01. Calon Pengantin Pria Kabur
"Gimana Yah? Ada kabar lain dari Reksa?"
"Calon suami kamu tetep enggak bisa ditemukan, kami udah cari dia kemana-mana tapi, hasilnya nihil, Mawar," ujar Djaya, sang Ayah.
Mendengar perkataan tersebut, Mawar langsung limbung ke belakang. Entah apa yang terjadi, di hari pernikahan, menuju ke akad beberapa puluh menit lagi, calon suaminya tiba-tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Keberadaanya tak bisa terdeteksi, seluruh keluarga yang sibuk mencari tak juga mendapatkan hasil dari apa yang mereka cari.
"Terus gimana sama pernikahan Mawar, Yah?" tanya Anjani, sang Ibu yang nampak sedih, khawatir dan tidak kuasa dengan apa yang tengah terjadi.
"Mawar, kemarin sebelum menikah, apa kamu dan Reksa bertengkar? Atau ada masalah serius?"
Mawar yang kini duduk di pembaringan pun menggelengkan kepala. Tidak ada masalah sama sekali diantara ia dan Reksa. Semuanya benar-benar baik-baik saja. Reksa tetap menjadi kekasihnya yang manis seperti dua tahun terakhir. Dia masih mengucapkan selamat tidur dan kata-kata membuai lain saat terakhir kali mereka berdua bertukar pesan. "Enggak Ayah, Mawar sama Reksa enggak bertengkar sama sekali. Kami baik-baik aja kok. Kami bahkan bahagia banget karena pada akhirnya, hari yang udah kami nanti tiba juga. Hari yang udah kami harapkan hadir juga. Aku enggak tahu kenapa Reksa tiba-tiba kayak gini."
Tetes air mata tangis Mawar mulai membasahi pipi, wanita itu terjebak dalam bingungnya sikap Reksa.
"Bagaimana sekarang Yah?" tanya Anjani pada sang suami yang juga nampak tak tahu arah. Tak bisa berbuat banyak.
"Keluarga Reksa tidak bisa diandalkan, Ayah curiga kalau ada yang mereka sembunyikan dari kita."
"Jangan pikirkan lagi tentang Reksa. Kita cari kemanapun hanya akan buang waktu." Anjani menatap sang anak iba, tak menyangka jika hal buruk ini akan terjadi kepada Mawar. "Kita harus memikirkan pernikahan Mawar. Mau dibatalkan saja atau dilanjutkan tanpa adanya mempelai pria?"
Hanya dua opsi itu yang kini tersisa.
Mawar kini tahu kalau semuanya akan berakhir di sini. Trauma hebat telah Reksa berikan ke dalam hidupnya.
"Mawar, Ayah serahkan kepada kamu. Maunya kamu bagaimana akan kami turuti, tidak ada opsi lain sekarang. Kami semua sudah berusaha mencari Reksa, menemui tempat-tempat yang kemungkinan, Reksa ada di sana, tapi nihil. Reksa benar-benar menghilang tanpa jejak, tak meninggalkan sepatah kata atau pun penjelasan kenapa dia memperlakukan kamu seperti ini." Djaya menggenggam tangan sang anak kuat-kuat, ia tak tega melihat tangis Mawar yang semakin menderas dan terdengar sangat amat kesakitan.
Di tengah keadaan yang kacau itu, tiba-tiba pintu kamar Mawar diketuk.
Anjani buru-buru membukanya, berpikir jika mungkin itu adalah orang tua dari Reksa. Namun sosok jangkung yang kini berdiri di depan sana sungguh membuat ia melongo.
"Dimas?"
"Bu." Dimas menyalimi sopan tangan Anjani. "Maaf Dimas lancang ke sini, tadi Dimas dengar, Ibu dan Ayah memang lagi di kamar sini."
Anjani menganggukan kepala mendengar perkataan dari mantan suami anak pertamanya. "Memang ada apa Nak?"
Dimas melirik ke arah belakang sesaat, bingung mendapati suara tangis tersedu Mawar. "Mawar kenapa Bu?"
Anjani gusar sesaat sebelum kemudian, menyuruh Dimas masuk ke dalam kamar. Lelaki itu menuruti, mengikuti langkah, menyalimi tangan Djaya dengan hormat dan menatap Mawar penuh tanya.
"Calon suami Mawar menghilang entah kemana sekarang," jelas Djaya.
Dimas yang saat itu masih memegang kado pun termenung, iba.
"Nak Dimas ingin menemui Ibu dan Ayah karena ada sebab apa?"
"Dimas ingin pamit lebih awal karena ada beberapa urusan di rumah sakit." Meski di samping itu, alasan terbesar Dimas ingin pergi dari tempat ini adalah sang mantan istri, Lily dan suami barunya. Ia tak ingin berpapasan sama sekali dengan mereka.
Tapi kalau situasinya sedang begini, Dimas juga tak enak kalau harus tiba-tiba memberi kado dan pergi dari kamar Mawar.
"Dimas."
Dimas menatap Anjani yang memanggilnya barusan. "Ya Bu?"
"Menikahlah dengan Mawar."
"Bu!" Mendengar penuturan tersebut, Mawar langsung berdiri kaget. Mana mungkin ia menikahi mantan iparnya.
"Kita punya opsi lain Mawar. Agar kamu tidak perlu malu di pelaminan sendiri atau daripada membatalkan acara pernikahan ini."
Mawar tidak mengerti cara berpikir Anjani sekarang. "Bu, mana mungkin Mawar menikah dengan Mas Dimas."
"Mungkin, Mawar! Dimas, tolong kami, menikahlah dengan Mawar."
Dimas yang tiba-tiba ditodong dengan permintaan tersebut langsung menggelengkan kepala. Tak masuk akal. Kenapa Anjani memintanya begini?
"Bu! Udah! Kenapa Ibu harus menyeret Mas Dimas dalam permasalan kita?! Mawar enggak mau Bu!"
"Dimas, Ibu mohon! Bantu kami, tolong nikahi Mawar!" Anjani duduk di atas ubin dan memegang kaki Dimas seerat yang dia bisa. "Dimas, sungguh, tolong kami."
"Bu, jangan begini." Dimas mencoba menarik Anjani untuk berdiri. Paruh baya itu mulai tersedu.
"Kami enggak punya jalan pilihan lain, Dimas. Kami buntu sekarang, kasihani kami. Pesta sudah digelar, akad sudah dinantikan, kalau Mawar enggak menikah, kami enggak tahu harus bagaimana."
"Mas, Mawar mohon, jangan dengerin Ibu."
Di tengah pembicaraan tersebut, pintu hotel yang tidak tertutup rapat pun terbuka lebar. Lily, mantan istri Dimas masuk dengan suaminya. Mereka bertiga sempat saling pandang sesaat, sebelum kemudian, Dimas mengalihkan diri.
Dalam sedetik, mata Dimas yang sebelumnya berpendar bimbang langsung menegas.
Ada seringai yang muncul tipis di wajahnya, seringai yang tersembunyi di balik kesedihan dan keputus-asaan orang-orang di kamar tersebut. Satu kesimpulan berputar di kepala Dimas saat ini. Tentang ia, masalalu juga Lily dan suami barunya.