Malam Pertama yang Menyakitkan

1084 Words
Sebelum takdir bercerita, kupandangi langit yang luas dengan deraian air mata. Kutanyakan semuanya pada diriku sendiri. Siapa wanita yang tidak bahagia jika menikah dengan lelaki yang telah lama diimpikan? Kurasa, setiap wanita akan sangat bahagia jika mimpi itu jadi kenyataan. Aku pun demikian. Hari ini, aku menikahi pria yang telah kucintai selama lebih dari 10 tahun lamanya dengan perasaan senang sekaligus sedih. Kupandangi Camelia yang sedang menangis saat itu. Untungnya, dia tidak membenciku, atau marah padaku. Dia masih bersikap baik meski sangat terluka. Karena baik dia ataupun aku, kami semua tahu ini adalah pernikahan bisnis. Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mengingat beberapa waktu yang lalu, saat aku menerima pernikahan ini … aku merasa semuanya akan berakhir baik-baik saja karena beberapa alasan yang menguatkan diriku. Pertama karena aku memang sangat mencintai Andrew Zhan, kedua karena ini pertama kalinya aku merasa kehadiranku berguna bagi keluargaku tercinta. Malam ini, tepat di atas ranjang pengantin … kupandangi berlian yang melingkar di jari manisku dengan mata berkaca-kaca. Kulirik jam di dinding dengan rasa kalut luar biasa. Sudah hampir tengah malam, Andrew tak juga masuk ke kamar. Aku tak tahu dia ada di mana, atau sedang berbuat apa. Gaun indah yang sudah kulepas sejak tadi masih tergantung manis di sudut kamar. Kupandangi semua itu dengan degupan jantung yang hampir saja memenuhi ruangan. Seorang pelayan tiba-tiba saja masuk, setelah mengetok pintu kamarku. Dia meletakkan beberapa berkas di atas meja sebelah ranjang. “Maaf, di mana Suamiku?” tanyaku meski ragu apakah pantas kusebut pria sempurna itu sebagai “Suami” atau tidak. Ah, malu sekali rasanya. “Maaf, Nona. Tuan Muda tidak bisa pulang malam ini. Beliau ada keperluan.” Aku menepis senyum di wajahku. Hatiku terjepit oleh kepahitan yang semakin memilukan. Siapa yang tidak sakit, jika suaminya bahkan tidak hadir pada malam pertama mereka? Rasanya sangat mustahil karena semua pria biasanya menginginkan malam pertamanya. Sayang sekali, Andrew pasti tidak menginginkanku. Bukan hanya karena dia masih mencintai Camelia, tapi dia juga karena dia sangat membenciku. Setelah para pelayan pergi, kusandarkan kepalaku di atas bantal. Tak terasa air mata mengalir begitu saja di pipiku yang bersih dari riasan. Saat mulai memejamkan mata, kudengar suara serentak pelayan menyambut kehadiran seseorang. Ya, Andrew pulang. Aku turun dari ranjang berlari menuju cermin, kuperbaiki rambutku yang kusut, bahkan kuberikan sentuhan manis kemerah-merahan di pipiku. Entah kenapa, jantungku berdetak sangat kencang. Aku berlari terburu ke pintu rumah, hendak menyambutnya hangat. Kukumpulkan semua keberanian yang tersisa, meski tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebelum kubuka pintu kulirik jam di dinding. Hampir pukul tiga pagi. Ceklek! Saat kubuka pintu, aku hanya bisa terpaku. “Selamat datang, Suami … ku.” Nadaku terputus karena terbelalak. Dia sangat berantakan, dengan kemeja putih dan dasi yang tadi dia kenakan di pesta pernikahan. Rambutnya acak-acakan, dengan seluruh kemeja yang keluar dari celananya. Dia menumpu tubuhnya di dinding, menatapku dengan tatapan yang sangat dingin. Meski begitu, jujur kuakui dia terlihat semakin seksi dengan penampilan acak-acakan begini. Dia menabrak tubuhku begitu saja tanpa rasa iba sama sekali. Saat dia dekat, aku mencium bau menyengat yang sangat tidak kusukai. Ini alkohol, dan bau asap rokok yang menempel di tubuhnya. Aku mengikutinya sampai ke kamar. Kubuka dan kututup pintu  dengan hati-hati. Kupandangi wajah tampan suamiku itu dengan penuh harap. Namun, ternyata semuanya memang hanya mimpi bahkan setelah aku menikah dengannya. Aku menatapnya dengan cinta, tapi dia memandangku dengan kebencian. Pelan-pelan dia membuka pakaiannya. Dia tiba-tiba saja hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Dia sedang mabuk. Napasku sesak saat melihat tubuhnya yang menawan, tetapi semakin sesak saat menyadari siapa diriku. Aku ingin memeluknya, atau sekedar menyentuhnya. Sayangnya, itu terasa sangat jauh untuk sekedar aku impikan. “Suamiku, biar aku bantu.” Meski sulit, tetapi aku tetap menunjukkan statusku padanya. Sebagai seorang istri, aku akan tetap berbakti meski sangat sadar tidak dicintai. Dan hanya bisa berharap, jika keajaiban akan menuntunnya untuk mencintaiku suatu hari nanti. Sayang sekali, sampai saat itu aku tak mendengar jawaban apapun darinya. Hingga aku memutuskan untuk mendekat. Tapi, “Siapa kau?” Suaranya menampar hebat hingga seluruh bulu kudukku berdiri. “Aku … aku Arasha.” “Arasha?” Dia menyipitkan mata, membungkukkan setengah tubuh telanjangnya yang menggoda. “Aku tidak menanyankan namamu. Aku hanya bertanya, siapa kau yang berani berdiri di dekatku?” Aku tidak tahu mengapa, tapi aku sangat sadar … dia membenciku. Tidak … bukan hanya benci, dia juga jijik denganku. Ya, aku bisa melihat itu dari tatapan dinginnya yang penuh dengan api kemarahan. Dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang setelah berhasil melempar kemejanya ke sembarangan arah, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Aku melirik ke sisi sebelahnya yang kosong, berpikir untuk ikut tidur di sebelahnya. Karena … aku sangat ingin berada di dekatnya, sejak lama. Kurapatkan kekuatan dan keberanian yang sejak tadi tertinggal. Namun, saat baru saja aku sampai di sebelah, lelaki itu tiba-tiba saja kembali turun dari ranjang. Dia menatapku dengan cara yang berbeda. Kulihat otot-otot yang melekat kokoh di tubuhnya, dia sangat sempurna. Pelan-pelan tangannya menarik lepas sabuk yang melilit pinggangnya. Dia masih menatapku dengan tatapan liar yang penuh kebencian. Keringat yang meleleh di sudut dahinya membuat rambutnya sedikit basah. Oh, Tuhan … aku benar-benar sangat mencintai pria ini. Dia menurunkan celana katun hitam panjang itu tergesa-gesa. Aku mengernyitkan dahi. “Tuan,” lirihku. Tanpa mengatakan apapun, dia menindih tubuhku tiba-tiba. Kutatap matanya yang telah lama kukagumi, kulihat tubuhnya yang berkeringat. Meski sangat ingin, aku sangat takut untuk sekedar menyentuh pipinya yang basah. Matanya sembab. Apa dia habis menangis? Dia mengangkat tubuhku hingga dadaku ikut membusung. Sangat kasar, dia menarik baju tidur yang kupersiapkan untuknya. Baju itu robek sempurna, hingga tubuhku yang hanya dilapisi pakaian dalam dapat dilihatnya dengan mudah. Dia menarik rambutku, hingga kepalaku ikut mendongak. Rasanya … sangat sakit diperlakukan kasar seperti ini oleh orang yang sangat dicintai. “Karena ini malam pertama kita … biar kuberitahukan satu hal padamu.” Dia menarik lepas pakaian dalamku dengan satu tarikan kasarnya yang sangat menyakitkan. Saat aku menatap wajahnya, cinta yang membuatku berani seolah terhempas ke tepian. Aku ketakutan. Terisak aku di depannya karena rasa tidak nyaman diperlakukan dengan cara seperti ini. Aku yang tadinya pasrah mulai memberontak. Harapanku sebenarnya hanya akan melakukan ini dengan cinta dan cara-cara yang manis. Tapi, “Aku bukan pria baik.” Dia menyeringai tipis di atas tubuh telanjangku. Wajahnya yang tampan tidak lagi membuatku kagum, tapi sangat ketakutan. Aku meringis menuntutnya untuk segera menghentikan kelakuan kasarnya. Sayangnya, tenagaku tidak cukup kuat untuk melakukan penolakan. Dia menerobos benteng pertahananku yang masih suci dengan cara yang kasar. Hingga akhirnya, aku benar-benar menjadi miliknya. Aku benar-benar kesakitan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD