JALAN TERBAIK 3

1358 Words
#Alifi . . . Tak butuh waktu lama aku sudah sampai di kantorku. Perjalanan rumah-kantor hanya setengah jam. "Pagi Boz!" Sapa Leo. Sekretarisku. Aku mengangguk pelan dan berjalan menuju mejaku. Leo mengekor di belakangku. "Apa jadwal hari ini Le?" Tanyaku setelah aku melepas jasku dan ku sampirkan di punggung kursi kebesaranku. Leo lalu duduk di kursi depan meja kerjaku. "Meeting jam 9. Semua berkas udah gue siapin!" Aku berjalan pelan menuju jendela besar yang langsung menampakkan suasana luar gedung. Aku terdiam sambil menatap aktifitas pagi di luar. "Kenapa?" Pertanyaan Leo membuatku menoleh ke arahnya. Kenapa apanya? "Maksudnya?" Tanyaku balik. "Apa.... ada masalah?" Aku kembali menatap keluar jendela. Aku menghela nafas panjang. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku celanaku. "Biasa. Nyokap!" Leo manggut-manggut. Akhir-akhir ini aku sedikit tertekan. Bunda tampaknya serius dengan perkataannya. Mengenai perjodohanku. Di umurku yang sudah genap 28tahun aku bahkan belum mempunyai calon pendamping hidup. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan sampai-sampai aku tak ada persiapan untuk membangun rumah tangga. Bukannya tidak siap tapi sampai saat ini aku belum menemukan yang cocok di hati. "Lo kan punya segalanya Lif. Apa yang lo mau bisa lo dapatin dengan mudah. Kenapa nggak nyoba membuka diri?" Aku tersenyum tipis mendengar petuah Leo. Dia sekretarisku sekaligus teman curhatku. "Susah nyari yang cocok Le!" "Lo kan tau. Siska suka sama lo!" "Siska? Siska HRD maksud lo?" Tanyaku. Leo mengangguk. Gila. Siska yang kurus kering. Kerempeng. Rambut lurus cepak. Haduuuh...sama sekali bukan typeku. Aku tak memandang wanita dari segi fisik tapi aku manusia normal tentunya ingin mempunyai seorang istri yang enak di pandang. "Buat lo aja Le. Gue ikhlas kok!" Sambungku lalu duduk di kursiku. "Ogah. Krempeng gitu. Mana ada asiknya!" Naah bener kan. Leo aja bilang krempeng? "Lagian udah tau krempeng masiiih aja lo tawarin ke gue!" Aku menggeleng pelan sambil menahan tawaku. Meeting setengah jam lagi di mulai. Leo pamit keluar untuk menyiapkan keperluan. Mengecek apa ada yang kurang atau tidak. Semoga meeting kali ini berjalan lancar. Aku tidak mau terganggu dengan masalah Bunda yang terus menghasutku untuk segera menikah. Dalam kamusku jodoh tak akan lari kemana! Aku terus berkutat di depan layar komputer. Kalau saja Leo tak memberitahuku, aku tidak mungkin sadar kalau hari sudah sore. Kebiasaanku sebelum pulang adalah melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Shalat Ashar dulu. Dengan begitu aku bisa langsung istirahat nanti di rumah. Dalam doaku. Aku hanya meminta di berikan jodoh terbaik dari yang terbaik menurutNya. Seiman dan mencintaiku apa adanya. Bukan ada apanya. Setelah selesai dengan ritual rutinku aku mengemasi barang-barangku. Waktunya pulang! Supirku sudah siap di balik kemudinya. "Mampir ke minimarket bentar ya Mang!" Kataku sambil meletakkan tas kerjaku di samping tempat dudukku. Mang Jaja menjawabnya sambil mengangguk. Aku menyandarkan punggungku dan mencoba memejamkan mataku. Sebenarnya aku agak malas jika pulang ke rumah. Bukan tidak ingin bertemu orang tuaku tapi pertanyaan Bunda yang selalu sama. Kapan bawa calon mantu ke rumah? Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Kapan Ya Allah Engkau pertemukan aku dengan jodohku? "Sudah sampai Mas!" Kata-kata Mang Jaja menyadarkanku. Mobil berhenti di sebuah minimarket. Setiap hari Senin, Rabu dan Jumat aku selalu mempir ke sini membelikan sesuatu untuk Bunda. Bisa di bilang kegiatan rutin. Aku segera keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam minimarket. "Selamat datang. Silahkan berbelanja!" Sambutan dari karyawan minimarket ini membuatku tersenyum. Suara yang sama beberapa minggu ini. Aku langsung melangkah ke deretan rak. Mencari barang yang akan aku beli. Setelah selesai aku langsung membayarnya di kasir. "Ini saja Pak? Apa ada yang lain?" Tanyanya ramah. Aku mengernyit. Pak? Apa wajahku setua itu? Okelah...tak apa. "Iya cukup Mbak!" Kasir itu mulai menscan belanjaanku dan memasukkannya ke kantong belanjaan. "Semuanya 124ribu rupiah Pak!" Aku langsung menyodorkan kartu debitku. Dia menerimanya. Proses pembayaranpun selesai dan kantong belanjaan dia sodorkan ke arahku. "Terima kasih dan selamat datang kembali!" Ucapnya. Aku tersenyum lalu ku raih barang itu. Aku melangkah sambil mengamati struk belanjaanku. Tapi ada yang aneh. Aku berhenti di depan pintu dan masih memastikan kalau penglihatanku tidak salah. Setelah yakin dengan apa yang aku lihat aku kembali menuju kasir. "Silahkan Pak ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya ramah. Aku menyodorkan struk belanjaanku. "Maaf mbak. Apa ini nggak salah ya? Saya kan belanjanya 124ribu kenapa jadi 1.240ribu?" Kasir itu tampak mengamati struk yang aku berikan dan sedetik kemudian raut mukanya berubah. "Ma-maaf Pak. Saya tidak sengaja. Ini kesalahan saya. Maaf!" Ucapnya seraya menunduk. "Ada apa Sil?" Suara seseorang yang muncul dari deretan rak dan menghampiri kami yang berada di kasir. "Maaf Bu. Saya tidak sengaja melakukannya. Saya kelebihan memasukkan digitnya!" Kasir itu tampak ketakutan. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya sementara kedua tangannya saling bertautan. Tubuhnya sedikit gemetar. "Maksudnya gimana Sil. Bisa kamu jelaskan?" Tanya orang itu lagi. Sepertinya dia kepala toko di sini. Aku hanya diam, mengamati kasir wanita itu. Ada sedikit rasa kasihan dalam hatiku. "Bapak ini tadi belanja senilai 124ribu rupiah Bu. Tapi saya gesek 1.240ribu ru--piah!" Jelasnya lirih agak tersendat waktu menyebutkan nominalnya. "Ck. Kamu ini gimana. Kamu kan tau kalau kelebihan uang tidak bisa di kembalikan langsung. Ibu harap kamu bisa tanggung jawab atas kesalahan yang sudah kamu lakukan!" Kasir itu mengangguk. "Iya Bu!" "Maaf ya Pak atas ketidaknyamanannya. Maaf. Nanti biar di ganti sama dia!" Jelas orang itu. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. "Maaf Pak. Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya--!" "Sudah biarkan saja. Anggap saja itu tidak terjadi. Mungkin saya yang kurang bersyukur. Akhir-akhir ini saya sering lupa untuk beramal!" Aku mencoba mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Kulihat raut wajahnya masih masam. Aku segera pamit keluar sambil menenteng kantong belanjaanku. Saat akan membuka pintu mobil tiba-tiba aku di kejutkan oleh suara seseorang yang memanggilku. "PAK TUNGGU!" teriaknya. Aku menoleh dan mendapati kasir itu berlari ke arahku. "Iya. Ada apa?" Tanyaku dengan kening mengernyit. "Maaf atas kejadian tadi. Saya berjanji akan menggantinya--!" "Tak apa. Tak perlu..lupakan saja!" selaku. Dia menatapku dan matanya berkaca-kaca lalu meraih tanganku dan menggenggamnya. "Tolong Pak. Saya janji akan menggantinya. Mungkin untuk Anda nominal itu tidak seberapa tapi tidak untuk orang seperti saya!" "Tidak usah Mbak. Saya ikhlas kok--!" "Tolong Pak!" Selanya dengan cepat. Matanya masih menatapku dengan genangan air mata yang siap tumpah. "Tolong terima permohonan maaf saya dan ijinkan saya mengganti uangnya karena kalau tidak saya akan di keluarkan dari toko ini Pak. Saya hanya berharap toko ini yang bisa menyambung hidup saya!" Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Aku mengusap tangannya. Mencoba memberinya ketenangan. "Oke. Oke. Saya terima permintaan maaf kamu. Dan saya juga menerima tawaran kamu untuk mengganti uang saya--!" "Terima kasih Pak. Terima kasih!" Dia langsung menciumi tanganku. Dan seketika jantungku berdegup kencang. Ada seorang kaum hawa mencium tanganku. Ini untuk pertama kalinya dan dia memcium tanganku layaknya sepasang suami istri. Aku tersenyum melihatnya. Mungkin ini bentuk rasa senangnya. "Sudah sudah. Tolong jangan berlebihan!" Aku menarik tanganku dan akhirnya terlepas. "Maaf Pak. Saya tidak bermaksud kurang ajar. Saya hanya merasa senang!" Aku ikut tersenyum saat melihatnya tersenyum. Sungguh sangat manis. Ia lalu menyusut matanya yang tergenang oleh air mata. "Akhir bulan saya janji untuk mengembalikannya Pak. Setelah saya gajian saya langsung menemui Anda." "Baiklah. Saya tunggu ya!" Aku kembali tersenyum. Diapun mengangguk. Aku membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Tok tok tok Aku menoleh saat suara itu kudengar. Jendela kaca mobilku sepertinya ada yang mengetuk. Tampak dia masih berdiri di luar. "Ada apa?" Tanyaku setelah aku menurunkan kaca mobilku. "Em...cara untuk bertemu Anda Pak. Maksudnya...saya tidak tau alamat rumah Anda!" Oh iya. Aku lupa. Aku kan bukan seorang artis yang siapa saja tau alamat rumahku. Aku mengeluarkan dompetku dan kuambil selembar kartu nama. "Ini bawalah!" Kataku sambil menyerahkan kartu nama ke arahnya. Dia mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. "Oh iya. Siapa nama kamu?" "Saya Prisil Pak!" Jawabnya sambil tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya. "Oke Prisil. Selamat bekerja ya. Semoga kejadian ini tak pernah terulang lagi!" "Amin. Terima kasih Pak. Hati-hati di jalan!" Aku mengangguk dan menutup kembali kaca mobil. "Sudah Mang!" Mobil akhirnya berjalan meninggalkan area minimarket. Aku tersenyum mengingat kejadian kali ini. Aku menoleh ke belakang sebentar. Ku lihat dia masih berdiri di sana sambil memegangi kartu namaku. Sebenarnya aku tak perlu menerima tawarannya untuk mengganti uangku. Bagiku tak terlalu penting tapi ternyata sangat penting untuk orang lain. Semua hanya titipan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD