2 | Sudah Jadi Istri

1426 Words
Kepulanganku empat minggu ke belakang ialah untuk negosiasi soal perjodohan. Minggu pagi dari rumah Ergi, aku tak pulang ke rumah bokap. Biar ngamuk deh bapak-bapak itu karena aku pergi tanpa berpamitan. Seninnya aku kembali sibuk menemui dosen pembimbing untuk revisi proposal penelitian. Kukira hariku bakalan tenang. Rabu pagi jadwalku kosong dan aku berniat tidur seharian di kamar kos. Namun, kudapati Ergi datang bertamu. Jadilah, selama beberapa hari berikutnya dia mengajakku ke RW  tempat tinggal Pak Hadi sesuai domisiliku untuk mengurus surat pengantar nikah dan ke Kantor Urusan Agama untuk pendaftaran pernikahan.  Surat numpang nikah sudah lebih dulu dia urus. Meskipun kami tinggal di kota yang sama, tapi kecamatannya berbeda. Dua minggu selanjutnya,  kami dipanggil pihak KUA untuk verifikasi data serta penataran pranikah. Kami harus mendengarkan nasihat pernikahan yang berbau 17 tahun ke atas.  Ya kali aku yang tidak niat menikah ini dijubeli kewajiban serta hak suami istri dan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan ketika menikah. Aku akan tinggal di kos loh nanti. Cuci baju saja aku antarkan ke laundry. Ergi punya Bu Mala yang biasa mengurus pakaian dan makannya. Nah,  hari ini pun tiba. Selama mengurus surat nikah, Ergi diberi cuti oleh Pak Hadi tidak masuk kerja. Bos mana sih yang baik seperti dia kecuali calon mertua lo sendiri. Akad nikah akan dilangsungkan di masjid dekat rumahku. Beberapa tetangga sudah disebarkan undangan. Khusus untuk hal ini aku memohon kepada Pak Hadi agar tidak mengundang banyak-banyak. Aku tidak ingin temanku tahu masalah ini. Pernikahan jelas sebuah problem yang maharuwet. Apa kata mereka kalau tahu aku yang enggan menjalin hubungan dengan laki-laki tiba-tiba ketahuan sudah menikah? Pakaian yang kugunakan cukup mewah. Walau tidak setuju dengan pernikahan, tapi acaranya tidak mungkin batal. Maka aku tidak mau fotografer menangkap penampilan burukku. Pakaian bagus dan riasan harus dahsyat. Ayla seorang ratu di pesta ini. Aku akan memperlihatkan kebahagiaan kepada Sayla agar dia menyesal sudah menolak permintaanku untuk berdiri di sisi Ergi. Namun, kenapa aku jadi ragu lagi? Tiba-tiba aku sudah berdiri di luar kamar Sayla yang sedang bercermin. Dia mengenakan kebaya dusty pink dan hijab lebar menutupi bagian d**a. Tidak ada riasan di wajahnya kecuali lip balm. Senyumnya sangat tipis melihat kehadiranku dari balik cermin. "Lo gantiin gue napa sih, Sayla? Belum siap gue nikah muda. Mana nikahnya sama mantan lo lagi. Parah." Sayla melirikku. Dia menelan saliva gamang. "Ikhlas saja, Ayla. Semua akan jadi mudah kalau kamu mau menerima dengan lapang dada." "Lapang d**a bibir lo dower! Nggak bisa ikhlas gue tahu! Kenapa bukan lo aja yang nikah? Mudah kok, lo tinggal duduk di sebelah mantan lo!" "AYLA!" Sayla berdiri ke sampingku. Dia menatap tajam mataku, tapi kenapa dia semarah ini sih?  Kalau dia memang menyukai Ergi, seharusnya dia setuju menggantikanku. "Kamu nggak tahu, Ayla, apa yang aku rasakan. Kamu harusnya bersyukur, dipilihkan jodoh yang tepat." Aku semakin yakin dengan perasaan Sayla terhadap Ergi. Aku akan memberikan kesempatan terakhir kepadanya. Yah kapan lagi gitu Ayla baik pada Sayla? "Lo masih suka Ergi, Sayla?" "Nggak ada bedanya aku cinta atau tidak sama dia. Kamu yang udah Papa pilihkan untuk menikah dengan Ergi. Kamu harus terima. Papa tahu siapa yang terbaik untuk kita." "Lo salah, Sayla. Dia bukan yang terbaik buat gue. Dia lebih cocok dengan elo. Kita tukaran aja, ya? Lo mau gantiin gue? Elo akan dapat laki-laki yang lo cintai." Sayla menarik napas lalu dibuangnya perlahan. "Aku bisa urus hatiku sendiri. Walaupun misalnya aku cinta mati, tapi aku nggak akan merusak rencana yang sudah Papa buat." "TERSERAH LO! Gue muak tahu nggak! Lo itu sok baik dan sayangnya b**o. Gue sudah berikan kesempatan, tapi lo nggak ambil. Baiklah. Kita lihat, apa lo masih bisa hidup tenang melihat gue jadi istrinya Ergi, mantan lo." Kami tiba di Baitul Iman satu jam kemudian. Kebetulan aku melihat Ergi juga baru turun dari mobil. Kutarik ekor kebaya ke arahnya saat semua orang masuk ke masjid. "Ayla, mau ke mana?" Aku menarik tangan Ergi ke beranda masjid dekat tempat wudhu laki-laki, jauh dari pintu masuk. "Lo yakin nggak mau lari aja, Gi? Lo sudah tahu konsekuensi nikah sama gue. Gue akan tetap jadi Ayla yang sekarang. Enggak akan menjalankan tugas gue sebagai istri dan jangankan itu, gue tinggalnya di tempat gue sekarang." "Atau kamu saja yang lari,  Ay? Aku nggak masalah kalau kamu yang membatalkannya sendiri." Aku menggeram dan sangat ingin mencakar wajahnya. Pas sekali ini kutekku sewarna darah. "Gue belum mau menikah sumpah, apa lagi dengan elo!" teriakku dengan suara kutahan agar tidak sampai ke dalam masjid. "Kemarin kamu bilang oke sekarang lain lagi.  Kalau di jalan raya, sudah kelindas truk kamu." "Lo benar ngeselin sumpah. Lo nyumpahin gue mati,  Ergi!" Urat leherku rasanya menegang akibat adu bacot dengan lelaki ini. Ergi menarik tanganku ke pintu masuk. "Kita sudah tanda tangan kertas perjanjian. Apa gunanya kertas itu kalau nikahnya batal?" "Bodo! Yang penting gue ogah nikah sama elo!" "Aku nggak akan mempermalukan keluarga kita. Kalau kamu sanggup, pergilah. Batalkan semuanya!" Ergi lebih dulu duduk di hadapan petugas KUA. "Ayla," panggil Pak Hadi dengan tegas. Terpaksa aku berjalan pelan-sepelannya untuk mengundur acara. Sayangnya, mau bagaimana pun aku berulah, pernikahan itu tetap terjadi. Semua orang menadahkan tangan setelah kata sah meraung di udara. Akhirnya semua selesai, kebebasanku terenggut, dan wajah bokap tampak sangat bahagia. Jelas, usahanya berhasil. Mama dan Sayla terlihat biasa saja. Sayla justru kelihatan sedih. Rasain! Ergi beringsut untuk memasangkan cincin di jari manis kananku. Mengikuti dia aku juga melakukannya untuk Ergi. Sayla bersikap santai dibuat-buat. Aku meraba kening ketika merasa ada yang menyentuhnya. Ergi baru saja mencium keningku. Terlalu fokus kepada rasa sedih Sayla membuatku tidak sadar apa yang telah terjadi. Semua orang memperhatikan kami, sedangkan aku malah asyik mengamati Sayla. Mata Sayla berkaca-kaca. Sepertinya masih kurang. Sumpah ya aku tidak ingin melakukannya, tapi apa boleh buat. Aku 22 tahun dan belum pernah berpacaran. Jangankan berciuman, pegangan tangan dengan laki-laki saja aku tidak pernah. Demi Sayla, aku melakukan hal yang menjijikkan.  Ya Tuhan, semoga Ergi tidak punya penyakit. Matanya melotot ngeri saat aku menciumnya. Aku tahu ini bukan gaya ciuman di masjid. Meskipun tidak ada anak kecil, tapi kelakuanku ini enggak dibenarkan. Bibir Ergi kaku di bawah bibirku. Pak Hadi berdeham dengan kencang. Aku juga enggak melakukannya lama-lama kok. Kenapa semua pada kaget seperti ini sih? Bidikanku hanya Sayla. Dia tampak sangat kaget. Mampus lo, Sayla! Siapa suruh nggak mau bantu gue! Pundakku dipegang Ergi dan ditatapnya dengan raut yang aneh. Penasaran mungkin karena aku yang menolak nikah tiba-tiba menciumnya dengan tak waras. Otakku sedang jalan-jalan memang. Mencari hiburan dengan membuat Sayla menangis diam-diam. Acara resepsi sangat melelahkan hingga pukul sembilan malam. Tidak ada satu pun kawan kuliahku yang datang. Paling tidak teman SMA kami yang rumahnya dekat sini saja yang hadir. Bu Mala memelukku ketika sungkeman. Dia ibu yang baik.  Seorang diri merawat Ergi dan Yogi yang membutuhkan perhatian khusus. Yogi adalah anak istimewa. Usianya sekarang tujuh belas tahun. Punya paras tampan dan kulit bersih, tapi tidak bisa bicara. Dia tenggelam dalam dunia miliknya sendiri. Hanya menarik tangan kita jika menginginkan sesuatu. Ergi sangat menyayangi Yogi. Tentang Ergi yang penyayang, aku tidak meragukannya. Namun, itu kepada keluarganya. Belum tentu dia menerapkannya kepada orang lain. Di luar itu, aku tidak bisa bersikap buruk kepada Bu Mala. Aku mendengarkan nasihat dan mengaminkan doanya. Acara usai sehingga aku bisa melepaskan pakaian berlapis-lapis ini. Berendam di air yang dibubuhi aroma terapi membuatku betah di kamar mandi. Suara ketukan yang sedikit keras membuatku tergesa membilas diri dengan air segar. Pak Hadi menunggu di meja makan. Mama dan Sayla sedang berbicara pelan seolah ada rahasia di antara mereka. Kedatanganku bersama Ergi membuat mereka semua melihat ke arah kami.  Sayla buru-buru menunduk. Aku dan Ergi duduk berdampingan di hadapan Mama dan Sayla, sedangkan Papa duduk di sisi lainnya sendirian. Makan malam itu tidak berlangsung lama. Ergi ke depan bersama Papa. Aku ditahan Mama tetap di meja makan. Sayla  tentu langsung sibuk dengan piring-piring yang akan dia cuci. "Mama nggak mau dapat cucu dari Ergi. Dia bibitnya nggak bagus, Ay. Kalau anakmu  nanti autis seperti adiknya gimana? Mama nggak apa-apa pernikahanmu tidak ada anak." Kulirik Sayla yang mendengarkan percakapan kami. "Yah,  Mama jangan khawatir. Ayla tahu apa yang harus dilakukan. Kalau begitu,  Ay boleh istirahat 'kan,  Ma?  Capek nih." Kudengar dari Mama menurut cerita bokap, Ergi batal menikah dengan kekasihnya karena alasan itu. Sama seperti Mama, ibu kekasihnya tidak mau punya cucu dari laki-laki yang kemungkinan akan menurunkan gen autis. Mereka terlalu takut sih. Belum tentu juga kamu menikah dengan laki-laki yang tidak punya keluarga sebagai 'anak istimewa' dan bebas dari risiko itu. Namun, aku tidak ingin menyanggah pendapat Mama. Kapan aku bilang akan melahirkan anak Ergi? ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD