2. Axel

1976 Words
"Jadi, bagaimana dengan persiapan peluncuran produk baru kita?" tanyaku tanpa mengalihkan mata dari berkas yang sedang k****a. "Sudah beres. Tinggal menunggu tanggal peluncuran saja." "Bagus. Tinggal tiga hari lagi, kan?" Aku kembali bertanya. Lagi-lagi tanpa berhenti membaca semua berkas di meja. "Iya." Hening. Sean pasti sudah keluar dari ruanganku. Dia selalu pengertian padaku. Di saat-saat seperti ini, aku memang butuh konsentrasi penuh. Aku lebih suka sendiri ketika menyelesaikan pekerjaan. Sean Samudra Walzer adalah adik sekaligus tangan kananku dalam mengurus bisnis. Dia sudah terbiasa membantuku semenjak kuliah. Sebenarnya aku lebih suka dia fokus belajar, daripada membantuku di kantor. Aku masih mampu menangani semuanya sendiri. Tapi adikku itu sangat keras kepala. Dia mengancam akan berhenti kuliah kalau aku melarangnya bekerja di perusahaan kami. FYI, perusahaan kami bergerak di bidang kuliner. Produk utama kami adalah roti aneka bentuk dan rasa. Sekarang ini, kami mencoba produk baru berupa roti ungkapan hati. Jadi, rotinya ada beberapa karakter yang menunjukkan ekspresi kita. Semacam donat karakter, tapi ini dikemas dengan bentuk yang lebih bervariasi. Mulai dari gambar hati, daun, bunga, bahkan kartun. Ini murni ide Sean yang sedikit aneh menurutku. Tapi, aku pikir itu akan banyak disukai. Saat mulai mempromosikan produk ini, berbagai komentar positif selalu membanjiri akun media sosial kami. Aku senang Sean akhirnya bisa benar-benar serius dalam pekerjaan. Sean itu tipe pria yang suka kebebasan. Hanya aku yang tahu kalau dia diam-diam memiliki sederet mantan yang disembunyikan. Dia memang meminta semua pacarnya untuk menyembunyikan hubungan mereka. Dengan alasan klise, aku tidak mengizinkannya pacaran. Tentu saja itu akal-akalan Sean agar bisa tebar pesona sana-sini. Aku tidak pernah melarang adik-adikku untuk berhubungan dengan lawan jenis. Selama mereka mengetahui batasan yang tidak boleh dilanggar. Juga harus izin dulu padaku. Setidaknya aku harus tahu bagaimana orang yang dekat dengan keluargaku, bukan? Tapi Sean malah membodohiku selama kuliah. Dia berkencan dengan banyak gadis dan memanfaatkan kepolosan mereka. Aku marah besar saat tahu hal itu. Bagaimana bisa dia mempermainkan wanita, sementara dia memiliki dua adik cantik di rumah. Aku mendiamkan Sean berhari-hari agar dia menyadari kesalahannya. Untungnya, dia cukup cerdas untuk mengakhiri petualang cinta yang dia jalani selama ini. Sejak hari itu, dia ingin serius memilih wanita masa depannya. Sean berkeras tidak ingin menikah sebelum aku memiliki anak. Dia tidak ingin berbahagia dengan wanita lain, sementara aku malah menderita. Memangnya dia pikir aku tidak bisa mencari pendamping yang tepat? Aku jadi teringat Nasha yang telah melahirkan anakku, Ares. Juga pada malam aku mengakui kesalahanku pada Mama. Raut wajah Mama tidak menunjukkan kekecewaan sama sekali, tapi aku tahu Mama berusaha menyembunyikan hal itu. "Kamu tidak ingin membawa wanita itu ke sini?" "Axel sudah berkata akan bertanggung jawab meski dia tidak hamil, Ma. Tapi dia malah pergi. Dia bilang, dia mencintai pria lain." "Kamu yakin? Bagaimana jika dia berbohong?" "Axel sudah mengikuti dia beberapa waktu ini, Ma. Dia memang memiliki teman pria yang sangat dekat." "Terserah kamu, Xel. Terus awasi dia. Jangan sampai dia menyembunyikan kehamilannya dan melahirkan seorang diri. Merawat anak tanpa ayah itu bukan perkara mudah." Aku mengangguk menanggapi perkataan Mama. "Mama tidak marah?" "Mama marah, tapi bukan padamu, Xel. Mama marah pada orang yang menyebabkanmu menjadi seperti ini. Bagaimana bisa dia mempermainkan anak sebaik kamu. Tidak seharusnya dia berbuat kelewat batas. Kamu berhak diperlakukan dengan baik." Mudah sekali bagiku untuk menemukan tersangkanya. Setelah Nasha meninggalkanku di hotel, aku langsung menyelidiki kasus ini. Aku begitu marah mengetahui siapa dalang di balik malam kelamku dan Nasha. Dia adalah sahabatku sendiri. Aku merasa kecewa sekaligus dikhianati oleh sahabatku itu. Apalagi saat aku mengetahui alasannya yang sangat dangkal. Dia membenciku karena wanita yang dicintainya lebih menyukaiku. Memangnya itu kesalahanku? Oke. Katakan dia memang membenciku, tapi mengapa harus melibatkan wanita sebaik Nasha. Tidakkah dia tahu kalau hal itu akan membuat Nasha menderita. Aku hampir saja hilang kendali dan mengamuk padanya. Sahabat tak tahu diriku itu langsung bersujud dan memohon maaf. Dia bilang itu hanya kesalahan dan tidak berniat melakukannya. Yang benar saja. Dia sudah merusak masa depan Nasha. Aku tidak peduli dengan diriku, tapi Nasha? Dia harus menanggung kemalangan dengan hamil dan melahirkan. Aku bahkan dikelabuhi oleh Nasha, padahal setiap saat aku memperhatikan wanita itu. Beruntung mata-mataku melapor saat Nasha pingsan di kafe dan dibawa ke rumah sakit. Melahirkan dalam keadaan prematur dan kehilangan ibunya karena berbohong. Mengapa aku harus berada di Los Angeles hari itu? Yang lebih membuatku marah adalah tidak ada pesawat yang terbang, karena ada badai salju yang cukup besar. Rasanya aku ingin menghilang dan langsung muncul di rumah sakit untuk melihat keadaan Nasha. Dia pasti sangat tertekan. Beruntung aku akhirnya bertemu dengan Nasha dan bisa memberikan sedikit bantuan. "Jadi, kapan Kak Nasha akan ke rumah?" Aku hampir saja mencoret berkas yang sedang k****a saat mendengar suara Sean. Aku mendongak dan menatap tajam padanya. Mengapa dia masih ada di ruanganku? "Mengapa kamu masih di situ?" "Karena Sean ingin menanyakan sesuatu." Sean berjalan mendekatiku. "Jadi, Kakak belum berhasil membujuk Kak Nasha?" "Just take care of your business! Jangan mencampuri urusan Kakak." "Sepertinya akan sulit untuk membujuk Kak Nasha, apalagi dia masih memikirkan pria lain." Aku mendengkus. Ketiga adikku juga tidak terduga. Mereka memberi dukungan untuk membujuk Nasha begitu tahu ceritaku tiga bulan lalu. Padahal aku sudah melakukan kesalahan. Aku pikir mereka akan kecewa dan tidak sudi memaafkanku. Siapa sangka mereka malah menguatkan dan menyemangatiku. Keluargaku langsung menyukai Nasha begitu aku memperlihatkan foto wanita itu. Apalagi saat tahu mereka sudah memiliki keponakan yang lucu. Mereka tidak sabar untuk bertemu dengan Nasha. Aku sedikit heran dengan reaksi mereka yang di luar prediksi. Mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku menginginkan sesuatu dalam hidup. Aku ingin Nasha menjadi pendamping masa tua. Berada di dekatku selamanya. Kurasa itu akan sangat membahagiakan. "Iya kan, Kak?" Aku membeliak ketika merasakan tepukan di pundak. "Shut up! Kalau kamu hanya ingin mengatakan hal yang tidak penting seperti itu, lebih baik kamu tutup mulut." "Kakak mau Sean bantu?" Senyum Sean melebar. Dia menaik-turunkan alis, lalu mengedipkan sebelah matanya. Tidak ada salahnya mempertimbangkan usulan Sean. Dia sudah terbiasa merayu wanita. Pasti dia mempunyai banyak cara untuk menaklukkan hati Nasha. Benar, bukan? "Memangnya apa rencana kamu?" Sean menyeringai. Aku mulai mencurigai rencana licik yang dibuatnya. Apakah keputusanku untuk memercayainya salah? ??? Sudah lima belas menit aku menunggu kedatangan Sean. Aku mengetuk-ngetuk jam tanganku untuk memastikan benda itu masih berfungsi, lalu menghela napas. Ke mana perginya si pembuat rencana itu? Seperti dugaanku, Sean pasti hanya main-main. Seharusnya aku tidak percaya dengan mudah. Aku mengeluarkan ponsel dan mulai menghubunginya. Tidak ada jawaban. "Axel Dirgantara Walzer?" Aku menurunkan ponsel dan menatap sosok yang menyapaku. Seorang wanita. Dandanannya sangat sempurna. Make up yang digunakannya seolah memancarkan sinar. Hidung kecil yang mancung. Pipi yang memerah. Bahkan bibir mungil yang dipoles listrik pink. Semua tampak pas pada dirinya. Tapi Nasha lebih cantik daripada dia. Mengapa aku membandingkan wanita asing itu dengan Nasha? Memangnya dia siapa? Aku merasa tidak pernah mengenalnya. "Boleh duduk di sini?" Tanpa menunggu jawaban, dia duduk di sampingku. Merasa posisi kami terlalu dekat, aku refleks bergeser. "Kamu lupa padaku?" "Memangnya kita saling kenal?" "Ya, ampun. Kamu benar-benar melupakanku. Aku Gladis," ucap wanita itu seraya memukul lenganku. Aku kembali menggeser posisi. Siapa wanita bernama Gladis itu? Aku mencoba untuk memutar memori, tapi tidak menemukan ingatan tentang Gladis. Apakah dia temanku? Jika dia memang mengenalku, seharusnya dia tahu kalau aku tidak suka disentuh tiba-tiba. Siapa dia sampai begitu mudah menyentuhku? Memangnya dia memiliki hak itu? Mataku memperhatikan Gladis yang dengan santai memanggil pelayan dan memesan jus apel. Lalu, kembali menatapku dengan sebal. Seolah aku melakukan sesuatu yang membuatnya marah. Aku mengalihkan pandangan. Rasanya tidak nyaman bertatapan dengan sosok asing. "Sepertinya kamu salah orang," kataku pelan. Aku memperhatikan suasana kafe yang lumayan ramai. Semoga tidak ada orang yang mengenalku di sini. "Axel Dirgantara Walzer. Aku sudah menyebutkan nama lengkapmu tadi," kata Gladis bersikeras. Aku ingin mengatakan kalau banyak orang yang mengetahui nama lengkapku. Tapi aku tidak mau terlihat sombong atau semacamnya. Bisa saja Gladis itu hanya sok kenal, bukan? "Kamu sedang menunggu seseorang?" tanya Gladis sambil menyapukan pandang ke sekeliling kafe. "Bukan urusan kamu," jawabku ketus. Bukannya tersinggung, Gladis malah tergelak. "Kamu memang sangat dingin," ujar Gladis, masih dengan sisa tawanya yang sangat menyebalkan. Tawa Gladis terhenti saat pelayan membawakan jus apel pesanannya. Dia menyodorkan minuman itu padaku seraya mengedipkan sebelah mata. Aku yang terkejut dengan sikapnya bersiap untuk berdiri. Sayangnya, minuman itu malah tumpah dan sedikit mengenai kerah kemejaku. Gladis membulatkan mata. Dia segera mengambil tisu dan mulai menyentuh bajuku. Aku sungguh tidak bisa bertahan lebih lama, jadi aku menyingkirkan tangannya. Tanpa kuduga, wanita itu malah menggenggam tanganku. Bola mataku nyaris melompat keluar menyadari kedekatan kami. "Axel." Sekarang giliran jantungku yang serasa akan melompat keluar ketika mendengar suara itu. Suara Nasha. Aku tidak mungkin salah. Pandanganku bertemu dengan Nasha yang tersenyum canggung. Tapi hanya sebentar, karena Nasha lebih tertarik pada hal lain. Aku mengikuti arah pandangnya. Gawat! Dia melihat tangan Gladis yang memegang tanganku erat. Aku memandang tajam wanita itu agar dia sadar diri. Tapi tampaknya dia memang tidak bermaksud melepaskan tanganku, jadi aku menyentak tangannya dengan kasar. "Nasha, dia ...." "Hai, kamu Nasha?" tanya Gladis dengan gaya seolah sudah mengenal Nasha sebelumnya. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum lebar. "Aku Gladis. Teman dekat Axel." Aku ingin membantah ucapan Gladis, tapi Nasha malah menyambut tangan wanita itu. Dia sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan sikap Gladis yang aneh. Nasha tidak mungkin memercayai Gladis, bukan? "Hai, aku Nasha. Aku ... ," Nasha sempat melirikku sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "hanya teman lama Axel." Apa kata Nasha? Hanya teman lama? Seriously? Dia adalah calon istriku. Bukankah aku sudah berulang kali melamarnya? Bahkan aku hampir mengakui kalau aku mencintainya. Mengapa sekarang dia seolah tak mengenalku dengan baik? "Really? Aku pikir kamu calon istrinya." Pertanyaan Gladis membuatku menoleh pada wanita itu. Apa dia mengenal Nasha? Caranya bertanya sangat mencurigakan. "Kamu pasti salah orang," elak Nasha. "Axel bilang dia akan menikahi seseorang, padahal aku tidak pernah melihatnya dekat dengan wanita mana pun. Jadi, waktu kamu menyapanya tadi, kupikir kalian cukup dekat. You know, tidak banyak orang yang mau menyapanya," kata Gladis santai, lalu tertawa tidak jelas. "Benarkah? Mungkin dia hanya mengatakan itu untuk menolakmu," balas Nasha. "Nasha," panggilku tak sabar. Aku tidak ingin Nasha salah paham padaku. Kami baru saja dekat. Aku tidak rela membiarkan orang asing merusak kebahagiaan kami. "Aku benar-benar tidak mengenalnya. Trust me," ucapku serius. Nasha tersenyum. "Aku selalu memercayaimu, Xel. Tidak perlu khawatir." Tapi aku tidak bisa memercayai ucapan Nasha. Dia jelas tidak terlihat percaya padaku. Senyumnya terlihat sedikit aneh dan entah mengapa itu membuatku merinding. "Aku hanya kebetulan melihatmu, jadi aku menyapa. Maaf kalau aku mengganggu kalian. Permisi." Nasha melirikku lagi sebelum benar-benar pergi. "Nasha!" Aku melangkah untuk mengejar Nasha, tapi Gladis menahanku. "Tidak usah dikejar." Aku menatapnya penuh kemarahan. Apa haknya untuk mencegahku? "Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Kita bahkan tidak saling mengenal," protesku berapi-api. Gladis mengangkat bahu. "Kita memang tidak saling kenal." "Lalu apa maksud kamu mengatakan kalau kita teman dekat?" "Supaya Nasha cemburu." "Apa?" "Sean yang menyuruhku ke sini." "Surprise!" Sean tiba-tiba muncul dari belakangku. Jadi, dari tadi aku menunggu siapa? Aku mulai bisa menarik benang merah dari kejadian tadi. "Jadi, ini yang kamu sebut bantuan?" tanyaku memastikan. Sean mengangguk cepat. "Bagaimana? Keren, kan? Ini memang cara kuno, tapi sekaligus paling ampuh." "Tapi Nasha marah," kataku mulai tak sabar. "Memangnya menurut Kakak, kenapa Kak Nasha marah?" Aku terdiam. Betul juga. Mengapa Nasha terlihat marah tadi? Mataku membelalak setelah menyadari sesuatu. Jangan bilang kalau Nasha .... "Betul sekali. Kak Nasha cemburu. Itu artinya dia suka sama Kakak." Senyumku melebar membayangkan Nasha yang mulai membuka hati. Rasanya aku ingin segera menyusul dan mengatakan kalau semua ini hanya akal-akalan Sean. Tapi sebaiknya jangan dulu. Aku akan tunggu reaksi Nasha selanjutnya. "By the way, sejak kapan Kak Nasha pakai jilbab?" Aku tercenung mendengar pertanyaan Sean. Dari tadi aku memang merasa ada yang ganjil. Ternyata itu adalah penampilan Nasha. Sejak kapan dia memutuskan untuk berhijab?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD