Orang Suruhan

1670 Words
Bab 3 "Lita?" tanyaku keheranan. Wanita cantik berpakaian modis menghampiriku. "Kamu, kok tahu rumahku?" tanya Lita balik. Aku bingung kenapa papa menyuruhku memberikan bunga mawar berduri ini kepada Lita. "Emm, aku ...." Aku mencari alasan kenapa mengirim bunga ini untuknya. "Hei, Ana. Jawab jujur padaku. Kamu tahu alamat ini dari siapa?" tanya Lita. Ia menanyakannya sembari mengelus perutnya yang agak buncit. "Kamu sedang hamil? Kapan nikahnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Aku ... iya, sedang hamil 6 bulan!" tukasnya sembari tersenyum. "Nih bunganya, aku tidak tahu itu bunga dari siapa? Ada di meja cafe beserta alamat ini. Makanya aku antar ke sini, rupanya rumahmu, Lita." Akhirnya aku mendapatkan alasan mengada-ada pada Lita. "Terima kasih, ya. Kamu mau masuk dulu?" tanyanya. Namun, ponselku berdering, papa menghubungiku lagi. Segera aku angkat telepon dari papa. "Iya, Pah," jawabku. "Pulang, Nak." Kemudian telepon pun terputus. Aku bergeming saat papa memintaku pulang dengan segera. "Ana, siapa yang telepon? Zaki ya?" tanyanya. "Hah ... bukan. Aku permisi dulu ya! Kapan-kapan mampir ke sini deh, siapa tahu kamu sudah melahirkan." "Salam ya, untuk Zaki!" pesannya. Namun, aku hanya memberikan senyuman saat ia menitipkan salam untuk Mas Zaki. Aku mengendarai mobil kembali, Lita pasti mengira mobil ini adalah pemberian Mas Zaki. Padahal, aku tak pernah diberikan ia mobil mewah seperti yang Lita rasakan saat ini. Ternyata Lita lebih beruntung dariku, ia mendapatkan suami yang royal terhadapnya. Rumah dan mobilnya itu pasti pemberian suaminya. Aku tahu betul, Lita kan anak jalanan. Sementara itu, aku terus memikirkan maksud papa mengirimkan bunga terhadap Lita, tanpa nama pula. Apa maksud papa? Nanti akan kutanyakan langsung pada papa. Setibanya di rumah, aku langsung melempar tas dan kunci ke sofa. Rasa kesal masih terasa di hati. Apalagi setelah melihat nasib temanku yang beruntung. Ada penyesalan dalam diri ini saat melihat gaya hidup Lita. Sesalnya aku tak menuruti keinginan papa dulu. "Bagaimana, bunga sudah terkirim?" tanya papa tiba-tiba muncul dari belakang. "Sudah, oh ya, kenapa Papa bisa kenal dengan Lita? Maksud dan tujuan Papa mengirimkan bunga untuknya itu apa?" tanyaku panjang lebar. "Besok pukul 09:00 WIB, kamu periksakan ke Dokter Lia Rinata SpOG. Papa sudah buatkan janji." "Pah, aku tanya apa malah jawabannya apa!" keluhku. "Iya, itu jawabannya!" timpalnya membuatku heran. Tanya apa jawab apa? Astaga papa kenapa memberikanku teka-teki di saat seperti ini? "Lalu kenapa aku harus memeriksakan kehamilan?" tanyaku lagi. Heran saja kenapa papa menyuruhku melakukan hal yang aneh terus? "Kamu itu mau mengajukan cerai, papa ingin pastikan kamu tidak dalam keadaan hamil, karena papa juga tidak mau jika kamu tengah hamil bercerai. Kasihan anakmu nanti!" sanggahnya. Aku paham sekarang, kenapa papa menyuruhku cek kondisi kehamilan, tapi kan bisa melalui testpack? "Pah, tes kehamilan bisa testpack loh!" protesku. "Kamu ingin tahu jawaban Papa, kenapa menyuruh kirim bunga mawar berduri, kan? Nanti di sana juga akan ada jawabannya. Oh ya satu lagi, minggu depan ada interview untuk para pelamar kerja di kantor. Kamu yang tes interview, ya!" tunjuknya. Masih belum paham maksud papa mengenai bunga mawar, kini ia memerintahkan interview. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan? Kenapa tidak bicarakan saja padaku? "Kenapa aku lagi, sih, Pah? Nggak mau ah!" tolakku. Aku belum berpengalaman interview calon pekerja. "Nurut kenapa, sih?" sungutnya. Papa mulai emosi bicara dengan anaknya. "Alasannya?" tanyaku. "Yuniar Sucipto itu melamar kerja di kantor, besok psikotest, minggu depan interview kamu yang hadapi dia!" ketusnya. Ternyata adiknya Mas Zaki melamar kerja di kantor papa. Baiklah kalau begitu, aku akan membuatnya menyesal telah mencemoohkan aku dulu. "Oh, baiklah kalau begitu alasannya." Akhirnya aku mengindahkan perintahnya. *** Sejak kepergianku dari rumah, Mas Zaki tak lagi menghubungiku. Sepertinya ia serius menalakku. Ada rasa kesal dan sesak di d**a saat melihat ponsel tak ada notifikasi masuk darinya. Namun, ini semua menjadi lebih jelas, bahwa ia tak pantas dipertahankan. Jam dinding menunjukkan pukul 08:30 WIB. Aku rasa masih ada waktu untuk ke dokter kandungan dalam waktu setengah jam. Jadwal yang papa janjikan pada Dokter Lia Rinata SpOG. "Pah, Mah, aku berangkat dulu, ya! Ingin tahu juga jawaban bunga mawar itu." "Kamu hati-hati, Sayang," pesan mama papa sambil mengecup pipiku. Aku lihat papa juga sedang bersiap ke kantor. Kemudian aku pergi ke rumah sakit yang telah papa tunjuk. Aku tidak mungkin hamil, tidak ada tanda-tanda sedang mengandung. Jadi, pasti dokter pun akan memberi tahu bahwa tidak ada janin di rahimku. Setelah sampai di sana, aku langsung diperiksa oleh Dokter Lia. Ia sopan sekali saat bicara. Memang tak ada apapun di dalam rahimku. Persis seperti dugaanku. "Jadi saya tidak hamil kan, Dok?" "Tidak, Bu. Ini surat keterangan bahwa Ibu negatif. Pak Ardi yang meminta harus membuatkan ini untuk Bu Ana." "Kalau begitu, saya permisi, terima kasih banyak, Dok!" Aku pun meninggalkan ruangannya. Kemudian aku bergegas kembali ke parkiran. Teringat ucapan papa, bahwa aku akan menemukan jawaban tentang bunga mawar, tapi kenapa belum juga ada jawabannya? Sebelum ke parkiran, aku menghubungi papa terlebih dahulu. Untuk memastikan bahwa aku tidak hamil sekaligus menanyakan bunga mawar tersebut. "Halo, Pah." "Ya, Sayang. Bagaimana?" "Negatif, Pah." "Syukurlah." "Bagaimana dengan bunga mawar?" tanyaku lagi. Aku pun duduk di ruang tunggu tepat di depan farmasi, tempat orang menunggu antrian obat. "Kamu sekarang tengok ke arah loket farmasi, kemudian kamu perhatikan, siapa laki-laki ber- jas hitam yang sedang antri di depan farmasi!" pinta papa. Aku pun melangkah ke arah antrian farmasi dengan hentakan satu demi satu. Tepat di belakang bobot laki-laki yang memakai jas hitam, aku menepuk pundaknya. Kemudian, ia menoleh ke arahku. Jadi, ini laki-laki yang menyunting Lita? "Maaf, Mbak, ada apa ya?" tanyanya sontak membuatku terperanjat. Masa iya aku tanya persoalan bunga mawar pada laki-laki ini? "Maaf, Mas. Apa betul Mas ini suaminya Lita?" tanyaku. Ada perasaan tak nyaman saat menanyakan hal ini padanya. Laki-laki itu terdiam dan mengerenyitkan dahinya. Kemudian, ia mengalihkan pembicaraan karena sudah dipanggil oleh petugas obat. "Maaf, Mbak. Nomer antrian ku sudah terdengar." Aku pun mundur dan kembali ke belakang. Kemudian, aku cari dari sudut ke sudut wanita yang pernah menjadi teman nongkrong di jalan, Lita. Namun, aku tak menemukan batang hidungnya di area rumah sakit ini. Informasi dari papa sangat membingungkan. Kenapa ia tidak memberitahuku saja dari mulutnya? Aku raih ponsel yang tersimpan di dalam tas, kemudian menghubungi papa kembali. "Halo, Pah. Laki-laki yang mengenakan jas hitam tadi, aku belum sempat menanyakan pernikahannya dengan Lita. Ia sudah dipanggil petugas obat." Papa mendesah di telepon. Terdengar suara helaan napasnya ada rasa kecewa. "Oh, jadi kamu salah orang? Bagaimana bisa Gilang memberikan informasi yang salah pada Papa!" keluhnya. "Pah, kenapa tidak katakan saja padaku, maksud Papa berikan bunga mawar itu pada Lita?" cecarku. Aku jadi penasaran terus dibuatnya. "Ana, Papa ingin kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Papa juga ingin kamu tahu kebenarannya langsung tepat di matamu, tidak dari mulut Papa." Rupanya ada sesuatu hal yang sedang papa sembunyikan. Apakah Lita itu sebenarnya orang kaya raya? Sama halnya sepertiku