3 | Punya Suami Itu Tidak Buruk

1411 Words
”Ceritakan tentang kamu, Ay.” Acara milik Pak Hadi telah sukses. Malam ini si Bapak bisa tidur nyenyak. Tak lupa ratusan amplop yang dia bawa ke kamarnya, sedangkan aku kebagian kado yang tumpukannya tidak seberapa. Aku telah dia serahkan kepada laki-laki ini. Menceritakan tentangku artinya mengisahkan perlakuan orang tuaku. Aku ambil posisi nyaman di sisi kiri tempat tidur, merilekskan punggung ke kasur yang empuk sebelum berbicara. Meskipun kami kembar, bokap enggak seharusnya berharap aku sama dengan Sayla. Waktu kecil aku belum mengerti kenapa bokap selalu berdecak setelah aku menunjukkan hasil belajar. ”Kamu bisa belajar sama Sayla supaya nilaimu minimal di bawah dia sedikit, bagus kalau sampai sama, dan tidak mungkin bisa di atas Sayla.” Aku pun belajar seperti apa yang diinstruksikan bokap.  Pembagian rapot pun tiba, aku dapat juara dua waktu itu. Sayla peringkat pertama tentu saja. Aku pikir bokap akan senang dan memujiku seperti Sayla. Namun, dia hanya bangga dengan Sayla yang saat itu dapat juara umum satu. Mengelus kepala Sayla dan menjawab pertanyaan wali murid tentang Sayla yang selalu juara satu. "Ke mana saja kamu baru pulang sesore ini?" Aku memberitahu bokap bahwa sepeda motorku bannya bocor.  Saat menunggu ditambal, aku makan siang di warung dekat bengkel. Namun, aku lupa uangku sudah kugunakan di sekolah untuk membayar makalah tugas kelompok. Aku tidak punya uang lagi untuk membayar tambal ban. Aku meninggalkan sepeda motorku dan menjanjikan besoknya akan kuambil. Terpaksa aku pulang dengan jalan kaki. "Kamu  bisa tidak tak bikin masalah sehari saja?" Bokap memberikan lima puluh ribuan lalu menyuruhku menjemput sepeda motor dengan ojek. Kemudian saat aku berhasil  pulang  membawa sepeda motor, Sayla juga baru pulang dengan wajah letihnya. Papa dan Mama menyongsong Sayla dan menanyakan kenapa Sayla baru pulang. Aku ingat dia sudah punya pacar sejak seminggu yang lalu. Kudengar mereka dari sekolah langsung ke mal. "Kalau terlambat pulang, telepon Mama supaya kami tidak khawatir." Sayla tidak perlu punya alasan kenapa telat. Dia selalu dipercaya. Mereka khawatir kepada Sayla, sedangkan kepadaku tidak. Kalau mereka berharap aku dan Sayla bisa sama dalam segala hal, kenapa mereka tidak memperlakukan aku sama dengan Sayla? "Kami juga berdua. Ayah meninggal sewaktu Bunda mengandung Yogi. Banyak orang bilang, beban pikiran Bunda mengakibatkan Yogi terlahir seperti ini. Waktu itu Bunda tidak sadar bahwa terlambatnya Yogi berbicara dan berjalan adalah tanda-tanda. Kalau tahu, mungkin Yogi akan dibawa terapi. Bunda akhirnya menyesal dan waktu itu down banget. Bunda merasa bersalah kepada Yogi. Dan sampai sekarang walau terlihat biasa saja, aku kadang mendengar Bunda menangis di kamarnya. Kehilangan Ayah mengubah hidup Bunda." "Tapi Bunda mencintai kalian sama besarnya, Gi. Seharusnya ortu gue seperti Bu Mala. Kadang gue mikir apakah gue ini bukan anak mereka? Pas ngaca gue sadar, gue mirip sekali dengan Sayla. Kecil kemungkinan bahwa gue anak angkat. Rumah bukan tempat untuk pulang. Di sini gue sakit selalu dibanding-bandingin. Kenapa mereka enggak terima aja gue yang seperti ini? Bukannya tiap anak dilahirkan unik. Mana bisa gue disamain dengan Sayla dan ketika gue nggak berhasil seperti Sayla lantas gue disalahkan. Dituntut seperti Sayla. Pilihan gue nggak didengar. Gue mau nyari ke mana orang tua yang terima semua sifat gue, sedangkan mereka yang sedarah sama gue saja nggak memaklumi gue." "Aku sudah minta izin pada Papa agar membolehkanmu tinggal di kos-kosan. Tepat seperti yang kamu bilang, masalah itu dia serahkan kepadaku. Kamu bisa pergi kapan saja kamu perlu. Besok tidak ada janji dengan dosenmu 'kan?" "Gue nggak perlu memeluk lo sebagai ucapan terima kasih 'kan?" "Terserah kamu." Kami  tersenyum untuk satu hal kecil pertama yang kami rayakan bersama. *** "Selamat pagi,  Ay." Aku tidak kaget saat membuka mata, wajah Ergi yang kulihat pertama kali. Ingatanku sangat bagus untuk melupakan acara kemarin. Bahkan punggung dan kakiku saja masih terasa pegal akibat berdiri menerima tamu. Dia sudah rapi. Duduk di sisi tempatku tidur, dia memegang sebuah gelas. "Kopi, s**u, dan krim," tawarnya. "Bangunlah." "Untuk gue? Ada acara apa lo baik gini?" Sebelum tidur tadi malam, kami bercerita banyak. Aku mengeluhkan pernikahan yang harus kujalani ini. Tentang pemaksaan bokap, padahal aku belum siap. Tentang Sayla yang melihat Ergi dengan cara yang beda. "Sayla masih suka sama lo, Gi. Bokap pasti juga tahu, dia 'kan anak kesayangannya. Tapi gue heran, kenapa bokap nggak milih Sayla aja yang dinikahkan dengan elo?" "Papa bilang kamu yang butuh aku, Ay." "Gue nggak merasa begitu. Gue tahu sebenarnya mereka membuang gue ke elo. Pakai alasan segala karena gue butuh lo. Kapan gue bilang begitu? Yang ada Sayla noh hancur banget lihat gue sama elo nikah. Lo lihat tadi dia nangis melihat gue cium elo." "Kamu sengaja, Ay?" "Sengaja cium lo di depan Sayla? Minimal gue punya hiburan tersendiri dalam keruwetan ini. Ya nggak? Gue belum siap sama semua ini, Gi. Kalau aja lo bisa lihat di dalam sini, gue sangat terpaksa. Gue minta Sayla ngegantiin gue, tapi dia nggak mau." "Minumlah." Ergi membuyarkan ingatanku semalam. Dia sodorkan gelas dengan wangi kopi s**u kepadaku. Dia tersenyum,  senyum pertama di pagi ini. Awal pagi kami sebagai suami dan istri. "Gue balik ke kos-kosan hari ini. Tapi sebelum itu, lo harus bantu gue." Sarapan pagi bersama Papa, Mama, dan Sayla sengaja kubuat menjadi drama romantis. Aku takjub melihat kemampuan akting Ergi sehingga Sayla percaya bahwa Ergi sesayang itu kepadaku. Di hadapan Sayla kontak fisik dengan Ergi terjadi secara alami. Mungkin karena Ergi bukan orang lain dalam hidupku. Aku tidak canggung saat Ergi merangkul pinggangku yang tidak pernah dilakukan oleh laki-laki lain. Tersenyum senang saat Sayla melihat Ergi mencium pipiku. Bokap sudah ke kantor tentu saja saat aku dan Ergi 'bemesraan'. "Ay, kamu apa-apaan? Hargai perasaan Sayla. Kamu bisa nempelin Ergi di kamar, nggak usah di luar sini dan semua orang melihat kalian." "Kenapa dengan Sayla, Ma?" tanyaku pura-pura polos. "Yang kemarin menolak menikah itu akal-akalan kamu saja 'kan? Sekarang kamu nggak  kelihatan terpaksa sama sekali." "Sayla benar, Ergi laki-laki yang baik. Iya kan,  Sayla? Ergi perhatian banget sama gue. Lo harus dapat laki-laki sebaik dia agar merasakan apa yang gue rasain sekarang." *** Kembali ke kos-kosan artinya aku melajang lagi. Bangun pagi bukan wajah Ergi yang kulihat. Sarapan pagi tidak perlu menikmati wajah datar Pak Hadi dan Mama serta Sayla yang selalu terlihat kompak. Baru empat hari di kos-kosan dan keadaannya berbeda sekali dari sebelum menikah. Yang awalnya aku pikir bisa bebas dari Ergi, rupanya Ergi memulai sesi aturan nomor empatnya. Seperti sore ini saat aku hanya tiduran di kamar setelah naik turun gedung menemui dosen. Ergi: Ay, hari ini aku pulang agak cepat. Yogi mengacaukan isi rumah seperti biasa. Barangkali dia bosan. Ponselnya yang baru dua bulan sukses dibikin pecah secara nggak sengaja saat dia terlalu senang dan lupa kalau yang dia banting itu HP. Jadi dia mencari hiburan lain, majalah-majalah lama punya Bunda dia bongkar dari gudang. Ergi: Kamu ngapain aja hari ini,  Ay? Pada awalnya aku malas sekali menanggapi pesannya. Tapi dia mengirim lagi pesan panjang tentang apa yang dia lakukan bersama Yogi, Bu Mala, atau kegiatannya di kantor apabila masih di kantor. Jadi, aku akhirnya tidak bisa mengabaikannya. Aku menulis bagaimana aku dibikin kesal oleh salah satu dosen saat akan menemuinya di Gedung Fakultas. Listrik sedang mati sehingga lift tidak beroperasi. Aku naik tangga untuk ke ruang dosen, tapi orangnya telah turun beberapa menit sebelum aku tiba. Tentang Nada, teman kosku, yang menyetel musik keras sehingga aku tidak bisa tidur siang, padahal mataku mengantuk banget karena malamnya mengerjakan revisi. Kegiatan-kegiatan kecil tak luput aku ceritakan karena terpancing oleh pertanyaannya. Ayla Naik seribu artinya perintah untuk mencari laundry yang lain. Ergi Nyuci sendiri saja,  Ay. Seribunya bisa kamu simpan. Selama sepuluh hari kamu sudah bisa makan bakso di warungnya Pak Dadang. Kamu masih suka bakso di sekolah kita itu 'kan? Ayla Nggak sempat elah, Gi. Gue ini sibuk. Ergi Kapan-kapan aku bantu. Sebentar, Ay, aku mandikan Yogi dulu. Istirahatlah. Nanti aku hubungi lagi. "Wooooi! Musik lo nggak bisa lebih keras lagi?" Nada menurunkan volume.  "Apaan?" Aku membawa setumpuk pakaian kotor ke bagian belakang rumah. Nada berlari mengejarku. "Lo lagi stres, ya? Ngapain lo ancang-ancang mau nyuci segala? Demam?" "Diem lo! Mending gue nabung seribu daripada dengar musik lo yang bikin sakit gendang telinga gue." "Wow! Ayla nyuci. Sekalian baju kotor gue dong." "Mati aja lo!" Gadis itu tertawa. "Eh by the way, Arya balik nanti malam." Kami mengekos bertiga di rumah ini. Kalau aku dan Nada masih mahasiswa, Arya adalah karyawan perusahaan swasta. Dia jarang di rumah, tugasnya lebih banyak di lapangan. Ketemu dia juga enggak sering. Seminggu ini dia dinas di luar kota. Dan bagaimana kalau Arya tahu aku sudah menikah? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD