4 | Sensasi Serumah dengan Pria Lain

1661 Words
Keringat yang dihasilkan tubuhku semakin banyak  saat pinggul kugerakkan lebih kencang. Perut yang terpantul dari cermin pun ikut bergetar hingga ke d**a. Kukibaskan rambut seolah mencampakkan jala ke laut lalu bergerak turun perlahan dengan masih menggoyangkan pinggul. Seluruh gerakan yang kulakukan sejak denting musik kuputar membuat seluruh otot rileks. Tak hanya itu, pikiran ini mendapatkan waktu istirahat. Musik mengiringi tubuhku meliuk ke kanan sebelum kembali kuguncangkan tubuh dimulai dari pinggang. "Lagi ada masalah?" "b******k!" umpatku lalu buru-buru mengunci pintu kamar. Kerjaan Nada! Aku tak mengunci pintu dan seharusnya Nada tidak memberikan akses untuk manusia ini masuk. Perempuan itu tidak mendengarku tentunya setelah dia tahu siapa laki-laki ini. Aku mengambil selendang tipis untuk menutup badan yang penuh keringat hanya untuk menghalangi pandangan pria ini dari tubuhku yang terpapar. Ya kali gue pakai handuk atau pakai baju, bisa-bisa jadi rebusan singkong badan gue! Dia pun duduk  di lantai memperhatikan isi kamarku. Sejak kapan dia menontonku? "Kenapa nggak kunci kamarnya? Atau kamu sudah biasa dilihat Arya dalam 'keadaan' seperti ini?" Saat ini aku memakai rok panjang yang menggantung dari bawah pusar hingga mata kaki. Belahannya di sebelah kanan dimulai dari pinggul. Dan yeah, bagian atas tubuhku cuma ditutup oleh b*a yang mengekspos sebagian besar d**a dan perut tentu saja. Tapi aku menari di dalam kamar sendirian! Mana mungkin aku membiarkan Arya atau siapa pun menikmati tarianku--apalagi perutku. Iyuh. "Ada perlu apa datang tengah malam?" Aku mengambil botol air mineral di meja lalu menenggaknya rakus. "Kenapa kamu nggak kunci kamarnya, Ay? Kalau yang melihat kamu tadi Arya gimana?" "Apa bedanya Arya sama lo, Mas? Nggak usah sok penting deh! " "Aku suami kamu kalau kamu lupa." Yah, aku ingat itu. Makanya alam bawah sadarku tidak terlalu kaget saat dialah orang yang melihat penampilanku. Dan aku tidak merasa perlu menutupnya sehingga selembar selendang ini tak masalah. Sejak dua tahun yang lalu aku mempelajari gerakan belly dance di sanggar dekat kampus. Setelah mengetahui banyak manfaatnya, aku menekuni tarian itu. Aku tidak menari untuk orang lain bukan karena belum mahir melakukannya. Alasannya karena kostum yang digunakan terlalu seksi. Aku tidak ingin Pak Hadi memergoki aksiku saat tampil di suatu pagelaran lalu memotong buah dadaku. Aku menari di kamar saat butuh, ketika pikiranku terlalu kusut sehingga tarian ini menenangkan batinku yang kalut. Sejak Arya tiba di kos-kosan, aku belum bertemu dia. Malam ketika dia datang, aku mengunci diri dalam kamar dengan alasan capai sehabis mencuci. Nada terima saja dibegoin sehingga tidak berteriak memanggilku saat Arya muncul di pintu. Hingga beberapa hari berikutnya dia sibuk lagi dan tiap dia pulang aku ada di kamar. "Gue tanya ngapain lo ke sini? Lo nggak lihat ini sudah jam berapa?" "Kamu juga belum jawab pertanyaanku, Ay." "Nggak, Arya nggak pernah lihat gue nari! Puas?" Dia mengangguk. "Aku kemalaman. Numpang tidur di sini--" "Nggak nggak nggak! Enak aja, lo kata ini hotel?" "Ay, malam ini aja. Lagian besok kita bisa pulang bareng." "Pulang ke mana?" "Ke mana lagi. Aku pinjam handuk, Ay. Aku juga mau mandi." Dia mengambil handukku lalu masuk kamar mandi. Aku mengganti pakaian dengan buru-buru sebelum dia keluar. Keringatku juga mulai kering karena embusan AC. "Kamu mau makan? Aku masakin, ya?" "Enggak! Apa kata Arya ngeliat lo malam-malam ada di sini!" "Ya jujur saja, Ay, kita sudah menikah. Nada juga senang mendengar kabar ini." "Nggak nggak! Gue izinkan lo numpang, asal tutup mulut. Biar gue yang ke dapur. Lo ... jangan keluar! Awas lo!" Kamar Arya ada di sebelah kamarku, sedangkan kamar Nada di sisi kiri kamar kami. Nadalah orang pertama yang menyewa rumah ini, Arya kedua, dan aku setelah mereka. Nada memilih bilik paling luas. Aku pernah minta agar dia dan Arya bertukaran, perempuan itu tidak setuju. Yang punya rumah ini tinggal di sebelah dan dia sudah mengizinkan Ergi berkunjung kapan pun. Tentunya setelah Nada mengatakan bahwa laki-laki di dalam sana suamiku. "Ciyeee ... yang udah kawin, ada yang ngapelin malam Minggu. Apalah dayaku yang jomlo ini." "Mau dielus teflon, hah?" Aku mengarahkan p****t teflon ke pipi Nada. "Diam!" Dia cekikikan melihat kekesalanku. "Masak apa lo? Masakin gue dong sekalian. Malas keluar nih,  nggak ada yang ngajak malam Mingguan." "Pacar lo mana?" Gadis itu mengedik. "Eh, Arya nanyain lo terus. Lo nggak bilang udah diperawanin Ergi?" "b*****t! Ngomong lagi, gue goreng lo, Kunti!" Perempuan dengan tank top merah itu tertawa keras sekali. "Dosa apa laki lo punya bini kayak lo. Nanti jangan keras-keras waktu dapat big O-nya! Kamar di rumah ini nggak kedap suara." "Gue selepet beneran  bibir lo, Supri!" Nada berhenti menggangguku. Namun, manusia yang beberapa waktu ini kuhindari mendekat. "Masak apa?" tanyanya. Keren seperti biasa. Rambut terpotong rapi. Begitu pun rambut di wajahnya juga bersih. Hidung mancung bak perosotan anak TK. Mata tajam di bawah alisnya yang hitam seperti ulat bulu. Badan bagus hasil tempaan gym dan terlihat keras. "Kenapa geleng-geleng? Hem ...  nggak pulang, Ayla?" Dia tahu jadwal kepulanganku tentu saja. Tiga tahun tinggal seatap pastinya dia ingat kapan aku balik ke rumah Pak Hadi. Biasanya Sabtu sore Ergi sudah datang menjemputku. Tumben sekarang dia telat. "Besok pagi. Ehm ...  maaf,  gue udah selesai. Mau makan. Lo ...  mau dibuatin sekalian?" Kampret! Kenapa gue bisa malu-malu gini sih? Pakai acara nawarin bikinin makanan segala. Gila gila. "Hm ...  Gue ke dalam deh kasihan cacing gue udah nangis butuh asupan." "Ayla!" Apa lagi,  Ya Tuhan! Aku berbalik. "Makan di sini saja, aku temanin." "Makasih. Gue di dalam sambil nonton. Bye." Aku menutup pintu lalu menguncinya. Duh,  jantung gue. Enggak biasa berbohong ya gini nih. "Gi." Dia tidur! Sebuah bantal kupukul ke kepalanya hingga ia terlonjak dan terduduk. "Ada apa, Ay?" "Nih makan! Malah tidur. Gue ulek juga lo ngerjain gue!" "Maaf, aku ketiduran. Kamu sudah selesai, ya. Wah, kelihatannya enak." Dia merebut piring dari tanganku. "Lo ngeledek? Cuman nasi putih sama mata sapi. Enak dari mananya. Dicoba juga belum." "Bikinan istri pasti enak, Ay. Apalagi makannya sepiring berdua. Ayo, kamu juga ikut makan sama aku." "Makan aja sendiri. Percuma gue nari supaya langsing kalau habis itu makan nasi jam setan keliaran gini." "Aku makan, ya." Sepiring nasi putih panas dari rice cooker itu berpindah ke lambung Ergi dalam beberapa suapan. "Taruh aja dekat pintu. Jangan keluar kamar sebelum gue bilang boleh." "Oke. Makasih, ya. Tidurku pasti nyenyak malam ini." Aku mengembalikan peralatan makan Ergi dan membersihkannya di dapur. Tak ingin bertemu dengan Arya lagi, semuanya kulakukan cepat-cepat. "Kamu dikejar siapa, Ay? Kenapa ngos-ngosan gitu?" "Nggak ada." Aku mematikan lampu sehingga tinggal lampu kecil berwarna-warni yang berpendar di kamar ini. "Oh, iya tadi kamu menari. Apa ada masalah?" tanya Ergi saat aku berbaring dan menciptakan jarak cukup jauh dari sisinya. Ergi tahu aku mengikuti sanggar belly dance walaupun tidak pernah melihat secara langsung. Dia beberapa kali menjemputku dari sanggar saat akan membawaku ke Pak Hadi. Lelaki ini juga tahu alasan aku menari. Yah, sebenarnya banyak hal yang telah kubagi kepadanya. Makanya aku pernah mengatakan bahwa Ergi bukanlah orang asing. "Gerakanmu tadi juga seperti ... kesal, marah, dan emosional. Ceritalah ada masalah apa. Mungkin setelah menceritakannya, kamu lebih ringan." Serius ini orang bertanya ada apa? Hello, sepertinya mas suami harus dikasih vitamin penambah daya ingat. Barangkali dia lupa bahwa masalah utamanya ada pada dia sendiri. Well, bukan murni dia sih, tapi Pak Hadi. Karena dia enggak membantuku dengan penolakan frontal, jadi dia juga termasuk biang kerok masalahku. "Lo beneran mau tahu?" Aku menyamping sehingga menghadapnya. Pernikahan kami memang beda dengan orang lain. Tapi aku tidak masalah satu tempat tidur dengannya. Kami sudah membuat perjanjian, tidak akan terjadi apa-apa. Aku percaya Ergi orang yang memegang ucapannya. Apalagi janji yang sudah kami sepakati dan tandatangani. Ergi tidak bau sehingga aku enggan dekat dengannya. Pak Hadi berjasa membuatku sempat kesal pada Ergi. Hey, sebelumnya aku dan Ergi sangat dekat. Siapa lagi yang kucurhati kalau bukan dia. Cerita tentang Pak Hadi, Ergi sudah tahu semuanya. Hanya saja waktu itu Ergi membuatnya seolah baru pertama kali mendengar. Tentang dia pun aku sudah tahu, kecuali asmaranya sih, aku tahu semuanya. Itulah yang kami bahas dalam perjalanan pulang ke rumah Pak Hadi selama ini. Hanya mantan tunangannya yang tidak pernah dia ceritakan padaku. "Gue masih belum terima keputusan bokap." "Itu lagi. Nggak usah kamu pikirin, Ay. Nanti kamu stres. Nggak bagus buat kesehatan." "Lo sendiri gimana, Gi? Kenapa lo nyerah sama cinta lo? Lo nggak mau perjuangin si ... siapa namanya?" "Adira. Kalau orang tua kita nggak restu, kita nggak akan pernah mencecap bahagia. Sebesar apa pun perasaan kita kepada orang itu." "Jadi lo cinta sama Adira ini?" "Dulu. Iya." "Sekarang?" "Sudah enggak." Aku menumpu tubuh dengan siku sehingga bisa melihat wajah Ergi. "Kenapa cepat banget hilangnya? Apa jangan-jangan lo nggak sungguh-sungguh waktu melamar dia?" "Serius banget. Aku lihat ada masa depan yang indah sama dia. Dalam anganku, kami akan jadi pasangan yang saling mencintai dan hidup bersama sampai ajal yang memisahkan. Semua itu hanya angan karena kenyataannya Tuhan nggak mengizinkan kami bersama. Orang tuanya adalah perantara yang Tuhan jadikan petunjuk kalau jodoh bukanlah seseorang yang  kita inginkan, tapi jodoh adalah seseorang yang Tuhan pilihkan. Ternyata kamu orangnya, Ay." "Asem lo, Gi. Gue tanya apa lo jawabnya apa. Heran deh, kenapa lo bisa cepat banget sih move on-nya? Baru juga gagal tunangan, lo terima aja dijodohin sama gue. Kenapa nggak usaha ngeyakinin ortu cewek lo?" "Sudah, tapi ya gitu. Aku nggak bisa mengubah takdir 'kan? Sama kayak kamu enggak minta dilahirkan jadi anak siapa dan aku nggak bisa mengganti orang tua dan di keluarga mana aku dilahirkan. Tuhan akan selalu punya cara. Dia beri aku cinta dan Dialah yang mencabutnya pergi sebelum aku minta." "Masalahnya keadaan Yogi ... itu ... apa benar?" "Iya. Kamu mau tahu apa yang dikatakan Papa kamu sewaktu meminta aku menikahimu? Aku ini bibit unggul. Sayang dibiarkan lepas ke ladang orang. Itu yang bikin aku yakin kalau Tuhan campur tangan dalam setiap hidup kita." "Gue nggak yakin, Gi. Menurut gue pernikahan ini nggak benar. Gue juga nggak ingin punya anak. Sepertinya lo harus nyari ladang yang lain." Karena gue akan merusak poin nomor lima. Gue nggak akan jadi istri lo selamanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD