MAFIA - 02

1064 Words
Abigail berdiri di bawah payung ketika hujan semakin menderas saat waktu menunjukkan pukul delapan malam. Memandangi rumah mewah yang ada di balik pagar hitam. Rumah di mana dulu dia pernah tinggal bersama Thomas di masa awal-awal musim semi mereka. Sebelum Abigail tahu seperti apa tabiat kekasihnya. Abigail merapatkan coat panjang yang dikenakannya. Memasuki musim dingin, London lebih sering diterpa hujan. Kalau bisa memilih, Abigail lebih baik bersembunyi di balik flatnya. Namun dia tahu, kalau dia harus cepat melakukan sesuatu. Terlebih lagi dia sedang di cari-cari oleh seseorang yang berbahaya. Dihelanya napas panjang, mencoba yakin dengan apa yang dia lakukan, lalu tanpa disadarinya dia sudah berada di dalam rumah Thomas yang sepi.  "Silahkan jika Nona mau mencari barangnya yang tertinggal," ucap Martha, si pelayan rumah yang baik dan mengenalnya. Abigail tersenyum, "Terima kasih Martha. Aku hanya sebentar." "Baik Nona. Tuan Thomas kemungkinan tidak akan pulang malam ini." Abigail mengangguk,  Martha berbalik pergi dan Abigail bergegas ke lantai atas di mana kamar Thomas berada.  Dia mencari ke segala sudut kamar namun tidak menemukan apapun. Dengan gusar, Abigiail mencoba ke ruangan lain yang merupakan ruangan kerja Thomas dan menggeledahnya sampai dia menemukan brangkas yang terkunci. Abigail mencoba menembus sandinya tapi selalu gagal dan itu membuatnya begitu frustasi. "Ayolah, aku mohon terbuka." Abigail mencoba semua sandi setelah mengingat semua hal tentang Thomas berharap ada yang cocok namun tetap saja tidak bisa terbuka sampai akhirnya dia menyerah dengan helaan napas berat. "Ini tidak akan terbuka dengan mudah."  Abigail kembali mengotak-atiknya dengan perasaan putus asa. "Kau mencari ini, Abigail." Suara itu sontak membuatnya berbalik dengan wajah kaget saat menemukan Thomas bersandar di ambang pintu ruangan kerjanya memegang amplop coklat di tangan. Shine bergeming saat melihat senyuman Thomas yang perlahan berjalan mendekatinya. "Bagaimana kau bisa ada di sini? Bukannya--" "Kau pikir aku masih di Las Vegas." Thomas tersenyum. "Ya memang seharusnya begitu rencananya. Aku menghabiskan dua malam lagi di sana tapi itu sebelum aku mendapatkan undangan dari kenalanku. Aku memutuskan pulang dan ingin pergi mencarimu tapi ternyata--" Abigail terkesiap saat menyadari Thomas yang sudah berdiri di depannya menyentuhkan telapak tangannya di pipi. "Kau ada di rumah. Aku beruntung sekali." Lalu wajahnya perlahan maju untuk menciumnya dan Abigail reflek mendorong Thomas dan mundur menjauh. "Kau menjualku!!" Desisnya. "Aku bodoh berpikir kalau kau benar-benar mencintaiku." Abi berusaha keras menahan air matanya tidak meleleh turun tapi tidak bisa. Dia seseorang yang emosional, menangis merupakan luapan emosinya. "Kembalikan surat-suratku sekarang juga. Aku harus pulang ke Indonesia." "Sayang, jangan menangis seperti itu. Aku tidak pernah bisa melihatmu menangis," ucapnya lembut seraya maju, Abigail langsung mundur. Thomas nampak kecewa. "Tapi kau bisa menjualku seperti barang dagangan!" desisnya. "Maaf soal itu. Aku sedang butuh uang tapi coba lihat--" Thomas menatap keseluruhan dirinya. "Kau berhasil lolos dan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan bukan?" Abigail menahan gejolak amarahnya, menatap tajam Thomas yang tersenyum seperti orang gila. Apa mungkin selama ini dia tidak menyadari kalau lelaki yang dicintainya memang kurang waras. "Kau tahu, aku membawa pulang banyak uang dari Las Vegas. Kau tidak perlu takut aku akan melemparmu lagi ke lelaki kaya di luar sana. Aku akan bermain lagi dan mendapatkan uang lagi." "Kau gila!!!" Umpat Abigail, namun Thomas malah tertawa. "Aku mau surat-suratku!" "Temani aku pergi ke pesta. Di sana akan ada banyak orang-orang penting yang bisa aku temui meskipun ini hanya pesta topeng." "Cari saja wanita yang lain!!" Abigail ingin cepat-cepat keluar. "Kembalikan suratku!" Abigail bergerak maju mencoba merebut amplop di tangan Thomas tapi tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang hingga terlentang di atas tempat tidur dengan Thomas yang ada di atas tubuhnya. Menahan kaki dan kedua tangannya. "Kau tahu kalau aku tidak pernah melirik wanita lain selain kau kan Abi," ucapnya. "Kenapa kau menyuruhku mencari wanita lain sementara aku sudah memilikimu?" "Lepaskan aku!!" Desis Abi,rasa takut mulai menjalar. Thomas memang tidak pernah menghiraukan wanita lain tapi fokusnya selalu pada permainan judinya. Thomas tersenyum, "Tentu. Tapi dengan satu syarat." Abigail mengerutkan kening. "Temani aku ke pesta besok malam dan setelah itu kau akan bebas dan aku akan memberikan semua suratmu." "ujung-ujungnya kau pasti akan menjebakku. Nanti di sana kau akan menjualku lagi." "Aku pastikan yang ini tidak. Aku tidak akan berjudi di sana. Aku akan melepasmu kembali ke Indonesia dan membelikan tiketnya." Abigail terdiam sesaat, menatap Thomas yang nampak serius. "Kalau aku tidak mau menemanimu ke pesta?" "Lupakan keinginanmu untuk pergi, kau akan kesulitan mengurus lagi surat-surat itu dan aku akan mengejarmu terus. Kau mau memilih yang mana?" Abigail terdiam, Thomas menelengkan kepalanya dan menatapnya penuh binar. "Aku benar-benar merindukanmu, Abi." Lalu wajahnya turun dan  berusaha mencium Abigail dengan paksa. ***** Abigail duduk di dalam bus yang membawanya pulang. Secara mengejutkan, Thomas membiarkannya pergi bukannya menahannya di sana. Ditolehkannya kepalanya ke samping,melihat hujan yang belum juga reda di luar. Tidak mempedulikan keadaan bus yang tidak terlalu ramai, Abi bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencoba meyakinkan dirinya kalau Thomas memang tidak main-main.  Abigail mengusap air matanya yang turun, meletakan kepalanya di kaca bus dan memandangi undangan yang tadi diberikan Thomas. Abigail membalik-baliknya berkali-kali. Sebuah undangan pesta topeng yang diadakan salah satu pengusaha London. Abi bisa membaca motif Thomas pergi ke sana. Yang pastinya mencari koneksi. "Aldrick," gumam Abigail saat melihat nama pengundang yang tertera di sana. Abi mengangkat pandangan dan menghirup aroma dinginnya malam. "Tuhan, semoga ini jalan keluarnya," ucapnya mencoba mencari keyakinan atas pilihan apa yang akan diambilnya. Abigail menatap London Eye di kejauhan yang nampak cantik tapi perlahan mengabur saat matanya mulai berkaca-kaca. ***** Keesokan malamnya, "Aku berharap Riley ada di sini," ucap Letisha. Memandangi Mansion megah di kejauhan yang terlihat ramai. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam sana. Setidaknya dia bisa melindungimu." "Berharap saja ini hanya pesta topeng biasa," balas Thita dengan helaan napas panjang. Abigail yang duduk di kursi belakang sudah cantik dengan gaun hitam dengan hiasannya yang berkilau hanya diam saja. Kedua sahabatnya akhirnya menghadap ke belakang. "Kenapa kau memakai gaun lamamu itu?" Tanya Thita. Abigail melihat gaunnya, "Entah kenapa aku ingin memakai gaun ini. Membuatku merasa lebih dekat dengan Shine. Kami membeli dan memakainya bersama-sama."  Siang tadi anak buah Thomas datang ke Thita untuk menyerahkan gaun mahalan beserta hiasannya untuk Abigial pakai nanti malam. Namun hanya dia pandangi gaun itu tanpa minat sedikitpun dan malah mengeluarkan gaun lamanya. "Apa kau yakin ini bukan akal-akalannya Thomas?" Thita nampak khawatir. "Aku takut terjadi sesuatu." "Semoga semuanya baik-baik saja," desah Letisha. Abigail mengangguk, "Hanya ini kesempatanku." Lalu memakai topengnya untuk melengkapi keseluruhan  penampilannya. Membiarkan saja rambut hitam panjangnya di gerai. "Aku pergi dulu." Kedua sahabatnya mengangguk, memberikan pelukan erat dan Abigail keluar dari mobil, sesaat memandangi mansion itu dengan d**a bergemuruh. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Abigail hanya bisa berdoa sebelum melangkahkan kakinya ke area mansion untuk mencari Thomas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD