Jam udah nunjukin pukul 6 sore dan gue masih harus menghembuskan nafas lelah karena mendapati kenyataan kalau Mas Angga belum beranjak sedikitpun dari depan pintu pintu rumah gue, Bi Jar bahkan udah pulang setengah jam yang lalu juga gak berhasil ngusir Mas Angga untuk pulang, apa Mas Angga beneran mau nunggu Mas Afi pulang? Kalau sampai Mas Afi ketemu ketemu sama Mas Angga di depan rumah nanti, gue gak bisa menjamin Mas Afi akan bereaksi kaya apa, Mas Afi bisa ngamuk atau bahkan mukulin Mas Angga gak ada belas kasihan nanti, Mas Angga gak mungkin lupa kalau dia gak akan pernah menang dari Mas gue kalau soal bela diri.
Lagian gue heran banget, kalau kemarin Mas Angga punya keberanian untuk ninggalin gue tepat di hari pernikahan, sekarang dia dateng nemuin gue dengan alasan apalagi? Apa yang Mas Angga mau dari gue sekarang sampai tu orang punya keberanian lebih banyak untuk nemuin gue di rumah kaya gini? Apa Mas Angga gak punya otak untuk mikir? Apa Mas Angga pikir dia masih punya hak untuk nemuin gue kaya sekarang setelah apa yang di lakuin ke gue? Mas Angga jelas gak punya hak sama sekali, Mas Angga gak akan datang dan nungguin gue kaya sekarang kalau dia masih punya harga diri.
Mas Angga yang gue kenal jelas mempunyai harga diri yang cukup tinggi, walaupun dari segi kekayaan dan harta Mas Angga masih jauh di bawah gue tapi selama ini Mas Angga gak pernah merendah di depan gue hanya karena masalah harta jadi alasan apa yang Mas Angga punya sekarang sampai Mas Angga punya niat kuat untuk nemuin gue di rumah? Apa Mas Angga gak mikirin perasaan gue sedikitpun? Gimana perasaan gue setelah di tinggalin dia gitu aja kemarin tanpa ada penjelasan apapun? Semuanya bahkan baik-baik aja sebelum hari pernikahan kita berdua tapi dengan teganya Mas Angga mempermalukan gue dan Mas Afi dengan sikapnya yang menghilang gitu aja.
Apa perasaan gue gak berarti sedikitpun untuk Mas Angga? Tapi kalau Mas Angga masih mikirin perasaan gue, dia gak akan tega bahkan berani nyakitin gue sampai kaya gini, Mas Angga gak akan ninggalin gue tanpa penjelasan apapun kalau memang Mas Angga punya waktu untuk mekirin perasaan gue saat itu akan bagaimana jadi sekarang, sama halnya Mas Angga yang gak mau tahu apapun tentang perasaan dan keadaan gue pas ditinggal, sekarang gue juga akan melakukan hal yang sama, gue gak akan mau tahu apapun lagi tentang dia, bahkan kalaupun saat ini perasaan gue untuk Mas Angga masih ada tapi gue akan berusaha keras menutup mata gue tentang apapun, apapun yang menyangkut tentang Mas Angga, gue gak akan peduli lagi.
Masih gue berdiri di dekat jendela kamar, gue menghembuskan nafas berat dan berdiri termenung memperhatikan ke luar jalan, satu hal gue memikirkan gimana kalau Mas Afi pulang dan malah nemuin Mas Angga di depan rumah kaya sekarang dan satu hal lagi gue juga gak bisa berhenti mikirin Azril, sampai sekarang gue masih menunggu kabar Azril juga, gue masih terus nge-cek handphone gue nunggu pesan gue di balas oleh Azril, setidaknya kalaupun Azril gak bisa nemuin gue secara langsung, paling gak Azril bisa ngebales pesan chat gue, paling gak gue bisa jauh lebih tenang, paling gak gue udah tahu keadaan Azril itu gimana.
Masih gue memperhatikan ke luar jendela dengan pemikiran yang masih memikirkan banyak hal, gue langsung berdiri tegak begitu ngeliat mobil Mas Afi memasuki pekarangan rumah, otak gue langsung bekerja ekstra sekarang, bakalan kacau kalau Mas Angga berdebat sama Mas Afi di bawah, gue bukannya khawatir Mas Angga kenapa-napa tapi gue gak mau Mas Afi yang buang-buang tenaga cuma untuk ngurusin laki-laki yang gak punya pendirian kaya gitu, jangankan punya pendirian, maunya apa aja udah gak jelas, bingung sendiri gue mikirinnya.
Gak mau berdiri mematung lebih lama, gue ngambil hijab instan dan langsung berjalan cepat turun ke bawah untuk nemuin Mas Afi, Mas Afi yang harus gue amankan lebih dulu kalau udah begini, gue gak mau Mas Afi ribut di depan dengan orang kaya Mas Angga, Mas Angga kalau di ladenin malah seneng karena dia pikir dia udah berhasil narik perhatian gue, orang kaya Mas Angga itu cukup di diemin karena kalau gak gue peduliin, tu orang juga bakalan pulang sendiri, gak mungkin Mas Angga mau nunggu semalaman di depan rumah guekan? Gue yakin Mas Angga gak akan seniat itu.
"Lo mau ngapain lagi di depan rumah gue? Apa ucapan gue tadi pagi belum jelas? Gue ngasih tahu lo untuk gak nemuin Adik gue lagi, jangankan nemuin, muncul di depan Adik gue aja jangan kalau lo bisa, apa lo gak ngerti maksud ucapan gue?" Ucap Mas Afi begitu gue membuka pintu rumah.
Mendengar ucapan Mas Afi, bukannya Mas Angga yang bereaksi tapi yang kaget malah gue, gue gak tahu kalau Mas Afi udah ketemu lebih dulu sama Mas Angga tadi pagi, kalau memang kaya gitu, itu artinya sebelum nemuin dan nungguin gue di depan pintu rumah hampir seharian kaya gini, Mas Angga udah ketemu sama Mas Afi lebih dulu, kalau memang ternyata Mas Angga udah ketemu Mas Afi lebih dulu dan Mas Afi udah ngomong kaya gitu juga, terus maksud Mas Angga malah tetap dateng ke rumah gue dengan beraninya itu apa? Mas Angga bosen hidup?
"Fi! Gue udah jelasinkan kalau gue ngelakuin ini semua karena lo juga, itu semua karena lo nipu gue mengenai masalah harta warisan Nasya, lo nipu gue dengan ngomong kalau Nasya gak akan mendapatkan apapun, apa lo pikir gue akan tinggal diam setelah lo semua ngerjain gue sampai kaya gini? Gue gak dateng ke acara pernikahan gue sama Adik lo karena gue mau ngasih lo pelajaran, masalah hubungan gue sama Nasya lo gak berhak ikut campur sama sekali." Jelas Mas Angga terlihat sangat gak terima.
Ck! Jadi ini alasan Mas Angga ninggalin gue tepat di hari pernikahan kita berdua kemarin? Itu karena Mas Angga udah tahu kalau Mas Afi nyoba nguji ketulusan Mas Angga gue, setelah tahu Mas Angga merasa di kecewakan makanya dengan sengaja ngerencanain ini semua, bersikap seolah gak tahu apapun dan dengan santainya ninggalin gue tepat di hari pernikahan? Wah salut gue sama rencananya, apa Mas Angga memang orang segila ini? Apa Mas Angga pikir sikapnya sekarang sangat baik sampai-sampai pekara meninggalkan gue di hari pernikahannya aja bisa dianggap sebagai pekara remeh kaya gini.
"Kalau memang lo tulus sama Adik gue seharusnya lo gak akan terganggu dengan apa yang gue perbuat, apa gue salah? Enggak penilaian gue gak pernah salah, dari awal lo memang gak tulus sama Adik gue, laki-laki yang gak ada ketulusan kaya lo gini sampai kapanpun gak akan pernah sepadan dengan Adik gue, gue gak akan ngelepasin Adik gue untuk laki-laki yang cuma gila harta kaya lo gini." Balas Mas Afi semakin gak terima.
Melihat Mas Afi yang mulai menggenggam jemarinya kuat, gue narik lengan Mas Afi untuk menenangkan, Mas Afi gak perlu buang-buang tenaga ngadepin Mas Angga sekarang karena setelah mendengar jawaban dan alasan kenapa Mas Angga ninggalin gue gitu aja kemarin, gue langsung sadar kalau ternyata selama ini penilaian Mas gue gak pernah salah, Mas Angga cuma laki-laki licik yang akan mendendam kalau seseorang melakukan kesalahan terhadap dia, gue yang bodoh karena gak pernah sadar akan hal itu selama ini.
"Tulus enggaknya gue sama Nasya, bukan lo yang nentuin, Nasya yang akan mutusin semuanya, kalau Nasya tetap bersedia nerima gue, lo gak punya hak untuk keberatan, itu hidup Nasya bukannya hidup lo jadi gak usah sok berkuasa." Mendengarkan jawaban Mas Angga sekarang, Mas Afi sudah hampir melayangkan pukulannya kalau gak ada gue yang nahan lengan Mas Afi erat, gue gak nyangka kalau Mas Angga akan segila ini.
"Biar Nasya, Mas." Ucap gue melepaskan genggaman gue di lengan Mas Afi, okey mari kita dengar alasan apa yang akan Mas Angga buat untuk meyakinkan gue sekarang.
"Jadi itu alasan Mas ninggalin Nasya? Okey karena Mas udah selesai dengan balas dendam Mas dan sekarang pernikahan kita udah batal, Mas mau apa lagi dengan nungguin Nasya di depan rumah sampai hampir seharian begini?" Tanya gue dingin, gue bahkan gak natap Mas Angga sama sekali, gue lebih rela natap lantai ketimbang harus natap mukanya Mas Angga sekarang, lantai lebih enak gue liat kemana-mana.
"Alasan Mas nemuin kamu kaya gini karena Mas masih cinta sama kamu, Mas cuma mau kamu tahu kalau perasaan Mas sama kamu gak berubah, Mas tulus cinta sama kamu terlepas dari apapun yang udah Mas kamu lakuin ke Mas selama ini, Mas tahu kalau selama ini kamu gak punya pilihan lainkan selain ngikutin mau Mas kamu? Makanya kamu setuju untuk nipu Mas, Mas memang kecewa tentang itu tapi itu semua gak akan bisa ngubah perasaan Mas ke kamu, Mas masih sangat-sangat mencintai kamu Sya, sangat." Ucapan Mas Angga terlihat sangat meyakinkan sekarang.
Gue tersenyum sinis bahkan hampir tertawa mendengarkan jawaban Mas Angga barusan, cinta? Tulus? Apa gue gak salah denger? Dari bagian mana Mas Angga bisa narik kesimpulan kalau sikapnya ke gue selama ini adalah sebuah ketulusan? Sangat-sangat mencintai gue dari segimananya? Apa Mas Angga sadar waktu ngomong dengan gue barusan, gue bahkan hampir gak percaya dengan apa yang barusan gue dengarkan.
"Cinta? Tulus? Apa Mas pikir sikap Mas kemarin bisa menunjukan semua ketulusan Mas? Apa hanya karena Mas Afi nguji ketulusan Mas ke Nasya bisa Mas jadikan alasan untuk mempermalukan Nasya kaya kemarin? Mas gak mikirin perasaan Nasya sama sekali jadi gimana bisa Mas ngomong kalau Mas masih sangat-sangat mencintai Nasya?" Tanya gue tertawa kecil tapi air mata gue siap tumpah kapan aja?
Rasa cinta dan ketulusan yang Mas Angga maksud, gue sama sekali gak bisa ngeliat itu semua, gue gak bisa menilai dari sudut mana Mas Angga bisa narik kesimpulan kalau apa yang dia lakuin itu bisa menunjukan rasa cintanya yang sangat-sangat itu ke gue? Mas Angga gila atau gimana? Gue bahkan harus menertawakan diri gue sendiri karena bisa begitu percaya dengan laki-laki kaya Mas Angga gini, gue harusnya menangisi kebodohan gue sendiri sekarang bukannya menangis karena merasa sangat di kecewakan, kenapa gue terlalu bodoh menilai Mas Angga? Gue yang terlalu di butakan dengan cinta makanya semua ucapan yang Mas Angga omongin selama ini selalu gue benarkan, gue terlalu bodoh memang.
Padahal selama ini bukan sekali, tapi berkali-kali Mas Afi sama Azril mengingatkan gue, mereka ngasih tahu gue kalau Mas Angga itu bukan laki-laki baik, Mas Angga gak pernah tulus sama gue, yang Mas Angga mau cuma harta dan kekayaan gue tapi karena di butakan cinta gue sampai gak mau percaya dengan ucapan keluarga gue sendiri, gue nutup mata tentang semua ucapan Mas Afi selama ini padahal Mas Afi hanya ingin memberikan yang terbaik untuk gue.
Bahkan setelah semua kesalahan yang gue perbuat, gue yang keras kepala sampai hampir mempermalukan Mas gue sendiri kaya kemarin, Mas Afi gak marah sama gue sama sekali, Mas Afi masih mengusap kepala gue menenangkan disaat gue sendiri yang membuat dia kesusahan, Mas Afi yang selalu menjaga dan berusaha memberikan yang terbaik untuk gue, gue mengenal Mas Afi dari gue baru lahir dan gue baru mengenal Mas Angga gak lebih dari dua tahun tapi bisa-bisanya gue gak percaya dengan Mas gue sendiri, gue beneran udah gila untuk sesaat, walaupun malu tapi gue mengakui hal itu, gue memang sebego itu.
"Kalau Mas kamu dan sahabat kamu itu gak nguji kesabaran Mas, Mas juga gak akan ngelakuin itu, mungkin sekarang kita berdua udah menikah dan kita berdua udah__"
"Dan Nasya udah pasti menyesal seumur hidup karena menikah dengan laki-laki seperti Mas." Potong gue meneteskan air mata, gue gak nyangka kalau Mas Angga akan separah ini, gue bahkan kehabisan kata, gak ada satu katapun yang tepat untuk mewakili semua perasaan gue sekarang, gak ada.
"Sya! Kamu gak percaya sama Mas? Apa perasaan kamu juga berubah karena hasutan Mas kamu? Selama ini apa Mas pernah menyakiti kamu? Apa Mas pernah mengecewakan kamu? Enggak kan Sya! Mas menjaga dan memberikan apapun yang kamu mau, apa itu belum cukup?" Tangis gue semakin menjadi tapi gue malah tertawa disela-sela tangisan gue sendiri, bisa kalian bayangin raut wajah gue sekarang kaya apa? Gue menangis tapi gue juga harus tertawa mendengarkan semua ucapan Mas Angga sekarang.
Jangankan gue, Mas Afi bahkan menghembuskan nafas dalam dan mengusap kasar wajahnya, Mas Afi mengusap kepala gue dan nepuk kedua bahu gue dari belakang, Mas Afi memang hanya diam berdiri di belakang gue tapi saat ini, gue tahu kalau Mas Afi juga berusaha sangat keras untuk nahan amarahnya, nahan diri untuk gak melayangkan pukulan ke wajah laki-laki yang berdiri tepat dihadapan gue sekarang, gue sendiri udah gak tahan ngeliat mukanya.
"Bahkan detik inipun Mas gak tahu kesalahan Mas apa? Kalau memang Mas gak tahu kesalahan apa yang udah Mas perbuat, biar Nasya yang ngasih tahu, Mas ninggalin Nasya di hari pernikahan kita kemarin adalah satu-satunya kesalahan Mas tapi walaupun itu cuma kesalahan satu-satunya yang Mas perbuat tapi efeknya sangat fatal Mas, satu kesalahan Mas bisa membuat Nasya melihat kesalahan Mas yang lain." Gue akan memberikan penjelasan kalau ke Mas Angga kalau memang itu perlu, kalau memang Mas Angga butuh penjelasan untuk mengerti keadaannya sekarang, baik, akan gue berikan.
"Mas ngomong kalau Mas gak pernah nyakitin Nasya, Mas ngomong kalau Mas melakukan apapun yang Nasya maukan? Tapi apa Mas tahu, kesalahan Mas kemarin membuat Nasya sanvat kecewa, Mas nyakitin Nasya dan semua itu bukan yang Nasya mau." Jelas gue yang membuat Mas Angga terdiam di tempat.
"Tapi Mas sama sekali gak bermaksud kaya gitu Sya! Mas cuma mau ngasih Mas kamu pelajaran, Mas__"
"Apapun penjelasan Mas sekarang, semuanya gak akan ngubah apapun, Nasya udah gak bisa nerima Mas, ini juga pelajar untuk Mas, kalau Mas beneran tulus mencintai seseorang, Mas cuma perlu mencintai dengan tulus." Begitu melihat Mas Angga yang berdiri mematung di tempat, gue langsung narik lengan Mas Afi untuk masuk ke rumah.
Sekarang, gak ada yang perlu gue jelasin lagi sama Mas Angga dan gue juga udah cukup mendengarkan semua penjelasannya, dari awal memang gue yang salah jadi kalau sekarang gue luluh hanya karena perasaan gue yang masih tersisa untuk Mas Angga, gue benar-benar akan menjadi perempuan paling bodoh sedunia, padahal Mas Afi udah menjelaskan semuanya dari awal cuma gue aja yang terlalu buta jadi sekarang gue memilih untuk mendengarkan Mas gue dan percaya kalau Mas gue akan selalu memberikan yang terbaik.
"Kalau memang kamu udah sadar dengan kesalahannya laki-laki itu apa, kamu nangis kenapa lagi Dek? Apa Mas harus mukul mukannya tu orang dulu baru Adek bisa berhenti nangis kaya sekarang?" Tanya Mas Afi berniat balik membuka pintu rumah, gue langsung menggeleng cepat dengan air mata semakim berlinang.
"Nasya nangis bukan karena Mas Angga tapi Nasya menangisi kebodohan Nasya sendiri, maaf karena selama ini Nasya gak percaya sama omongan Mas, Nasya minta maaf Mas." Gue maju beberapa langkah dan memeluk Mas gue erat, ini memang kesalahan gue tapi mulai sekarang gue akan berusaha keras juga untuk memperbaiki kesalahan gue kedepannya, gue akan selalu mendengarkan Mas Afi mulai sekarang dan gue akan berusaha keras untuk gak mengecewakan Mas Afi lagi juga, gue gak akan membuat Mas Afi kesusahan lagi karena kebodohan gue, gue akan berusaha keras untuk itu.
"Kamu gak perlu minta maaf karena Mas juga bertanggungjawab untuk semua, memang tugas Mas ngejagain kamu jadi kamu harus minta maaf kenapa sama Mas, udah gak usah khawatir, kamu udah tahu laki-laki itu kaya apa aja Mas udah bersyukur, jangan pikirin lagi tapi jadiin ini pelajaran, mencintai seseorang memang gak salah tapi jangan sampai karena cinta, kamu membenarkan semua sikap dan perlakuannya, cinta yang tulus bukan cinta buta kaya gitu." Gue mengangguk pelan untuk ucapan Mas Afi sekarang, gue akan ingat baik-baik ucapan Mas Afi barusan.
Lagian yang terbaik memang gak akan gue dapatkan dengan jalan mudahkan? Selalu aja ada perjuangan didalam semua prosesnya, mungkin kegagalan gue menilai Mas Angga adalah satu dari banyaknya proses yang harus gue lewati sampai gue berhasil menukan yang terbaik.
"Ingat yang terbaik gak akan kamu dapatkan dengan mudah Dek dan yang terbaik juga gak selalu terbungkus dengan hal-hal indah, ada perjuangan di dalamnya." Lanjut Mas Afi yang gue angguki, gue ngerti maksud Mas Afi sekarang.
"Nasya ngerti Mas." Jawab gue memaksakan senyuman gue untuk Mas Afi sekarang, gue bukannya ingin terlihat baik-baik aja tapi gue gak mau Mas Afi semakin mengkhawatirkan gue disaat ada masalah lain yang harus kita berdua pikirkan, apa? Jawabannya adalah Azriel, memikirkan sikap Mas Angga sekalipun gak bisa membuat gue lupa dengan nasib Azril sekarang, Azril gimana? Gue masih sangat kepikiran.
"Kamu udah dapat kabar dari Azril, Dek?" Tanya Mas Afi tiba-tiba, gue yang terdiam tanpa jawaban jelas bisa dijadikan jawaban untuk pertanyaan Mas Afi barusan juga, menganai Azril, gue juga belum tahu kabar pastinya.
"Kalau kabar dari Azril langsung, Nasya belum denger apapun Mas tapi kalau dari Raffa, Azril nitip pesan sama Raffa dan cuma ngasih tahu Nasya supaya gak terlalu khawatir, cuma itu." Jawab gue seadanya, jawaban gue yang terdengar pasrah dengan keadaan juga, untuk sekarang gue seakan kehabisan cara untuk tahu keberadaan Azril dimana, selain gue sama Raffa, Azril gak akan cerita apapun dengan orang lain, kalau Raffa aja gak tahu tepatnya keberadaan Azril sekarang dimana, gue barus nanya siapa lagi?
"Kamu udah coba minta tolong Raffa? Bukannya Raffa itu tetangga Azril juga, kenapa gak mau minta tolong cek ke kamarnya?" Gue juga udah sempat nyoba saran Mas Afi sekarang tapi ya lagi-lagi percuma, Raffa yakin banget kalau Azril lagi gak di rumah sekarang.
"Awalnya niat Nasya gitu juga Mas, Nasya mau minta tolong Raffa untuk ngecek kamarnya Azril tapi kata Raffa, mulai tadi pagi kamar Azril kayanya kosong, kemungkinan besar Azril lagi gak di rumah, ah Azril juga cuti ke kampus untuk beberapa hari, selebihnya Raffa juga gak tahu apapun." Jelas gue lagi, Mas Afi terlihat cukup frustasi tapi gak terlihat pasrah banget kaya gue sekarang, Mas Afi kayanya lagi nyari solusi lain untuk masalah yang satu ini.
"Kalau memang Azril nitip pesan sama Raffa kaya gitu yaudah, kamu jangan terlalu khawatir, walaupun mungkin ada sedikit masalah tapi kamu harus ingat kalau Azril bukan anak kecil lagi, Azril juga bukan tipe laki-laki yang bisa di kekang orang tuanya jadi banyak berpikir positif, kalau Azril minta kamu nunggu ya tunggu, kalau Azril minta kamu sabar dan percaya, kamu juga harus ngelakuin itu Dek, bagaimanapun Azril itu suami kamu sekarang." Mas Afi mengingatkan.
Gue memang mengiyakan ucapan Mas Afi barusan tapi entah kenapa gue tetap masih ngerasa aneh dengan kata suami yang Mas Afi sebutkan tadi, kata suami yang kembali mengingatkan gue tentang status gue sekarang, terdengar aneh tapi itu juga kenyataan, harapan gue sekarang cuma satu, dimanapun Azril berada sekarang, gue harap Azril akan selalu baik-baik aja.
"Yaudah kalau gitu Mas naik dulu, kamu juga naik, jangan peduliin orang di depan rumah lagi." Mengabaikan Mas Angga yang keliatannya belum juga beranjak dari depan pintu rumah gue, Mas Afi nyuruh gue masuk ke kamar dan beberes untuk shalat magrib, jangan buang-buang waktu gue cuma untuk memperdulikan Mas Angga lagi, apa yang udah Mas Angga lakuin sangat cukup untuk gue jadikan pembelajaran.
Menaiki tangga dalam diam, gue masuk ke kamar dan gak langsung beberes seperti ucapan Mas Afi tadi, gue juga gak ngeletakin jauh handphone gue apalagi sampai gue tinggal di kamar, antisipasi gue cukup tinggi kali ini, gue maunya begitu pesan chat gue di balas Azril, gue langsung tahu jadi bisa gue balas sebelum Azril ngilang lagi.
Jadi di kamar gue langsung beberes dan shalat magrib sendirian, setelahnya gue turun ke bawah untuk nyiapin makan malam Mas Afi seperti biasa, turun ke bawah handphone juga gue bawa sangking untuk jaga-jaga, takutnya Azril nelfon dan gue malah gak liat.
"Handphone tumben kamu bawa turun sampai ke dapur Dek? Azril belum ada kabar juga?" Tanya Mas Afi disela suapannya, gue menggeleng pelan untuk pertanyaan Mas Afi barusan, ya memang belum ada kabar apapun soalnya.
"Mas juga belum dapet kabar apapun, kamu makan dulu, jangan kebanyakan ngelamun, kalau Azril tahu kamu kaya gini, dia juga bakalan kesal." Lanjut Mas Afi yang sukses membuat gue kembali mengingat semua omelannya Azril, disaat kaya gini aja baru gue kangen sama omelannya tapi kalau orangnya udah ada di depan mata, boro-boro kangen sama omongannya, ngeliat mukannya aja kadang rada males.
Apa ini yang di namakan kalau dekat benci tapi kalau jauh rindu? Heh tapi kenapa gue harus rindu sama Azril juga? Gue kaya gini ya cuma karena gue kepikiran Azril kemana aja sampai gak ada kabar sama sekali kaya gini bukan karena gue kangen sama orangnya, mikir apaan gue coba? Kangen sama Azril itu ada temanya, gue harus kangen dalam rangka apa sekarang? Gak ada.
"Lah di suruh makan malah ngelamun, mikirin apa lagi sih Dek? Udah buruan makan, kalau urusannya beres, Azril juga bakalan nemuin kamu." Mas Afi nepuk bahu gue sekilas lengkap dengan senyum penuh maksudnya, kalau udah kaya gini gue gak mau memperpanjang obrolan sama sekali, kenapa? Karena udah jelas-jelas Mas Afi punya maksud terselubung di balik senyumannya barusan, otaknya udah mikir jauh kemana-mana itu pasti.
Nutup mulut gue rapat dan mulai menyuap makanan gue, makan malam gue sama Mas Afi sekarang selesai lebih cepat, entah karena gue kekenyangan atau memang gak selera makan sama sekali, makan malam gue sisanya lumayan banyak, jadinya malah mubazir, gue paksain makan juga gak bisa, alhasil Mas Afi yang ngabisin, selesai makan gue beberea dapur sedangkan Mas Afi langsung naik ke atas, Mas Afi juga sempat ngecek Mas Angga masih ada di depan atau enggak dan ternyata orangnya udah gak ada, tebakan gue benerkan? Mas Angga gak akan seniat itu mau nginep semalaman di depan pintu rumah gue.
Selesai beberes dapur, gue naik ke atas dan membaringkan tubuh gue untuk nyoba tidur, walaupun agak susah tapi gue tetap berusaha, gue memang gak punya kelas besok tapi gue tetap butuh tidur, gak mungkin gue mau begadang semalamkan? Ini yang harusnya gue lakuin, ini yang Azril mau.
.
.
.
Jam udah nunjukin pukul 7 pagi tapi nyatanya sampai jam segini, gue juga belum bisa tidur sama sekali, gue begadang sampai azan subuh berkumandang, shalat subuh dan turun ke bawah untuk nyiapin sarapan Mas Afi seperti biasa, Mas Afi bahkan udah berangkat ke kantor beberapa menit yang lalu dan meninggalkan gue yang masih terus memperhatikan handphone gue dari semalam, gue masih menunggu.
Selesai membereskan bekas sarapan Mas Afi barusan, gue berniat ngunci pintu rumah karena kelupaan tadi tapi yang bikin gye bengong adalah, gue ngeliat mobil Mas Angga yang udah ada didepan pagar rumah gue lagi, ni orang mau apalagi coba? Kurang jelas apa ucapan gue kemarin? Apa Mas Angga gak paham bahasa Indonesia? Apa Mas Angga gak punya untuk mikir maksud semua ucapan gue kamarin itu apa?
"Sya! Jangan tutup dulu pintunya, dengerin penjelasan Mas sekali lagi, perasaan kamu untuk Mas gak mungkin berubah secepat itukan Sya?" Tanya Mas Angga menghalangi pintu rumah gue.
Gue keluar dari rumah dan berdiri memperhatikan kelakuan Mas Angga dengan tatapan jengah, apa Mas Angga pikir rumah gue ini bisa dia datengin sesuka hatinya? Mas Angga juga pinter banget nyari waktu, dateng tepat gak lama setelah Mas Afi berangkat kerja, Mas Angga pasang mata-mata di depan rumah guekah? Kelakuannya semakin mencurigakan soalnya.
"Udah gak ada yang harus Nasya dengerin lagi, tolong Mas pergi sekarang juga dari rumah Nasya atau Mas mau Nasya manggil satpam untuk ngusir Mas pergi dari sini? Pergi selagi Nasya ngomong baik-baik Mas." Ucap gue dingin, gue gak mau ngulang ucapan gue banyak kali karena harusnya ucapan gue sekarang udah sangat jelas.
"Apa kamu pikir kamu bisa ngusir Mas? Apa kamu pikir kamu bisa ninggalin Mas gitu aja? Kamu gak akan bi__"
"Sya! Masuk." Ucap Azril yang sekarang berjalan tertatih memasuki pekarangan rumah gue.