Meet

1176 Words
Iyan menyusuri sebuah lorong yang menuju ke arah toilet dengan langkah cepat. Ia heran dengan toilet disana, apa toilet pria dan wanita berada dalam satu tempat? Kemudian seorang pria keluar dari dalam sana. "Eh mas! Ini toiletnya satu?" tanyanya dengan heran. "Nggak mas, masuk aja nanti belok kanan ke toilet pria," Iyan mengangguk mengerti dan membiarkan pria tadi pergi. Karena sudah tidak tahan, akhirnya ia membuka pintu itu dengan sangat kencang. Blug!!! Terdengar suara benda jatuh dari balik pintu. Ia cepat-cepat membuka pintu itu. "Sakiiiiiit!" seorang gadis menjerit kesakitan sambil terduduk di lantai dan memegang dahinya. Apa jangan-jangan suara jatuh tadi dia? Pikir Iyan. Ia tetap mematung di depan pintu dengan tangan yang masih memegang handle nya. "Heh? Sialan lo! Kalo buka pintu hati-hati dong! Jangan maen buka gitu aja!" gadis itu langsung marah-marah sambil terus mengusap-usap keningnya yang lebam. Iyan kaget dengan perkataan gadis itu, tapi dengan cepat ia menormalkan kekagetannya, dan ia masih tetap mematung seperti semula. "Heh! Lo ngapain diem disitu? Bukannya minta maaf kek, bantuin kek! Cowo bukan sih lo!" gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vio. Saat akan bangkit ia merasakan pantatnya yang sakit karena berbenturan dengan lantai yang sangat keras. "p****t guee sakiiitt! Dasar cowo sialan lo! Semua ini gara-gara lo!" dengan hati-hati Vio berdiri. Iyan melipat kedua tangannya di d**a dan menyender pada pintu tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Dasar cewe aneh, makanya jangan diem di balik pintu. Enak aja nyalahin orang." ucap Iyan datar kemudian melenggang pergi meninggalkan Vio yang sudah bertanduk. Iyan merutuki perkataannya tadi. Udah pasti cewe itu mau buka pintu tadi! Dasar b**o! Pikir Iyan sembari menepuk kepalanya. Vio masih mengusap keningnya yang lebam. Emosinya belum turun, sangat terlihat jelas dari air mukanya. Lalu, dia menghampiri cermin disana dan terkejut melihat lebam di keningnya. "Cowo sialan! Kening gue jadi lebam gini, mana sakit pula!" dia terus menggerutu sambil mengaduh kesakitan. Kemudian dia berjalan keluar, namun karena kekesalannya sudah di ubun-ubun, ia menendang pintu toilet dengan sangat keras. "Awww!!!" pekik Vio. Ia langsung berjongkok memegang ujung kakinya dari balik sepatu yang ia pakai. Ia merutuki nasibnya yang sudah jatuh tertimpa tangga pula. "Gilaaa... Ngapain gue tendang ini pintu coba!" dia kemudian bangkit dan segera pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah tertatih-tatih. Cara berjalan Vio yang berbeda membuat Hesya heran saat melihatnya. Kedua alisnya terangkat dengan isi kepala yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. "Eh lo kenapa?" matanya terus memperhatikan kaki Vio. "Gapapa, gue gak sengaja nendang pintu." ucapnya dengan nada kesal. Hesya tertawa kencang, membuat semua orang yang ada di kedai itu menatap mereka dengan pandangan terganggu. "Serius lo? Keknya gak mungkin lo gak sengaja, pasti ada apa-apa kan?" Hesya mencari-cari kebohongan di mata Vio. Dan benar, dari sorot matanya terlihat jelas kalau dia sedang berbohong. Tak sengaja mata Hesya menangkap sesuatu di dahi Vio yang tertutupi rambutnya. Tangannya segera menyingkirkan rambut yang menutupi dahi Vio. Mata Hesya membulat melihat lebam di dahi sahabatnya itu. "Ya ampun Vi! Lo kenapa? kok dahi lo lebam kek gitu?" tangannya menyentuh dahi Vio yang lebam. "Anjir! sakit b**o!" Vio mengeluarkan kata-kata kasarnya dengan reflek dan memukul tangan Hesya dengan keras. "Aww! gak perlu mukul juga kali!" Hesya mengusap-usap tangannya yang sedikit perih. Tanpa mereka sadari, seluruh mata yang ada disana masih tertuju ke arah mereka berdua. "Lo nya sih, udah tau ini sakit, malah di pegang!" Vio cemberut dan mengipas-ngipas dahinya dengan tangan. "Gue kan gak tau Vi, yaudah ah kita pergi sekarang." Hesya berjalan terlebih dahulu di depan Vio tanpa rasa bersalah. Vio melongo melihat Hesya yang melenggang pergi begitu saja. "Ish dasar syaiton! Udah bikin anak orang kesakitan malah pergi gitu aja." gerutunya. Saat sudah berada di depan kedai tersebut, Hesya berhenti mendadak membuat tubuh Vio menabraknya. "Ish! Lo kebiasaan ah berhenti mendadak mulu." Vio cemberut. "Ya maaf, abis gue baru inget lo belom jawab pertanyaan gue tadi." Vio mengerutkan keningnya, berpikir sejenak. "Oh iya! hehee, nanti aja deh!" Vio segera merapihkan rambutnya supaya bisa menutupi lebamnya itu. "Kenapa gak sekarang aja sih?" Hesya mengerucutkan bibirnya. "Kakak gue dateng elaah, nanti deh gue janji jelasin di chat," mata Hesya menatap sebuah mobil berwarna putih yang semakin mendekat ke arah mereka. Seorang pria yang memakai jaket hitam keluar dari mobil itu. Aura ketampanannya terpancar dari cara ia tersenyum dan berjalan. Siapapun yang melihat senyumannya itu pasti akan langsung jatuh hati padanya. "Hai sweety? nunggu lama gak?" ya! dia adalah Vano Gerald, kakak kandung Vio. "Enggak kok kak, aku baru aja keluar," Vio menampakkan senyum manisnya. Kata-katanya berubah menjadi lembut saat sedang bersama kakak dan keluarganya. Tapi tidak dengan sifat ceplas-ceplosnya dan sifat manjanya. "Yaudah kita pulang sekarang yuk! Kamu mau ikut Sya?" tawar Vano. Hesya menggeleng sembari tersenyum. "Gak usah kak, aku di jemput kok," Vano hanya ber-oh ria. Kemudian tatapan matanya beralih menatap adiknya, dan ia melihat ada yang janggal dari adiknya itu. Ternyata keanehan itu terletak pada rambutnya. Biasanya Vio jarang menata rambutnya seperti itu. Sadar sedang di perhatikan oleh kakaknya, Vio mengerutkan keningnya. Vano mendekatinya dan menyingkirkan rambut yang menutupi dahinya. Mata Vano membulat terkejut melihat lebam di dahi adik kesayangannya. "Ya ampun sweety! dahi kamu kenapa?!" Vano terlihat sangat panik. "Aku cuma kejedot pintu aja kok kak, kakak gak perlu se-khawatir itu," padahal dari tadi Vio sedang menahan sakit. "Kita ke dokter ya?" mata Vio membulat sempurna, ia paling tidak mau jika disuruh ke dokter. Alasannya klasik, dia takut melihat jarum suntik. "Aku gak mau kak," Vio mulai merengek pada kakaknya, biasanya Vano selalu luluh jika Vio merengek padanya. "Oke oke! tapi kamu mau ya kakak obatin?" dan benar, tidak lama akhirnya Vano luluh, Vio pun mengangguk sebagai jawaban. Kemudian mereka pamit pada Hesya yang hanya menyimak kelakuan adik kakak itu sejak tadi. ••• "Kok rumah sepi kak? mama kemana?" mata Vio mencari-cari keberadaan mamanya. "Mama ke supermarket," Vio mengerutkan keningnya mendengar jawaban Vano. "Bukannya kemaren mama udah belanja? ngapain ke supermarket lagi?" Ia menghampiri kakaknya yang sedang membuka kotak P3K. "Mama lagi beli bahan-bahan buat bikin kue," Vio hanya ber-oh ria. Vano mulai mengoleskan salep ke dahi Vio. Dia sangat teliti mengobati adiknya yang manja itu. "Sakit kak! pelan-pelan!" wajahnya terlihat menahan sakit. "Ini udah pelan banget sweety," tak lama Vano pun selesai mengobati Vio. "Oh iya kak! kakak bilang mama beli bahan buat bikin kue kan? berarti mama mau bikin kue dong? papa mau pulang ya?" Tanya Vio. Vano bangkit dan menyimpan kotak P3K kembali ke tempatnya. "Bukan, papa kan baru 2 minggu yang lalu pulang," Vano membuka jaketnya dan meletakannya di bahu. "Terus buat siapa?" Vio bingung, biasanya mamanya membuat kue saat ada yang akan datang atau saat ada acara. "Buat arisan katanya, tapi gatau juga. Udah yah, kakak mau ke kamar dulu, kamu ganti baju gih! bau asem!" "Iiiih aku wangi gini dibilang asem! jahat!" Vano tertawa terbahak-bahak melihat adiknya itu cemberut. Ia segera berlari meninggalkan Vio sebelum dia mengejarnya. Vio semakin cemberut melihat kakaknya melarikan diri. Setelah kakaknya menghilang di ujung tangga, akhirnya dia juga ikut masuk ke kamarnya dengan lesu. Dia mendekati cermin, dan sontak berteriak ketika melihat pantulan dirinya di depan cermin. "DAHIII GUEEEE! cowo sialan! semua ini gara-gara dia!" •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD