1. Nasha

1837 Words
Aku menatap Axel yang masih asyik bermain 'cilukba' dengan anak kami. Sejujurnya, aku tidak ingin mengakui ini. Tapi mau bagaimana mana lagi. Ares memang anakku dan Axel. Walaupun aku tetap ingin memiliki Ares seorang diri. "Sudah sore. Kamu tidak mau pulang?" tegurku. "Kamu mengusir saya?" Aku memutar bola mata. Lagi-lagi 'saya'. Mengapa Axel tidak juga mengubah gaya bahasa formalnya padaku. Kami sudah bersama selama tiga bulan. Maksudku bersama dalam artian saling mengenal. Lebih tepatnya, belajar untuk mengerti pribadi kami masing-masing. "Bukan begitu. Ini sudah hampir malam. Memangnya kamu mau tidur di sini?" cibirku. Axel itu keturunan Amerika-Jawa. Keluarganya menjunjung tinggi kesopanan. Jadi, tidak mungkin dia mau menginap di apartemenku. Aku memang memutuskan untuk tinggal di sini ketimbang di rumah Ibu. Setidaknya di apartemen aku lebih leluasa dan jauh dari gosip. Kalian tentu tahu bagaimana kehidupan wanita yang memiliki anak tanpa suami. Akan banyak orang yang mencibir dan merendahkan. Padahal tidak semua orang yang hamil di luar nikah itu karena kesalahan mereka. Bagaimana jika mereka adalah korban pemerkosaan? Sayangnya, terkadang tidak banyak orang yang menyadari hal itu. Bagi mereka, memiliki anak tanpa hubungan pernikahan adalah hal yang memalukan. Jadi, si pelaku boleh disalahkan, bahkan dicaci maki. Mereka seolah senang melihat orang lain sakit hati dan menderita. Pernahkah mereka merasakan apa yang dialami wanita saat membesarkan anak seorang diri tanpa suami? Setiap orang pernah berbuat salah, tapi kita tidak berhak untuk menghakimi mereka. Jangan menyalahkan orang lain, apalagi menghina, jika kita tidak mengetahui apapun. Cukup diam. Kalau kalian bisa sedikit berbaik hati, berikan dukungan pada mereka. "Bagaimana kalau kamu saja yang ke rumah saya?" Pertanyaan yang sering dilontarkan Axel itu membuatku menghela napas. Entah sudah yang ke berapa kali dia bertanya. Aku selalu bingung dengan jawabannya. Mengapa Axel tidak juga menyerah? Axel bukan orang yang sulit untuk disukai. Dia memang sedikit dingin, tapi sangat perhatian pada saat-saat tertentu. Apalagi wajahnya tampan. Didukung dengan pekerjaan mapan dan kekayaan yang menyilaukan. Axel adalah kandidat sempurna untuk pendamping hidup. Tapi aku adalah aku. Wanita yang bahkan tidak bisa menghapus bayangan pria masa lalu. Pria yang hanya menganggapku sahabat. Pria yang lebih memilih bersama dengan wanita lain, meski dia tahu jika aku sangat mencintai dan menginginkannya. Pria yang melepasku pergi demi kebahagiaan kami. Fauzan Alfarizi. Bagaimana mungkin bisa aku melupakannya dengan mudah. Segala hal tentangnya masih tertata rapi dalam hatiku. Aku memang sudah merelakan dia bahagia dengan istri pilihannya, tapi bukan berarti lantas melupakan pria yang kucintai selama bertahun-tahun itu. Alfa mengenalkan sesuatu yang bernama 'cinta' padaku. Karenanya, aku bisa merasakan jatuh cinta, perjuangan, dan juga sakit hati. Cinta pertama yang berakhir derita. Aku tidak mengerti mengapa harus mencintai Alfa sedalam ini. Padahal dia jelas-jelas tidak pernah memedulikan perasaanku. Dia selalu memilih wanita lain untuk dicintai. Terkadang aku merutuki kebodohanku karena cinta tak berbalas ini. Aku merasa sangat menderita setiap kali Alfa bersama dengan wanita lain. Rasanya tidak rela melihat pria itu memuja wanita selain diriku. Sangat mengenaskan, bukan? Meski begitu, aku senang karena pernah menjadi istri Alfa. Ya ... bukan istri yang seperti kalian bayangkan. Aku hanya memanfaatkan Alfa untuk menyelamatkanku dari Ibu. Saat itu, Ibu menemukan test pack di kamarku. Berhubung aku tidak berniat mengakui Axel sebagai ayah dari anak yang kukandung, pada akhirnya Alfa lah yang harus menanggung beban itu. Kalian betul. Aku mengatakan pada Ibu bahwa Alfa adalah orang yang menghamiliku. Alfa yang memang peduli padaku sangat marah. Tapi, dia kemudian setuju untuk menikahiku. Tentunya setelah aku sedikit memelas. Ya ... ya ... ya .... Aku tahu kalian pasti akan menyalahkanku. Atau mengatakan kalau aku ini wanita pemaksa. Apalagi saat itu Alfa sudah memutuskan untuk menikah dengan Almira. Dia dijodohkan dan berniat untuk membuka hatinya pada gadis lain. Bayangkan bagaimana perasaanku? Aku menunggu Alfa yang terluka karena dikhianati oleh Hana, mantan kekasihnya. Tapi dia malah memberikan kesempatan kepada gadis lain untuk mengobati luka hatinya. Mengapa bukan aku? Aku yang selalu berada di sampingnya ketika dia putus asa. Aku yang selalu menjadi sandarannya. Aku yang mendengarkan semua keluh kesah dan menghiburnya. Lalu, mengapa dia membiarkan gadis lain merebut posisi yang kuinginkan? Cukup! Aku selalu kehilangan kendali saat membicarakan tentang Alfa. Aku sudah memutuskan untuk melepas Alfa. Aku tahu itu. Seharusnya aku memulai lembaran baru dengan Axel atau siapa pun. Mengapa aku tidak mampu melakukannya? "Nasha!" Aku tersentak mendengar panggilan Axel. Mataku menangkap sosok pembantu rumah tanggaku yang berdiri di dekat pintu keluar. Dia tersenyum kikuk. "Mbak Tina mau pulang sekarang?" tanyaku pelan. Wanita yang berusia enam tahun lebih tua dariku itu mengangguk. "Memang sudah waktunya pulang, Mbak." Aku melihat jam di pergelangan tanganku, lalu tertawa pelan. "Saya permisi, Mbak Nasha. Mari, Mas Axel." Axel menggaruk tengkuk mendengar panggilan 'Mas' yang dilontarkan Tina, tapi tetap mengangguk sopan. Padahal dia sudah terbiasa dengan panggilan itu semenjak Tina bekerja di apartemenku. Axel itu orang Jawa, tapi lebih suka dipanggil 'Kak'. Katanya panggilan itu lebih Indonesia. "Kalau kita sudah menikah, kamu akan memanggil saya mas juga?" tanya Axel setelah Tina menghilang di balik pintu apartemen. "Aku bakal manggil kamu saya," jawabku ketus. Axel terbahak mendengar jawabanku. Membuat mulutku terbuka lebar menyaksikan pemandangan ganjil itu. Aku bahkan tidak berkedip untuk sekadar memastikan penglihatanku. Tapi, keterkejutanku hanya berlangsung sekian detik. Axel ternyata cepat menyadari kesalahan. Dia berdeham keras untuk menutupi rasa malu. "Kenapa berhenti tertawa?" Wajah Axel membatu. Dia menatap lurus ke arah lain. Terus terang saja, aku merasa jika pria itu terlalu menutup diri. Dia seolah tidak mengizinkan dirinya untuk bahagia. Padahal dia selalu berkata bahwa setiap orang berhak bahagia. Lalu, mengapa dia mengunci diri dalam dunianya sendiri? "Karena tertawa membuat saya lupa diri." Keningku berkerut, tapi tidak menyela. Karena sepertinya dia masih ingin mengatakan sesuatu. "Saya dulunya orang yang paling sering tertawa. Tapi, ternyata tawa itulah yang membuat saya kehilangan Papa." Aku menggeser posisi agar bisa melihat wajah Axel, tapi harus kecewa karena saat ini dia kembali berekspresi datar. Sudah lama aku penasaran dengan cerita mengenai ayahnya. Axel selalu berubah dingin ketika membicarakan sosok pria yang telah meninggal itu. Pasti ada rahasia yang disimpan oleh Axel. "Mau menceritakan sesuatu?" tawarku halus. Aku tidak ingin terlihat ingin tahu urusan Axel. Axel memicingkan mata. "Kamu penasaran?" "Lupakan." "Mungkin saya akan menceritakan hal itu setelah kamu bersedia menjadi istri saya." "Axel! Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa kamu permainkan." Aku menelan ludah dan mencibir dalam hati. Bukankah aku dulu juga mempermainkan ikatan suci itu? "Kamu pikir saya sedang bermain-main? Saya serius dengan lamaran saya." Axel menatapku serius. Itulah yang kutakutkan. Dia terlihat bersungguh-sungguh untuk menikah. Sementara aku masih belum bisa lepas dari bayang-bayang Alfa. Aku paling mengerti bagaimana rasanya memiliki pasangan yang mencintai orang lain. Axel memang ayah kandung Ares, tapi bukan berarti aku bisa bersamanya dengan mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Axel termasuk pengusaha muda yang terkenal. Bagaimana jika media tahu kalau dia memiliki anak di luar nikah? Aku takut dia akan mengalami kesulitan. Cukup aku yang lari dan bersembunyi karena masalah ini. Jangan Axel. Aku juga memikirkan tentang keluarga Axel. Bisakah mereka menerimaku? Aku takut saat membayangkan reaksi keluarganya begitu melihatku. Khawatir mereka mengizinkan Axel menikahiku hanya karena kesalahan yang kami lakukan. "Xel, berhentilah, please," pintaku lirih. Axel mendengkus. Dia menatap Ares yang terus menggumam di kasur kecilnya, lalu tersenyum. Tangan kanannya membelai pipi anak itu. "Mama sangat keras kepala, Sayang. Bisakah kamu membujuk Mama untuk Papa?" Mataku melebar mendengar permintaan Axel pada Ares. Meski kami terbiasa menyapa Ares dengan panggilan itu, tetap saja, hatiku berdesir setiap Axel mengatakannya. Seolah kami cukup dekat untuk saling menyapa 'mama-papa'. Kenyataannya Axel lebih dekat dengan Ares. Hal itu terkadang membuatku iri. Ares lebih banyak mengoceh saat bersama Axel. Ini semua karena Axel terlalu sering berkunjung. Bahkan kadang seharian penuh jika dia sedang libur dan tidak sibuk. Sementara aku harus berkutat dengan desain baju hampir sepanjang hari. Mau bagaimana lagi? Aku butuh banyak uang untuk masa depan, bukan? Lagi pula, aku tidak bisa tiba-tiba menutup butik yang telah kubanggakan selama ini. Aku bersyukur memiliki banyak karyawan yang bisa dipercaya. Jadi, aku tidak terlalu khawatir dengan keberlangsungan butik. "Aku dan kebahagiaan adalah dua kata yang tidak bisa disatukan. Jika kamu terus mendekatiku, kamu tidak akan pernah bisa bahagia. Jadi, please, jangan seperti ini." Axel terdiam cukup lama sebelum bertanya dengan nada terluka, "Kamu masih belum bisa melupakan Alfa, bukan?" "Axel," desisku. Aku mendengar Axel menghela napas berat. Dia berpaling padaku dan tersenyum. "Tidak bisakah kamu membuka hati sedikit saja? Saya ingin Ares bersama dengan kita. Kamu pasti sangat mengerti bagaimana hidup tanpa seorang ayah." Ya, tentu saja aku mengerti. Sejak kecil aku tidak pernah mengenal sosok ayah. Rasanya sangat berat ketika banyak orang yang memandang sebelah mata status itu. Tapi, nyatanya aku bisa bertahan. Ares juga pasti mampu melewati ujian yang pernah kulalui, dia lebih kuat dariku. "Saya tahu Ares mampu melalui hari-harinya tanpa seorang ayah, tapi dia harus berusaha lebih keras. Tidakkah kamu ingin meringankan beban Ares?" "Kamu juga tumbuh tanpa sosok ayah, Xel," ujarku mengingatkan. "Itulah yang saya maksud. Kita sama-sama tahu jika hidup tanpa sosok ayah sangat tidak mudah. Jadi, jangan biarkan Ares merasakan apa yang kita lalui." "Tapi, Xel, kita tidak saling mencintai." "Kamu yang tidak mencintai saya, Sha," mataku beralih cepat menatap Axel. Apa maksudnya? Dia tidak .... "Saya tidak akan mengatakan hal itu sampai kamu mau menikah dengan saya," kata Axel setelah berdeham beberapa kali. "Kamu benar-benar sudah memberi tahu keluargamu mengenai Ares?" tanyaku, mencoba mengalihkan pertanyaan yang berkecamuk di kepala. "Kamu meragukan saya?" Aku mengangkat bahu. "Semua keluarga saya menanti kedatangan kamu dan Ares ke rumah. Mereka menanyakan hal yang sama setiap hari sampai saya merasa bosan menjawab." "Memangnya apa yang mereka tanyakan?" "Kapan saya berhasil membujuk kamu agar bersedia menikah dengan saya," jawab Axel tenang. Sekarang giliranku yang terdiam. "Kamu mungkin hanya bisa menikahi ragaku. Karena jiwaku masih sulit dikendalikan." "Saya bersedia menunggu untuk itu. Setidaknya kamu bertemu dengan Mama dulu. Mama sangat menantikan saat-saat ini." "Saat-saat ini?" beoku tak mengerti. "Saat di mana saya telah menemukan wanita impian saya." Ya ampun, Hati! Jangan melonjak kegirangan seperti itu. Bukankah kamu masih mencintai Alfa, mengapa kamu berdebar hanya karena perkataan Axel barusan? "Jadi, bagaimana?" "Bagaimana apanya?" "Sha, kita sudah cukup lama berusaha saling mengenal. Mengapa kamu terus berpura-pura?" "Karena nyatanya aku belum mengenalmu sama sekali." "Maksud kamu?" "Kamu tidak merasa nyaman saat bersamaku, kan?" Kening Axel menampilkan kerutan. "Tentu saja saya nyaman. Kalau tidak, untuk apa setiap hari saya datang ke sini?" "Tapi kamu masih menggunakan kata saya waktu berbicara. Itu artinya, aku tidak membuatmu nyaman, kan?" Axel mendengkus. "Jadi, hanya karena hal itu?" "Hanya?" Aku menatap sebal Axel saat dia malah tersenyum. "Kalau begitu, aku bisa merubahnya." "Mulai terpesona?" Aku terkejut karena sempat tertegun. "Aku bisa melakukan apa saja untuk meyakinkanmu," lanjut Axel. Aku masih belum bisa menemukan kata-kata yang tepat. Mengapa aku merasa jika suasana apartemen jadi sedikit panas. Padahal aku bisa melihat tetesan hujan yang turun dari jendela apartemen. "Jadi, kapan kita akan menemui Mama?" desak Axel. Tetap tidak ada jawaban dariku. Aku masih setia menatap rintik air di luar sana. Hatiku belum yakin dengan keputusan yang tepat. Bolehkah aku meminta Axel menunggu sebentar lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD