarnya. Setelah kamu menikah pun ikut dengan suamimu!" Papa mengancam atau serius?
"Sesak d**a Mama, Nak. Kenapa kamu memilih laki-laki itu?"
"Mah, aku baru bertemu dengannya sekali, tapi kok aku merasa kami jodoh."
"Sudah, Mah. Kita masih memiliki Sinta yang nurut dengan kemauan orang tua!" tegasnya.
"Baiklah, aku setuju dengan keinginan Papa." Aku menantangnya. Dari pada harus menikah dengan Roy, si laki-laki hidung belang, lebih baik aku menikah dengan Mas Zaki saja.
Kemudian, aku memberikan kabar kepada Zaki. Bahwa aku telah menyetujui ajakannya untuk menikah dengannya.
Perkenalan singkat dengan Mas Zaki telah menumbuhkan benih cintaku padanya. Begitu juga dengannya, yang lebih memilihku ketimbang gadis pilihan mamanya.
Acara lamaran dilakukan di rumah kecil yang papa sewa. Ia tidak mau memperlihatkan kekayaan kami karena belum mengenal Mas Zaki lebih dalam.
***
Aku melewati jalanan tempat kami bertemu dulu. Kemudian, aku turun dari mobil. Sedikit mengenang tempat ini, tempat awal mula Mas Zaki menabrak Lita. Kira-kira bagaimana kabarnya Lita sekarang ya? Sejak menikah dengan Mas Zaki, aku tak lagi bertemu dengannya.
Aku raih ponsel yang ada di tas, tapi ternyata kontak sudah tidak aktif lagi. Ah rasanya ingin cerita padanya bagaimana rumah tanggaku saat ini.
Aku kembali ke mobil dan hendak pulang ke rumah papa. Namun, papa sudah menghubungiku terlebih dahulu.
"Halo, Pah."
"Bagaimana?" tanyanya. Aku tahu ia sudah mengetahui jawabanku tapi berpura-pura menanyakan lagi padaku.
"Aku sedang on the way pulang, Pah."
"Jangan dulu, Papa punya tugas untukmu, tolong belikan bunga mawar berduri dan kirim ke alamat Jl. Tiga Dimensi nomer 5. Tolong Papa kirim bunga itu, ya!" suruhnya. Aku pun menyatukan kedua alis. Kenapa harus aku yang kirim? Bukankah papa memiliki banyak anak buah?
"Pah, kenapa aku? Males ah!"
"Ana, tolong Papa, ya!" perintahnya lagi.
"Baiklah, aku akan antar. Pengirim dari siapa?"
"Tak usah kasih nama pengirimnya," sahutnya. Kemudian telepon pun terputus.
Aku pun membeli bunga mawar berduri seperti perintah papa. Kemudian mengirimkan bunga itu ke alamat yang papa berikan.
Setelah sampai, di sebuah rumah minimalis, kelihatannya rumah orang berada. Di depan garasi juga ada sebuah mobil lumayan mahal terparkir. Entahlah, bunga ini papa kirim untuk siapa. Aku hanya mengikuti perintahnya.
Aku tekan bel rumah yang ada di depan. Kemudian keluarlah si pemilik rumah. Seorang wanita cantik yang berpakaian modis, wajah manis yang terpancar dari balik pintu itu tersenyum tipis kepadaku. Sepertinya aku kenal wanita itu?