2. BERSIAP MENEMUI PRESDIR TAMPAN

1288 Words
Hari yang mendebarkan telah datang. Aku meminta Kak Fia mendandaniku sedangkan, Tia sudah berangkat sejak pagi tadi dengan Irwan-kekasihnya. Aku merasa sedikit gugup. Namun, Kak Fia berulang kali menenangkanku. "Sudahlah, Nur! Tenangkan dirimu. Kakak tahu kau sangat cemas, tapi ini hanya masalah sepele, Sayang! Siapa tahu kau akan menyukainya," ucap kak Fia lembut. "Astaga, sepele kata, Kak?! Aku akan membohongi seorang pria yang berasal dari keluarga bangsawan dan Kakak juga tahu sendiri kalau aku tidak menyukai tipe pria seperti dirinya yang brewokan. Dengar, Kak, brewokan. Lelaki yang akan aku temui ini memiliki taman yang luas di mukanya. Menggelikan. Ditambah lagi dia orang Arab. Ya Tuhan, tubuhnya pasti sama besarnya dengan jin tomang. Ngeri, Kak." Aku merinding setiap kali membayangkan bagaimana besar dan tegapnya pria yang akan kutemui malam ini. "Sudahlah, Nur. Jangan berlebihan. Kalian hanya akan makan malam, bukan?" "Tidak, Kak. Aku yakin dia akan memakanku." Tiba-tiba saja aku merasa buruk. "Memakanmu bagaimana? Yang akan kau temui ini manusia, Nur. Bukan harimau." Kak Fia terkekeh. "Argh, Kakak! Bukan makan dikunyah. Maksudku, itu hanya perumpamaan. Kakak pasti paham kan, bagaimana sikap cowok-cowok kaya raya di novel romansa? Nah, aku perkirakan dia akan seperti itu. Aku yakin dia akan mengetahui kebohongan ini lalu menghukumku. Aku cemas, Kakak." Aku merasa sangat tertekan dan ketakutan. Rasanya aku tak tahan ingin menangis menjerit-jerit. Kenapa harus aku? Tia yang bermain hati, kenapa aku yang harus menderita? Awas saja kau Tia, pulang dari kampung nanti, aku akan memintamu membayar semuanya. "Sssttt kau terlalu berlebihan. Jangan membuat beban pada dirimu sendiri, Sayang. Lihat dari sisi baiknya. Kalau kau menyukai pria ini, kau tidak akan dipaksa menikah dengan Sobirin yang gendut dan bau badan itu." "Baiklah, Kak. Aku akan membiarkan diriku terbakar malam ini." Aku menyerah. Aku benar-benar sedih. Malang sekali nasibku. "Ih lucunya, adikku." Kak Fia mencubit kedua pipiku gemas. "Sudahlah, Kak." Aku menepiskan tangan Kak Fia dari wajahku. "Apa dandannya sudah selesai?" "Sudah. Kau sempurna, Sayang. Dan lihatlah mobil mewah yang akan membawamu padanya." Kak Fia membuatku menoleh ke arah jendela dan menyaksikan betapa bagus dan mewahnya mobil itu. Aku begitu kagum saat melihat kemewahan Mercedes hitam yang menepi di halaman rumah. Mobil yang sengaja dikirim pria Arab itu untuk menjemputku. Ah, bukan aku, maksudku, Tia si gadis genit yang curang itu. Dia yang menikmati manis buahnya, aku yang menelan sepahnya. Ah, sudahlah. Nasib badan. Seorang sopir keluar dengan gagahnya dan mengetuk pintu rumah kakakku dengan sopan. "Selamat malam. Apa Nona Tia sudah siap?" ucapnya ramah ketika kakakku membukakan pintu rumah. "Sudah, Pak. Silakan dibawa." Kak Fia mendorongku supaya mengikuti arahan sang sopir. "Tolong kembalikan dia dengan utuh, ya, Pak. Jangan sampai ada cacat," punglas Kak Fia sambil tersenyum ramah ke arah pria berjas hitam itu. Aku menatap Kak Fia dengan hati yang sendu sebelum menaiki mobil. Tampak iakakku itu hanya melambaikan tangan sambil tersenyum manis ke arahku. Sungguh dia tidak peka. Setelah duduk dengan nyaman, aku pun segera berdoa meminta perlindungan kepada yang Maha Kuasa. Semoga malam ini jati diriku tidak ketahuan dan aku tidak akan dimakan. "Ya Tuhan, lindungi aku dari kekejaman, Mas Brewok." Aku menguatkan hati agar bisa tenang saat bertemu dengan pria itu. Pak sopir melajukan mobilnya dengan perlahan dan tenang. Beliau sangat ramah dan murah senyum. Entah karena pekerjaannya atau memang kepribadiannya yang seperti ini, tapi pria ini membuatku sedikit nyaman. Setelah sekian lama berkendara, tibalah kami di sebuah rumah yang sangat besar. Bangunan yang indah dan luas yang seketika membangkitkan kegugupanku. Roda empat yang kutunggangi mulai menepi memasuki pelataran rumah yang mewah dan megah ini. Setelah laju kendaraan ini berhenti, Pak Sopir pun turun lalu membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku keluar. Aku langsung disambut oleh deretan pelayan perempuan yang ramah dan berseragam bagus. "Selamat datang nona. Silahkan ikuti saya," ucap salah satu di antara mereka padaku. Aku mengikuti kemanapun dia melangkah dengan kuasa menahan pandangan. Aku tak dapat berhenti memperhatikan setiap sudut rumah ini. Rumah yang begitu besar dan mewah, bahkan lantainya pun sangat mengkilat dan bersih. Aku tebak, lantai ini semuanya marmer asli. Astaga!! "Silahkan duduk, Nona! Sebentar lagi, Tuan Yusuf datang," ucap sang pelayan dengan sopan padaku. Aku hanya mengangguk lalu menurut. Kini aku berada di yang sangat luas, mewah juga sejuk. Lampu hias tampak tergantung indah di atasku. Ya Tuhan, pasti harga lampu itu sangat mahal. Sebenarnya ini rumah atau surga ya? "Assalamualaikum Tia." Suara berat seorang pria langsung merambat indra pendengaranku. Sontak langsing kujawab, "Waalaikumussalam." Aku bangkit lalu memutar badan agar menghadap dirinya. Seketika aku terkesima. Ya Tuhan, inikah Mas Brewok itu? Oh my god! Dia gagah sekali. Mas Brewok begitu tinggi dan tampan. Ya ampun, pria ini sangat keren dan cocok memakai setelan jas berwarna hitam. Astaga, sepertinya aku akan benar-benar terbakar malam ini. Ini benar-benar kejutan yang tak terduga. Ingin rasa hati bersorak riang, sebab mendapatkan jackpot yang menggiurkan. Pria ini terlihat seksi dengan brewoknya. Tatapan matanya yang menatapku enggan lepas. Meskipun dia memiliki brewok, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya. Oh s**t! Hanyutkan aku dengan cintamu, Mas Brewok. Please. "Bagaimana kabarmu Tia?" tanyanya yang segera membuyarkan lamunanku. "Ah, eu, aku ba-baik," ucapku yang gugup setengah mati. Ingin rasanya aku menenggelamkan diri ke dalam pelukannya. Oh Tuhan, aku merasa akan gila. "Hei, kenapa kau terlihat gugup? Bukankah kau sudah lama merindukan kekasihmu ini?" Dia tersenyum tipis ke arahku. Oh Lord, itu baru senyumannya dan aku sudah dibuat amat terpesona. Seseorang tolong selamatkan jantungku. Aku khawatir hati ini tak kuasa menahan gejolak di d**a yang seketika dimabuk asmara. Semua yang ada diri Yusuf membuatku ingin meledak. Betapa baiknya Tuhan, karena menganugerahkan paras yang nyaris sempurna serta harta berlimpah pada pria di hadapanku ini. "Te-tentu saja. Aku hanya sedang mengagumi ketampananmu," ucapku tanpa sadar. Yusuf kembali melengkungkan senyumannya. "Ayo ikut aku." Dia menarik tanganku dengan lembut supaya mengikuti langkahnya. "Ki-kita mau kemana?" "Ke tempat yang tenang." Aku mengikuti dirinya dengan perasaan yang entah. Aku melihat tanganku yang digenggam oleh tangan besarnya. Genggaman yang halus dan membuatku nyaman. "Ini kamarku," ucapnya yang membuatku terkesiap. Aku terlalu asyik memandangi tangan kami hingga lupa memperhatikan sekeliling. Aku kembali dibuat kagum oleh kamarnya yang begitu luas dan besar. Kamarnya sangat indah dihiasi dengan furniture mewah dan berkilau. Aku terka kalau Yusuf sangat menyukai benda-benda glamor yang sudah pasti berharga fantastis. "Tia," panggilnya lagi yang seketika membangunkanku dari terpukau. "Maaf, kamarmu terlihat indah. Aku belum pernah melihat kamar seindah ini." Aku merasa canggung. Namun, tiba-tiba saja Yusuf membingkai wajahku lalu menengadahkannya. Aku begitu malu saat menatap langsung matanya. "Aku benar-benar merasa beruntung. Kau lebih cantik dari yang aku bayangkan. Kau sangat kecil, manis dan pemalu," ucapnya sambil menatapku lekat. "Tia?" "Hmmm?" Yusuf mendekatkan wajahnya ke wajahku dan tak kuduga dia mengecup bibirku. Aku yang terkejut hanya mampu melongo dibuatnya. Kulihat dia tersenyum manis lalu kembali menganjurkan wajahnya, menciumku. Kali ini bukan kecupan, tapi Yusuf melumat bibirku dengan lembut. Kemudian kurasakan kedua tangan besarnya merengkuhku erat. Namun, saat menikmati ciumannya, seketika aku teringat sesuatu, bahwasanya yang dicintai Yusuf bukan aku, melainkan Tia. Aku pun mendorong tubuhnya untuk melepaskan pagutan kami. Namun, kedua tangan Yusuf begitu kokoh menjeratku. Tak mau menyerah, aku mencoba mendorongnya lebih kuat. Tidak Yusuf. Lepaskan aku. Aku bukan Tia. Yang kau cintai itu Tia, bukan aku. Tolong lepaskan aku. Yusuf pun menghentikan aksinya dan dengan napas memburu, dia bertanya padaku. "Kenapa Tia? Bukankah kau sangat merindukanku?" "Maafkan aku, Mas Brewok." Aku seketika merasa gelisah. Aku khawatir dia akan curiga, sebab aku tak berperilaku seperti Tia dalam bayangannya. "Apa? Mas Brewok?" Yusuf tampak mengerutkan kening menatap heran ke arahku. Mati aku! Apakah dia baru saja mengetahui kebohonganku. Mungkinkah, Tia mempunyai panggilan sayang untuknya? Sial! Seharusnya aku bertanya banyak kemarin supaya tidak salah berucap. Yusuf kembali memelukku. "Bagus. Aku suka panggilan itu," desahnya sambil mengusapkan brewoknya itu ke leherku. Aku benar-benar dibuat geli sehingga mendesah tidak karuan dalam pelukannya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD