Kedatangan Mereka

1021 Words
Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamar yang sudah terbuka. Kudapati diriku tanpa busana di bawah selimut. Ranjang ini sangat berantakan, karena dia sangat buas semalaman. Ada sedikit noda yang sudah aku ketahui memang akan membekas di atas ranjang. Aku berjalan tertatih menuju kamar mandi. Setelah bersuci, kupakai rapi pakaian terburu-buru. Kubereskan sisa-sisa yang kotor dan membekas di dalam sini. Kemeja yang ia lemparkan sembarangan, juga caranya yang tidak rapi sama sekali, kurasa adalah ciri khas yang sudah lama melekat padanya. Dia meletakkan barang-barangnya tidak teratur, juga tidak tertata. Bagiku tidak masalah, aku akan jadi istri yang baik untuknya. Setelah keluar dari kamar, serentak seluruh pelayan memberikanku sapaan hormat. Aku menoleh ke bawah sana, melihat suami yang sudah menggagahiku semalaman. Rasanya sangat malu dan sakit mengingat kejadian tadi malam. Tapi … aku berusaha keras memaksakan diri untuk turun dan mendekatinya. Meja makan itu terlalu besar untuk kami nikmati berdua. Aku melangkahkan kaki dengan cara yang berbeda. Di bawah sana, masih terasa sakitnya. Bangku tepat di seberangnya di tarik oleh salah seorang pelayan. “Silakan, Nona.” Aku duduk setelahnya. Saat itu kupandangi wajah suamiku yang sangat rupawan itu. Dengan sepotong roti yang masih utuh, dia menggenggam ponsel tanpa memandangku. Kuperhatikan dengan tulus matanya yang indah dan sakral, tidak seperti tadi malam yang penuh kebencian. Setelah diam-diam mencintainya selama lebih dari 10 tahun, menikah dengannya, tinggal di bawah atap yang sama dengannya, duduk di dekatnya, sampai merasakan malam pertama bersamanya … benar-benar sebuah khayal yang dulu bagaikan dongeng bagiku. Rasanya mustahil mendapatkan itu semua, tapi sekarang semua itu benar-benar nyata. Khayal malang yang dulu membuatku iba, adalah sebuah kenyataan yang tidak berani aku impikan. Namun, setelah semua itu aku dapatkan … aku malah dirundung ketakutan. Bahkan untuk bernapas saja sangat berat bagiku saat berada di dekatnya. Mengingat betapa buasnya dia tadi malam, membuat air mataku jatuh ke dalam sana. Bagaimana bisa dia sangat kasar seperti itu, hingga hati dan tubuhku kesakitan? Aku bergidik ngeri saat mengingat kejadian malam tadi yang terasa seperti mimpi buruk. Dan dia, dia bahkan tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. Dengan ketakutan luar biasa, dan dengan tangan pucatku yang kedinganan, aku berusaha keras menyuap sepotong roti sebagai rasa hormatku di rumah mewah ini. Kulirik makanan di depannya. Dia sama sekali tidak menyentuh makanan itu. Dia masih sibuk memandangi ponselnya. Dengan keberanian palsu kukuatkan diriku untuk memulai pembicaraan. Pikirku, aku harus melakukan ini untuk memperbaiki hubungan kami … atau upaya untuk mempertahankan pernikahan yang aku sendiri tidak yakin akan bertahan lama. “Maaf … Tuan. Besok-besok aku akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan.” Harapan aku lempar masuk ke dalam hatiku. Berharap dia akan memberikan respon baik padaku. Sayang sekali, semuanya hanya sekedar mimpi. Dia melempar sendoknya hingga berdenting nyaring. Aku melemah karena tak lagi percaya diri. Dia berdiri, memasukkan satu tangannya ke dalam kantung celana. “Lain kali, jangan menangis seperti tadi malam. Aku sangat membenci air mata.” Perkataannya seketika membuatku panik. Nadanya sangat menekan dan terkesan angkuh. Aku tidak habis pikir atas apa yang sudah dia lakukan. “Hari ini mertua akan datang. Persiapkan dirimu.” Dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku tak tahu dia mau kemana, yang jelas dia tetap menatapku dingin seperti tadi malam. Aku ingin bertanya, tapi … sudah jelas dia tidak akan mengatakannya. Kuikuti langkahnya sampai ke pintu. Harapanku, dia akan mengecup dahiku seperti kebanyakan perlakuan suami sebelum pergi. Hanya saja, aku sangat tahu apa yang tidak boleh aku impikan. Aku merapatkan seluruh keinginan itu di dalam hatiku. Dia masuk ke mobil, tak menoleh lagi padaku sedikitpun. Sore ini, kupersiapkan diriku dengan baik. Aku ingin meninggalkan kesan untuknya. Aku memang tidak secantik Camelia. Aku juga tidak sepintar dan tidak pula berkulit putih terang dan mulus seperti Camelia. Meski Tuan Edwin adalah memang ayah kandungku, aku lebih cocok tinggal bersama Ibu di pinggiran kota yang kumuh seperti dulu. Sayangnya, hari ini aku ingin sekali menunjukkan padanya sisi terbaikku. Selain karena aku mencintainya, tugasku sebagai istri membuatku sangat sadar diri. Jika ada yang bertanya, apa kelebihanku dibanding Camelia … maka ‘menjadi istri’ adalah jawabannya. Aku sangat pandai memasak. Aku bisa mencuci pakaian, menyetrika, menyapu, mengerjakan seluruh tugas yang memang istri kerjakan.  Dan semua itu, Camelia tidak bisa melakukannya karena sudah terbiasa hidup dilayani. Dan hari ini selain karena Ayah dan Nyonya Arin akan datang, aku juga ingin Andrew merasakan masakanku. Hari sudah semakin sore. Bersama pelayan kutata rapi hidangan di atas meja persegi panjang berbahan kaca yang ada di ruang makan. Aku tersenyum menatap semua hidangan yang telah kumasak dengan cinta. Tak lama setelah itu, suara pagar yang digeser membuatku semakin bersemangat. Aku berlari mengintip lewat jendela. Ada dua mobil terparkir di depan rumah. Ya, selain mobil Andrew itu juga mobil Ayah. Setelahnya kubukakan pintu, masih dengan harapan bahwa Andrew akan bersandiwara menjadi suami yang baik. Setidaknya di depan Ayah dan Nyonya Arin. Sayang sekali, saat aku membuka pintu yang tertinggal hanyalah rasa sakit. “Ara!” Setelah melepaskan pelukannya dari Andrew, Camelia datang untuk memelukku. Aku melihat wajahnya yang bengkak, dengan mata yang memerah dan sembab. Ini pasti karena dia sudah lama menangis. “Camelia?” Kubalas pelukan darinya dengan memaksakan simpul senyum itu keluar. Kutatap Andrew yang saat itu menarik lembut tangannya untuk kembali di bawah peluknya. “Tunggu dulu, Sayang. Aku ingin berbicara dengan Arasha.” Camelia memaksa lepas rangkulan Andrew dari pinggul kecilnya yang cantik. Kulihat Andrew memasang wajah kecewa yang sangat manja. Tatapan itu hangat dan sakral pada Camelia, tidak seperti saat dia menatapku. “Arasha apa kabarmu? Aku sangat merindukanmu.” Arasah kembali memelukku. Air mataku jatuh, membasahi pundak telanjangnya. “Arasha, kenapa kau menangis?” “Aku juga sangat merindukanmu.” Aku memeluk Camelia lebih erat dari sebelumnya. Kucoba dustakan diriku sendiri, sebelum mengakui bahwa sebenarnya aku menangis karena sangat cemburu. Saat itu, kulihat Ayah dan Nyonya Arin berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Kusambut kedatangan mereka dengan hangat, dan membawa mereka masuk ke ruang tamu yang kurapikan dengan tanganku sendiri. Meski tidak memberikanku sedikit pun senyuman, aku tetap akan memberikan senyum paling termanis yang kupunya. Aku tidak punya siapa pun selain mereka, dan aku tidak akan membenci siapa pun apalagi mereka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD