Rian Pratama Darmawan

863 Words
"Ini rumah baru kita ya?" seorang pemuda bertanya pada orang tuanya. Matanya mengamati sebuah rumah dengan seksama. "Iya sayang, kamu suka?" mamanya balik bertanya kepada anak semata wayangnya itu. "Suka ma, sederhana tapi tetep keliatan indah," dia menatap mamanya dan tersenyum. "Syukurlah kalau kamu suka rumahnya." Yuli tersenyum senang. "Oh iya, senin besok kamu udah bisa masuk sekolah lagi," mamanya sangat antusias karena hal itu, ternyata tidak terlalu sulit untuk menemukan sekolah baru untuk putranya dan itu juga berkat temannya yang bekerja di sekolah itu. "Cepet amat ma? Padahal Iyan pengen santai-santai dulu," dia menghembuskan napas panjang. "Iya dong, disini mama gak terlalu susah buat cari sekolah baru dan juga mama punya kenalan guru disana. Lagian kan masih ada beberapa hari buat istirahat sayang," yang dipanggil Iyan atau lengkapnya Rian mengacuhkan ucapan mamanya. Kemudian mereka turun dari mobil dan membawa masuk barang bawaan mereka ke dalam rumah. "Wow, interiornya keren! Kayanya Iyan bakal betah deh tinggal disini!" matanya berbinar melihat isi rumah barunya. Memang diluar terlihat sederhana, tapi interior di dalamnya sangat memukau. "Syukurlah kalau gitu, jadi kita nggak perlu pindah-pindah lagi, ya kan pa?" Hendi papanya hanya mengangguk sebagai jawaban. Mata Iyan tidak berhenti mengamati rumah barunya, hingga ia teringat akan sesuatu. "Oh iya ma! Kamar Iyan dimana?" sejenak ia menatap mamanya, lalu kembali mengamati isi rumahnya. "Kamar kamu di atas, yang pintunya warna hitam," mamanya menunjuk ke lantai atas. Tanpa menunggu lama Iyan pergi ke atas membawa kopernya dan barang lain setelah mendapatkan kunci kamarnya. Tidak sulit menemukan kamarnya, karena memang di atas hanya terdapat 2 buah pintu. Ia mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu itu. Nyaman! Itulah kesan pertama saat ia masuk ke dalam kamar barunya. Tanpa basa-basi lagi ia melompat ke atas kasurnya dan membiarkan kopernya tergeletak begitu saja di depan pintu. Ia terlentang sambil memejamkan matanya, lalu menghirup napas dalam-dalam. Indahnya hidup ini, terasa seperti tanpa beban. Matanya kembali terbuka dan bangkit dari zona nyamannya, matanya berlanjut menjelajahi ruangan kamarnya itu tanpa bangkit dari kasurnya. Tatapan matanya jatuh ke arah pintu balkon. Hey! Kamar ini memiliki balkon, ia dengan cepat bangkit dan menghampiri balkon kamar itu. "Bener nih! Gak bakal bosen seharian duduk di balkon," dia kembali memejamkan matanya dan merasakan lembutnya angin sore yang menyapa dirinya. Ia membuka matanya kembali dan memerhatikan keadaan di luar. Lumayan! Itu yang terbesit dalam hatinya. Tatapan matanya tertuju pada rumah di seberangnya, ternyata kamarnya juga tepat berseberangan dengan kamar tetangganya, tapi ia tidak terlalu mempedulikan hal itu. Lalu ia kembali ke dalam dan mengganti bajunya. Krueeekk... Itu suara perutnya! Akhirnya ia memutuskan untuk kebawah. Di bawah ia tidak melihat mamanya disana, ia hanya melihat papanya yang sedang fokus membaca koran. "Mama mana pa?" kepalanya celingukan mencari keberadaan mamanya. "Lagi beres-beres di kamar," jawabnya tanpa melirik putranya. "Oh iya pa, motor Iyan kapan nyampe kesini?" Iyan duduk di sofa yang ada di ruang itu. "Mungkin besok pagi, emang mau kemana?" papanya menurunkan korannya dan menatap putranya penuh intimidasi, terkadang Iyan takut dengan tatapan itu dan bergidik ngeri. "Cuma nyari makan doang kok pa," papanya mengambil sesuatu dari sakunya. "Nih, bawa mobil aja dulu! Oh iya! Emang kamu tau jalanan di sini? Kalo nyasar gimana?" Iyan mengambil kunci mobil milik papanya. "Nggak tau sih pa, hehe! Tapi kan sekarang udah modern pa, ada Google Maps, jadi Iyan gak bakal nyasar. Yaudah Iyan pergi dulu ya, gak kuat laper!" Iyan bangkit dari duduknya. "Emang mau beli apa?" tanya papanya, Iyan berbalik lagi. "Se-ketemunya aja pa, papa tenang aja ntar Iyan bungkusin deh!" Iyan sudah tau apa yang papanya mau. "Syukurlah kamu ngerti, ya udah sana, hati-hati bawa mobilnya!" Iyan bersiul senang. "Siap pa!" kemudian berlalu dari hadapan papanya. "Lho pa, Iyan mau kemana?" Yuli tak sengaja melihat Iyan yang bersiul sambil melenggang keluar. "Nyari makan," jawab suaminya santai dan tetap fokus pada korannya itu. "Lho papa gimana sih? Dia kan baru pertama kali kesini, gimana kalo nyasar?" mamanya sudah terlihat sangat khawatir. "Ih mama, tenang aja! Katanya sekarang udah modern, udah ada Google Maps! Jadi gak bakal nyasar, biarin aja lah ma, waktu di Surabaya aja dia sering keluyuran." papanya begitu tenang menanggapi kekhawatiran istrinya itu. "Itukan beda pa, kalo disana dia udah hafal jalan, lah disini?" ia begitu kesal dengan suaminya yang acuh. "Gapapa ma, percaya deh sama papa. Mendingan mama duduk disini temenin papa ya!" pria paruh baya itu mengedipkan matanya pada sang istri. Mau tidak mau, akhirnya ia pun menurut pada suaminya. ••• Mata Iyan tidak berhenti melirik kesana kemari berharap ada sesuatu yang bisa mengatasi rasa laparnya. Eitss, maksudnya semacam pedagang kaki lima atau kedai makan. Setelah beberapa lama, ia menemukan sebuah kedai bertuliskan 'Kedai Mie Ayam Ika' yang memiliki pelataran parkir cukup luas. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli makanan disana, dan segera memarkirkan mobilnya. Iyan masuk ke dalam kedai itu, dan seketika aroma mie ayam yang begitu harum menusuk indera penciumannya. "Mas? Mie ayam 3 ya, di bungkus!" Iyan mulai memesan makanannya. "Siap mas, tunggu sebentar." ucap salah satu pelayan disana. Tidak lama tiba-tiba ia merasakan sesuatu ingin keluar dari dalam dirinya. "Mas, mas! Toilet dimana ya?" pelayan itu menunjuk ke arah belakang. "Makasih ya mas, saya permisi dulu!" pelayan itu mengangguk. Iyan kemudian berlalu dari hadapan pelayan itu. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD