Kebakaran

1583 Words
Nama jalannya seperti dekat bengkel Mas Zaki, tapi alamat lengkapnya bukan. Sinta menambah volume televisi tersebut, dan kami perhatikan seksama. “Pah, itu rumah temanku kan? Ayumi!” teriak Sinta sambil menepuk paha papa. Aku hanya memperhatikan lingkungan sekitarnya, tepat sekali itu adalah rumah Ayumi, temannya Sinta. “Oh, Ayumi teman SMA kamu dulu?” Papa berusaha mengingat nama yang Sinta sebut. “Itu dekat dengan bengkel Mas Zaki, Pah,” tunjukku. Kemudian kami perhatikan kembali berita yang sedang disiarkan secara langsung. “Suasana di lingkungan semakin ricuh, banyak orang malah memanfaatkan situasi saat kebakaran berlangsung. Menjarah ke berbagai toko dan bengkel.” Begitulah pembaca berita menyiarkan berita terkini. Aku dan papa menoleh bersamaan, itu bengkel milik Mas Zaki, secara gamblang terlihat sedang diburu oleh para penjarah. “Kak, itu gerbang bengkel sampai roboh gitu!” Sinta terperangah melihat bengkel yang dirobohkan pagarnya. Terlihat berbagai toko juga diserang oleh para perusuh. “Sudah masuk berita kok tidak ada takutnya!” sungut papa. Wajahnya ikut kesal melihat penjarahan yang terjadi. Padahal berawal dari kebakaran di sebuah rumah, yang ternyata rumah dari temannya Sinta. Kami masih menyaksikan berita tersebut, polisi tengah membubarkan dengan senapan angin, dan perlahan massa pun bubar. Sampai akhirnya terlihat jelas di layar televisi, wajah Lita dan Mas Zaki yang keluar dari bengkelnya. Para wartawan pun mewawancarai mereka. Aku lihat dan dengarkan ucapan Mas Zaki di layar kaca. “Maaf, Pak Zaki, bagaimana perasaannya bengkel Bapak habis terjarah oleh massa?” tanya reporter televisi. “Saya tidak tahu harus bicara apa tentang ini, yang saya ingin lakukan saat ini adalah membawa istri saya ke rumah sakit. Maaf, saya tidak bisa berlama-lama diwawancarai,” timpalnya membuatku terkejut. Lita kenapa harus dibawa ke rumah sakit? “Baik, Pak. Terima kasih informasinya,” ucap reporter itu mengakhiri. Kemudian, Mas Zaki pun tak nampak lagi di layar televisi. “Pemirsa, demikian berita terkini yang dapat kami sampaikan. Kebakaran satu rumah yang menyebabkan kerusuhan di sekitarnya.” Sinta pun mematikan layar televisinya. Kemudian papa memerintahkan Sinta untuk menghubungi temannya itu. Siapa tahu butuh bantuan di saat seperti ini. Aku yang masih tak habis pikir dengan penjarahan di bengkel Mas Zaki. Kemudian berinisiatif untuk menghubunginya. Namun, papa mengambil ponsel milikku. “Untuk apa? Papa tahu kamu sedang mencemaskan Zaki? Sudahlah laki-laki itu lebih mementingkan Lita ketimbang kamu!” pungkasnya. Aku terdiam sejenak, hanya mengangguk. Bukan kasihan dan iba pada Mas Zaki, apalagi cemas! Bukan itu! Namun, aku sedang memikirkan laporan yang aku ajukan kepada pihak kepolisian. Apa aku cabut saja? Sepertinya Mas Zaki sudah cukup mendapatkan pelajaran dari Tuhan atas perbuatannya. “Tapi Pah, aku rasa jika masalah dengan Mas Zaki, cerai saja sudah cukup tak perlu mengkasuskan pernikahan dia dengan Lita, meskipun tanpa sepengetahuanku, kita cabut kasusnya saja, itu menurutku,” tukasku pada papa. Kemudian papa tertawa tipis, sambil mengelus-elus rambutku. “Kamu tega ninggalin Papa demi Zaki, saat ini Zaki tertimpa masalah pun kamu tetap mikirin Zaki. Kalau tahu seperti ini, lebih baik kemarin tak perlu Papa bongkar semuanya,” protesnya. Aku menghela napas, ternyata papa sebegitu dalamnya sakit hati terhadap aku yang pernah meninggalkannya. Meninggalkan orang tua hanya demi laki-laki yang baru sehari kukenal, itu adalah sebuah penyesalan terdalam. Tidak ada yang kusesalkan dalam hidup ini selain bertemu dengan Mas Zaki. Menyesal bertemu dengannya kemudian memilih untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengannya. “Maafkan aku, Pah. Baiklah kalau begitu, aku tidak akan mencabut laporannya. Maaf, ya Pah,” tuturku sembari memeluknya. Agar ia tak lagi mengira bahwa aku mengasihani Nas Zaki. “Kalau masalah penjarahan yang terjadi, itu bukan urusan Kak Ana, Kak Ana kan yang tersakiti masa jadi lemah gini?” ungkap Sinta. Jika mencerna ucapan papa, memang aku yang salah, dulu telah meninggalkan dia. Semoga saja hatiku tak lagi iba pada Mas Zaki, agar mengerti dengan perasaan papa saat ini. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, tubuh wanita yang mungil sudah bersiap entah mau ke mana perginya. Biasanya, ia memang jarang berada di rumah. Selalu ingin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Begitulah Sinta, adikku. Ia wanita yang berbakat dalam hal apapun. Kami berempat berhadapan di meja makan. Baju biru yang aku kenakan, membuat papa dan mama mentertawakanku. Mereka sedikit-sedikit memutar pandangannya pada Sinta, kemudian pindah ke arahku. Sepertinya sedang membedakan baju yang kukenakan dan Sinta. Memang berbanding terbalik dengannya, Sinta yang sudah memakai blazer merah senada dengan sepatu dan tasnya. “Kak, kamu mau ikut denganku, nggak?” tanya Sinta saat menyiapkan sepotong roti untuk ia sarapan, selai coklat yang sedang mama pegang pun sudah diraih olehnya. Favorit Sinta memang sarapan roti dengan selai coklat, berbeda denganku yang harus sarapan dengan nasi goreng dan telur ceplok mata sapi. “Kamu mau berkunjung ke tempat temanmu? Lokasi terjadinya kebakaran kemarin. Iya, kan?” “Iya, Kak. Aku mau ke rumah Ayumi, ikut yuk! Siapa tahu nanti bertemu dengan Mas Zaki dan selingkuhannya,” ledek Sinta sembari mengunyah rotinya. “Kamu tuh, becanda terus,” cibirku. Ada ekspresi kesal yang aku tunjukkan saat Sinta becanda terhadapku. “Ikut saja sana, jangan lupa disiapkan hatinya melewati bengkel mantan suami yang sudah berantakan,” ledek papa. “Ganti baju, Sayang. Berpakaian seperti adikmu, Sinta. Jangan seperti biasa kamu pakai sehari-hari. Sekarang kamu itu sudah menjadi pemimpin perusahaan,” sambung mama. Kemudian aku bergegas ke kamar, untuk mengganti pakaian. Sepertinya memang aku harus ikut ke sana. Ingin tahu kondisi bengkel setelah penjarahan. Aku dan Sinta bersiap untuk pergi ke rumah Ayumi, sekaligus lewat di depan bengkel milik Mas Zaki. “Aku berangkat, ya Pah, Mah.” Kucium pipi mereka berdua. Papa pun sudah bersiap ke kantor. Ia masih harus mengurusi kantor, karena aku belum cukup ilmu untuk melanjutkan sendirian. “Nanti langsung susul ke kantor, ya. Papa ingin menjelaskan kerjaan yang akan kamu jalani nantinya,” tuturnya. “Pasti, Pah. Setelah menemani Sinta, aku akan minta Sinta gantian yang menemaniku.” Sarapan pun telah usai, kami beranjak dan bergegas ke lokasi kebakaran terjadi, yang tidak jauh dari bengkel milik Mas Zaki. Satu mobil dengan Sinta, itupun hal yang telah lama tak pernah kami lakukan. Kami itu dua kakak beradik yang jarang bertemu. Masing-masing memiliki kesibukan dan berbeda tujuan. Aku dan Sinta memakai mobil miliknya. Kemudian, bergegas ke rumah Ayumi, teman SMA Sinta. Sesampainya di sana, memang ada Ayumi yang tengah merapikan rumahnya. Sinta yang sudah lama tak bertemu dengannya pun menyergap tubuh wanita seksi tinggi semampai itu. “Ayumi,” panggilnya. “Ya ampun, kamu Sinta?” “Iya, kamu yang sabar, ya,” peluk Sinta padanya. “Iya, aku baik-baik saja. Bersyukur kami sekeluarga selamat,” ucap Sinta. “Memang apa penyebab kebakaran, Ayumi? Kenapa bisa terjadi seperti ini?” tanya Sinta menyelidik, semacam polisi yang sedang menyelidiki kasus kejahatan. “Sudah ditangani pihak kepolisian, entahlah penyebabnya apa, sepertinya dari arus listrik,” timpal Ayumi. Kami berbincang-bincang di depan rumahnya. Kebetulan Ayumi sedang berada di luar untuk memperhitungkan apa saja kerugian yang telah ia alami. Tidak hanya rumah Ayumi, aku lihat beberapa toko dan bengkel diberikan garis kuning oleh pihak kepolisian. Semua yang dijarah mendapatkan perhatian khusus oleh polisi. Aku coba menghampiri bengkel yang dulu ramai pengunjung itu, di mana setiap pagi sudah antri beberapa mobil untuk diservis. Tidak untuk hari ini, semuanya terlihat sepi. Tak ada karyawan yang menghampiri bengkel tersebut. “Kak Ana apa kabar?” tanya Ayumi. Ia membuyarkan lamunanku saat menatap bengkel Puas Sejahtera yang sepi. “Baik, Ayumi. Maaf, mau tanya, ini yang dijarah kemarin mendapat ganti, atau asuransi nggak?” tanyaku penasaran. Aku lihat banyak mobil pelanggan yang rusak juga akibat penjarahan itu. “Sepertinya ini tergantung pemiliknya. Jika ia mengasuransikan, pasti diganti,” tuturnya. Kemudian aku tersenyum tipis padanya. Tak ada lagi pertanyaan yang aku lontarkan. Hanya menyayangkan saja dengan sikap massa yang arogan, hingga merugikan banyak pihak. Sinta mengangkat tangannya, melihat jam tangan yang ia kenakan. Pasti ia sudah selesai berbincang-bincang pada Ayumi. “Kami pamit, ya. Kalau butuh apa-apa, hubungi aku saja,” tandas Sinta. “Terima kasih, ya. Kalian datang ke sini saja aku sudah bahagia,” timpalnya. Kemudian kami pamit dan hendak masuk ke dalam mobil. Namun, tiba-tiba ada yang mencegah dan memanggil namaku dengan suara lantang. “Mbak Ana!” teriaknya. Sepertinya aku kenal dengan suara wanita yang barusan memanggilku. Aku dan Sinta menoleh, ternyata Yuni yang memanggilku. Ada apa dengannya? Apakah ia juga tengah mengetahui aku bukan orang sembarangan? “Ada apa?” Aku menjawab dengan nada datar. Kemudian Yuni menghampiriku dan menarik rambutku seketika. “Dengar ya, Mbak. Kamu tidak bisa mempermainkan keluargaku seperti ini!” tekannya. “Hei, lepaskan kakakku!” tegas Sinta sembari menepis dan mendorong Yuni hingga ia terjatuh. “Au ... Si*lan kalian!” teriaknya. Kemudian, Ayumi yang merasa ini adalah lingkungannya mencoba melerai. “Ini ada apa? Kamu siapa?” tanya Ayumi yang tidak mengetahui bahwa itu adalah mantan adik iparku. “Sudah, Ayumi. Ia bukan siapa-siapa,” tutur Sinta. “Puas kamu, Mbak? Puas!” sentak Yuni. Teriakannya seketika membuat warga sekitar berkerumun lagi. Yuni kenapa teriak seperti itu? Penjarahan yang terjadi kan bukan ulahku? Kenapa ia meneriaki aku seperti ini? Tidak lama kemudian, saat suasana ramai, telepon genggamku pun berdering. Panggilan masuk dari nomer yang tak dikenal. “Hallo, dengan Ana Melissa?” “Betul, ini siapa?” “Kami dari pihak kepolisian,” tukasnya membuatku terkejut. Mataku yang coklat mengarah ke Sinta. Dadaku mulai bergetar hebat saat mendengar petugas kepolisian menghubungi. Apakah aku dituduh dalam penjarahan kemarin? Astaga, ada rasa takut menjawab telepon ini. “Iya, Pak. Ada apa, ya?” tanyaku mencoba menenangkan diri. Ada Yuni yang sedang mentertawakan aku tepat di depan mata ini persis. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD