Kemudian, papa dan mama turun dari tangga ke anak tangga lainnya. Semua para tamu undangan seketika menyorot mereka berdua. Terlebih-lebih Mas Zaki dan Lita, mereka mulai saling beradu pandangan. Sedikit-sedikit Mas Zaki menoleh ke arahku. Ada rasa heran terpancar di matanya.
Setelah anak tangga terakhir yang orang tuaku injak, Pak Gilang segera mempersilahkan kembali mereka berdua untuk segera menaiki panggung.
“Marilah kita sambut, Pak Ardi Dinata beserta Bu Fatma Ningtyas. Kepada Pak Ardi dan Bu Fatma, diperkenankan untuk naik ke atas panggung,” tutur Pak Gilang mempersilahkan orang tuaku naik ke atas panggung.
Aku tersenyum tipis ke arah mereka berdua. Aku rasa di hati mereka sedang bertanya-tanya, untuk apa aku merahasiakan jati diri ini terhadap mereka berdua.
Mas Zaki, ia pasti mengenal wajah orang tuaku yang sedang berdiri di atas panggung. Mengingat saat menikah dulu, papa adalah wali sah dalam pernikahan kami yang berujung hancur.
Papa sudah bersiap memberikan kata-kata sambutan. Kulihat wajah sepasang tamu yang sedang gelagapan itu, mereka berdua tertunduk malu yang selalu memalingkan wajahnya saat papa menatap wajah dua insan yang sombong itu.
Kesombongannya terlihat tatkala meremehkan aku yang dikira anak jalanan sungguhan. Perlakuan Mas Zaki dan keluarganya terhadapku, yang menikah secara diam-diam dengan Lita adalah salah satu bentuk meremehkan aku.
Jika pernikahan yang aku jalani hanya sebatas janji, maka janji itu akan mudah diingkari, berbeda dengan cinta yang berasal dari hati, itu pastinya akan tetap bersemi.
Sinta mulai mendekatiku, tangannya merangkul pundak ini, seraya adik dan kakak yang saling menguatkan.
Aku tersenyum tipis melihat adikku datang untuk menguatkan, inilah kenyataan, bahwa hidup yang kita pilih itu terkadang tak seindah yang kita harapkan.
“Tetap tenang dan sabar, Kak,” bisik Sinta tepat di telingaku.
Kemudian, aku menghela napas dalam-dalam, agar lebih tenang saat menyaksikan papa yang sebentar lagi memanggil namaku untuk maju ke depan.
Wajah Mas Zaki mulai bercucuran keringat, tampaknya rasa malu kian berapi-api. Apalagi sebelumnya ia sangat terlihat sekali membanggakan Lita, istri keduanya.
“Baiklah, hadirin sekalian. Sebelumnya terima kasih banyak atas kedatangan kalian dalam rapat terbuka ini. Setelah anak kedua saya tadi mengumumkan bisnis propertinya, kini akan saya umumkan anak sulung saya yang akan mewarisi perusahaan yang sudah bertahun-tahun saya kelola.” Papa berhenti sejenak, matanya berkaca-kaca, sepertinya terharu atas perjuangan selama ini.
Mama yang berada di sampingnya memberikan sehelai tisyu, aku yakin papa mengeluarkan air matanya karena selama setahun ini melihatku tidak bahagia. Bukan hanya itu, selama ini ada wanita lain yang singgah di dalam pernikahanku dan Mas Zaki.
Mungkin bagi laki-laki ini hal biasa. Namun, berbeda dengan laki-laki yang bergelar ayah, ia akan merasa sakit saat mengetahui anaknya disakiti oleh laki-laki lain selain dirinya.
Seorang ayah selalu berusaha menyenangkan hati anak wanitanya. Jadi, ketika ada laki-laki lain yang masuk di kehidupan anaknya, kemudian menorehkan luka yang amat perih di d**a. Maka, tak ada yang bisa menutup luka itu kembali.
Suasana masih hening, apalagi setelah melihat air mata papa tak sengaja tumpah di hadapan para tamu.
“Langsung saja, saya akan panggil anak pertama saya, Ana Melissa, silahkan naik ke panggung menemani kami berdua. Sinta tolong temani kakakmu naik ke atas panggung!” suruhnya dengan suara gemetar.
Sinta menggandeng tanganku, kemudian kami naik berdua ke atas panggung. Rasa gemetar itu seketika hilang saat memeluk tubuh laki-laki yang ternyata amat mencintaiku.
“Pah, terima kasih,” ucapku sambil menitihkan air mata. Pelukan erat dari kedua orang tua yang kucinta membuat aku terharu.
Rasa haru pun terpancar dari arah para tamu undangan. Mereka semua tertegun menyaksikan kami berempat.
Mas Zaki dan Lita yang masih terdiam di depan sana. Kulihat sebentar-sebentar memejamkan mata mereka. Apa mereka tak sanggup menyaksikan kenyataan ini?
Aku mulai memegang mikrofon yang ada di hadapanku. Kemudian, memberikan sedikit kata sambutan untuk para tamu undangan.
“Terima kasih banyak atas perhatian para tamu undangan. Untuk itu, saya ingin menyampaikan bahwa mulai hari ini, saya resmi menjadi pewaris dari PT. Asam Manis Makmur. Untuk para karyawan dan staff di sana, mohon bimbingannya juga pada saya yang baru merintis.”
Aku terdiam sejenak, untuk melanjutkan kata-kata selanjutnya membutuhkan hati yang benar-benar tenang.
“Baiklah, saya juga ingin meminta maaf pada orang tua yang telah saya tinggalkan selama setahun ke belakang. Maaf, maafkan Ana yang tak pernah mendengarkan ucapan kalian. Maafkan Ana yang selalu merasa benar sehingga tak mempedulikan nasihat kalian,” pungkasku. Air mata ini tak ada hentinya mengalir, padahal selama ini tak pernah aku perlihatkan di hadapan Mas Zaki atau siapapun.
Kemudian, mereka bertiga kembali memelukku erat-erat. Tepukan tangan pun mulai terdengar kembali di telingaku.
Setelah mengungkapkan semua kebenaran dan kenyataan. Mama dan papa pun sudah melepaskan pelukannya, aku terkejut melihat sosok kedua orang yang sengaja diundang papa ternyata sudah tidak berada di tempat.
“Mereka pergi, Kak,” bisik Sinta. Ternyata Sinta tahu bahwa aku celingukan karena mencari keberadaan mereka berdua.
“Baiklah, kalau begitu, silahkan menikmati hidangan. Saya perwakilan dari keluarga Ardi Dinata, mengucapkan banyak terima kasih atas kehadiran kalian,” sambungku. Kemudian, kami berempat turun kembali ke tempat para tamu.
“Acara kami tutup dengan hidangan, silahkan menikmati semua yang telah dihidangkan,” tambah Pak Gilang.
Kemudian kami bicarakan ini berempat di bawah. Sementara, aku masih penasaran dengan mereka berdua. Sudah pulang atau sedang mencari sesuatu untuk menutup wajah mereka agar tidak malu ketika bertemu denganku?
“Ke mana mereka?” tanyaku pada papa. Ia hanya tersenyum.
“Kak, sudahlah tak usah dicari, tidak penting mencari mereka,” tukas Sinta.
“Pah, sudah selesai kejutannya?” tanyaku manja. Ia meraih kepalaku lalu diciumnya rambut ini.
“Ada, masih ada kejutan untuk Zaki. Kamu tenang saja, ya! Semua sudah Papa atur, jika meleset, ada cara lain untuk membuat mereka tak lagi meremehkanmu,” jelasnya kemudian meletakkan kepalaku di bahunya.
Hari ini melelahkan sekali, tapi puas rasanya sudah membuat Mas Zaki dan Lita terbelalak menyaksikan pertunjukan pengakuan jati diriku.
Aku dan Sinta kembali ke kamar, kami berdua sudah lama sekali tidak pernah bertemu. Aku menikah pun ia tak dapat hadir. Sinta wanita berprestasi yang selalu mencari ilmu ke manapun ia mau.
“Kak, aku tuh baru tahu kalau Kak Ana sudah menikah, Papa baru cerita dua minggu yang lalu. Itu pun karena memintaku untuk hadir saat rapat terbuka,” tutur Sinta. Itu artinya, papa telah menyiapkan ini sejak lama. Astaga, kalau aku menolak ajakan Pak Gilang pada tempo hari mungkin rencana yang papa telah susun rapi gagal dan buyar.
“Sin, kamu tahu Kakak, kan? Jiwa pemberontak, tapi tahu nggak? Kakak nyesel,” sesalku.
Bagaimana tak menyesal, kalau saja aku tak menikah dengan Mas Zaki, pasti aku sudah bahagia dengan Roy.
“Kak, jangan begitu, semua pasti ada hikmahnya, pilihan Papa juga belum tentu baik, Roy terbukti membawa kabur anak orang,” bisik Sinta. Ia khawatir papa mendengarkan ucapannya.
“Yang benar kamu, Sin?” teriakku terkejut. Tak lama kemudian, papa datang karena mendengar teriakanku barusan.
“Ngomongin siapa?” tanya papa yang baru saja datang. Kemudian ia duduk tepat di tengah-tengah kami berdua. Rasanya seperti anak kecil yang sedang dilerai oleh papanya.
“Nggak, Pah. Nggak ada apa-apa.”
Papa mendesah, kemudian mengejek kami berdua dengan memiringkan mulutnya.
“Itu loh, Pah. Laki-laki yang pernah mau dijodohkan dengan Kak Ana. Roy, ingat, kan?” tanya Sinta. Papa mengangguk dan masih mengejek dengan bibirnya yang ia miringkan.
“Iya, tahu. Apa sih yang nggak Papa tahu!” Dengan sombongnya ia memuji dirinya. Aku tahu, papa sedang bercanda ria dengan anak-anaknya.
“Ya, aku saja kaget dengan apa yang telah Papa lakukan selama ini. Sekali lagi terima kasih banyak, ya Pah. Ana masih nggak nyangka loh, dari bunga mawar yang sengaja papa berikan, kemudian Pak Gilang yang mengajak mereka bertemu di restoran. Ah, pokoknya Papa Ardi Dinata ia the best.” Aku dan Sinta pun memeluk papa erat-erat.
Kemudian Sinta menyalakan remote televisi. Layar berukuran 32 inch yang menempel di dinding itu memuat berbagai berita. Kami semua mulai menyaksikannya. Alangkah terkejutnya, berita terkini yang kami baca adalah sebuah kebakaran besar terjadi di sebuah rumah warga.
“Itu sepertinya aku kenal lingkungannya!” teriak Sinta.
“Coba volumenya dibesarkan!” perintahku pada Sinta. Ia pun mengambil remote yang telah diletakkannya di samping. Wanita bertubuh langsing dan berambut ikal itu, ikut menyimak berita yang tertera di layar.
Aku perhatikan alamat lengkap yang tertera di layar adalah Jl. Nangka Jerami nomer 12.
Bersambung