yang pernah menyamar sebagai anak jalanan? Kalau iya, kami berdua sama-sama penipu. "Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Telepon pun terputus, aku pamit untuk pulang. Setelah ini mengurus gugatan cerai ke pengadilan. Di parkiran mobil, kulihat ada sebuah mobil yang tak asing. Kuperhatikan dengan seksama, kuamati dengan teliti, sepertinya ini mobil Mas Zaki. Kenapa ia berada di rumah sakit? Apa Mas Zaki tengah sakit? Tiba-tiba di pikiranku ada keinginan untuk menghubunginya. Namun, keinginan itu aku pendam saat melihat seseorang yang datang menghampiri mobil tersebut. Ternyata bukan mobil Mas Zaki, tapi aku yakin sekali, plat nomor kendaraan sangat aku hapal. Kemudian, untuk memastikan bahwa pemilik mobil tersebut adalah Mas Zaki atau bukan. Aku menghampiri laki-laki tersebut. "Mas, maaf. Ini mobil Mas Zaki atau bukan ya?" tanyaku sesaat laki-laki itu hendak membuka pintu. "Betul, Mbak. Saya pinjam mobilnya untuk menjenguk teman," sahutnya sembari menundukkan wajahnya. "Oh gitu, terima kasih informasinya, Mas." Kemudian aku kembali ke mobilku. Ia pun menyetir mobil Mas Zaki yang telah dipinjamnya. Aku segera kembali pulang, tapi papa menghubungiku lagi. Ada apa lagi ini? Apa masih persoalan bunga mawar? "Nak, sebaiknya setelah dari rumah sakit, kamu pergi ke restoran yang berada di jalan kelinci," suruhnya. Papa memerintahkanku untuk pergi ke sana ke sini tapi tak kunjung ada hasilnya. Lama-lama aku pun jenuh dengan ini semua. "Pah, aku mau pulang, capek!" ketusku. "Ya sudah, terserah kamu saja," pungkasnya. "Pah, memang ada apa sih sebenarnya?" tanyaku penasaran. Aku lelah dengan teka-teki ini, tapi tak dapat dipungkiri, hati ini pun berkeinginan mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Apa yang sedang papa ingin tunjukkan padaku? "Kalau kamu ingin pulang, terserah kamu, Papa tutup teleponnya, ya!" timpalnya. Kemudian telepon terputus. Aku menghela napas sembari memarkirkan mobil ini. Kemudian, melaju untuk pulang. Namun, di perjalanan, pikiranku terus menuju ke restoran jalan kelinci. Rasa penasaranku kian memacu. Akhirnya kuputar setir dan menuju jalan kelinci. Aku ikuti arah google maps, yang sudah terlihat dekat dan tidak jauh dari rumah sakit. Hanya saja beda arah dengan rumah papa. Rumah makan yang papa sebutkan sudah tepat di titiknya. Ternyata rumah makan yang dulu sering aku kunjungi bersama Lita saat ia mentraktirku. Apa mungkin Lita sedang berada di sini dengan suaminya yang tadi di rumah sakit? Lalu untuk apa papa menyuruhku mengikutinya? Setelah memarkirkan mobil, aku coba hubungi papa kembali. Namun, belum sempat menghubungi papa, aku bertemu dengan Pak Gilang di parkiran. Laki-laki yang sebenarnya hanya beda lima tahun dariku, tapi aku lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan Pak. Itu dikarenakan ia adalah kaki tangan papa yang setia. "Pak Gilang ada di sini?" tanyaku heran. "Iya, Mbak. Saya sudah pesankan kursi untuk Mbak. Mari masuk!" Aku keheranan mendengarnya. Hingga kedua alisku menyatu karena bingung dengan ulah papa. Aku pun mengangguk, dan mengikuti arah Pak Gilang jalan. Ia menunjukkan kursi dan mempersilahkanku duduk. Makanan yang ia pesan pun sudah banyak, sepertinya akan makan siang dengan temannya juga. "Pak Gilang ada janji dengan orang lain juga?" tanyaku heran. "Iya, Mbak. Sebentar lagi mereka juga datang." Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Tak lama kemudian, Pak Gilang berdiri, aku pun ikut berdiri, entahlah siapa yang akan ia sambut kedatangannya. Aku lihat di hadapanku tidak ada siapa-siapa. Kebetulan, aku dan Pak Gilang duduk berhadapan. "Selamat siang, Pak Gilang!" sapa dua orang dari arah belakangku. Kedengaran telingaku, satu suara wanita, satu lagi suara laki-laki. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD